Seorang pelaku bisnis yang menghadapi pasar persaingan sempurna tentu mengalami banyak hal - baik yang bersifat positif, maupun negatif.
Faktor yang positif, misalnya:
- Harga sudah ditetapkan pasar
- Pelaku lain menerapkan harga yang seragam tersebut
- Tidak perlu susah-susah menghitung harga produk yang akan dijual
Kondisi Ini berlaku termasuk pada komunitas tukang sayur di pasar. Atau kios penjual daging. Kios mereka umumnya terletak saling berjejeran, saling bersebelahan, dan harga sama saja semuanya, apakah seseorang membeli dari penjual A, ataupun dari penjual B (yang duduk tepat di sebelah A).
Atau juga pada pedagang makanan gultik (gulai tikungan) yang berjajar di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.Â
Contoh lain adalah para pedagang kerak telor di acara akbar tahunan Jakarta Fair, di Kemayoran.
Sedangkan sisi negatipnya yakni:
Tak terpungkirinya bahwa kita ingin 'lebih' dari yang lainnya, maka timbullah rasa berkompetisi. Penjual di sebelah kita, otomatis akan kita anggap sebagai kompetitor kita.
Gerak-geriknya akan semakin kita perhatikan, agar kita tidak ketinggalan langkah bisnis darinya.
Sebenarnya ini hanya akan menjadi perangkap sikap yang kurang tepat. Di masa depan ini dapat menjadi boomerang.
Nah, dalam kondisi demikian hendaknya jangan mudah terkecoh.
Justru sebaliknya kita harus 'memutar kepala', berbalik 'memandang' pihak yang lebih penting dari sekadar sang competitor : yakni customer kita. Ya, kita harus mencari tahu dan mendalami preferensi atau selera dari konsumen kita. Ikutkan hati penjual untuk menyelami hati pembeli.
Contoh yang paling konkret misalnya kita ambil sederet pedagang bakpao tengah berjajar menggelar dagangannya di satu kawasan yang sama.
Pedagang A, yang memperoleh tambahan modal misalnya, memilih membangun/ renovasi kiosnya lebih besar dan mewah. Pedagang B sebaiknya tidak ikut-ikutan membangun kiosnya yang bahkan lebih besar lagi dari milik si A, semata karena emosi terhadap pesaingnya.
Langkah yang bijak, adalah B tidak berperilaku latah seperti itu, namun justru banyak bertanya pada pelanggannya apa yang mereka inginkan atas produknya, atau sebaliknya apa yang tidak mereka sukai dari produknya berikut alasannya, tentunya.
Pada contoh pedagang bakpao seperti di atas, pedagang yang bijak mampu berinovasi membuat bakpao sesuai trend terkini, misalnya dengan tokoh-tokoh karakter/ kartun dan sebagainya.
Atau isinya diganti yang lain, seperti keju.
Kasus lain, misalnya pesaing A menggunakan nama yang 'spektakuler' misalnya Rawon Setan, nah.. jangan perbolehkan diri kita merasa 'panas' dan ikut-ikutan ganti nama yang dahsyat melebihi A. Contohnya, merk warungnya diganti menjadi Rawon Iblis Neraka.
Terdengar konyol nantinya.
Itu bisa pula terjadi ketika pedagang lain mengecilkan ukuran produk dengan alasan bahan-bahan (impor) mahal, maka bolehlah kita berkreasi sesuai harapan pelanggan dengan produk isian lokal, daripada sekadar meniru kompetitor, dengan membuat semakin mininya produk kita.
Dan masih banyak contoh lainnya.
Pada dasarnya, kita jangan sampai bersikap stereotype.
Diperlukan rasa urgensi untuk terus mengembangkan kedewasaan berbisnis kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H