Kau berbeda, tak seperti yang dulu ku temui, kaki ini pun kaku tuk memperkecil jarak denganmu, dan mulut ini membisu ketika ingin menyapamu. Kini aku sudah merelakan kepergianmu.Â
Hari itu adalah hari khusus dari semua hari yaang ada. Hari yang penuh dengan keberkahan dari sang pencipta. Pagi yang cerah itu aku mengultimatum kepada temanku untuk tidak mengingatkanku pada sosok dia yang selama ini mampu membuat hatiku bergetar tak karuan. Seperti orang gila yang disebari bunga harum semerbak hingga membuat orang disekitarku bertanya-tanya selalu. Tapi itu sudah aku pendam dalam-dalam.Â
Aku memutuskan untuk melupakan dia, menghilangkan dia, dan berpura-pura amnesia dengan namanya. Aku mencoba mengikhlaskannya pergi dan membuka lembaran baru yang kosong, putih, bersih tanpa ada coretan sedikit pun tentang dia. Namun, rasanya tuhan tak mengizinkanku melakukan itu. Tuhan menegurku, menguatkan batinku dengan ujian yang teramat berat untukku. Tak ku rencanakan dan tak pernah ku harapkan di hari itu pula aku harus berjumpa dengannya disaat hatiku sudah mantap melepaskannya. Aku bertemu dengannya di sebuah warung tegal yang kami sukai.Â
Dia menatapku dan memanggil namaku. Otakku tak sanggup mengontrol hatiku. Hatiku begitu cepatnya bergejolak dan jantung ini mulai tak beritme detaknya. Aku benar-benar payah, rasanya aku hanya ingin menjerit dan berteriak padanya. Bisakah kau menghilang dari dunia ini jika tak mau denganku. Aku benar-benar putus asa dengan semua ini. Tuhan tak menginginkan aku jauh dari dia. Ah itu hanya prasangka burukku saja. Atau itu harapan yang sebenarnya aku inginkan. Aku tak tau lagi, semua terasa samar di benakku. Hatiku tak lagi menuruti mauku. Semua itu berawal dari kejadian 3 tahun silam ketika dia mulai membuka sebuah percakapan denganku.
3 tahun silam
Malam itu begitu mencekam, hiruk pikuk keramaian kota semakin bergema. Kami, gerombolan pencari pengalaman tak mau kalah dengan mereka pencari hiburan. Kami bergegas berkumpul di sebuah tempat sunyi di depan kampus. Saling menanti dan menunggu persiapan yang benar-benar siap. Tak sengaja aku mengambil tempat duduk tepat di sebelah anak laki-laki yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia mulai membuka pembicaraan, menanyakan kabar satu sama lain hingga berujung pada ceritanya yang panjang.Â
Aku hanya bisa tersenyum dan berusaha menjadi pendengar yang baik untuknya. Dia bercerita panjang lebar tentang mimpinya, kehidupannya dulu, teman-temannya, hingga pengalaman mengagumkan yang pernah ia dapati. Keramaian jalanan, bisingnya kendaraan, dan teriakan orang-orang semua terasa hilang. Hanya suaranya yang bergema di otakku. Suaranya mengendalikan semua panca indraku. Semua berakhir ketika sang senior meneriaki kami, mematahkan percakapan manis ini. Tapi itu tidak benar-benar berakhir, dia tak lagi peduli dengan teriakkan itu dan meneruskan obrolan.
Ketika itu, hatiku sedang tak lagi kosong meskipun aku bersama dia dan menghabiskan malam dengannya. Aku sedang dekat dengan satu laki-laki yang kukenal selama 3 hari. Aku belum jatuh hati padanya tapi aku menyukai perhatiannya. Kemanisannya dalam berkata dan pengalaman yang tak habis-habisnya ia ajarkan padaku.
Bulan itu adalah ramadhan, bulan penuh ampunan dan keberkahan. Kita sampai di tempat tujuan tepat pada saat sahur. Lagi-lagi aku duduk di sebelah laki-laki itu. Kami makan bersama-sama dengan beberapa orang disekeliling kami. Namun, makanan itu tidak diterima baik oleh lambungku, ia berteriak mengatakan tak kuat. Aku tak lagi memperdulikan sekelilingku dan menenangkan kepanikan lambung ini. Tiba-tiba ku lihat dia dengan wajah yang begitu cemas saat menanyakan keadaanku. Tak berpikir panjang ia langsung menyodoriku minuman hangat sebagai penawarnya.
Perjalanan tiga hari pun telah berakhir. Aku pun tak menyadari bahwa selama itu pula aku seringkali berdampingan dengannya dan dekat dengan dia. Semua terasa hampa ketika dengannya dan tak ada kata manis yang terkenang dalam hatiku kala itu. Semua biasa saja, namun tidak dengan orang-orang disekitar kami. Mereka seolah menginginkan kebersamaan kami ini diwujudkan dalam sebuah hubungan yang disebut pasangan. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan lagi-lagi tak kupedulikan itu.
Semester baru telah tiba, aku pidah di sebuah rumah yang sangat nyaman dengan lantunan ayat-ayat semesta yag selalu dikumandangkan. Aku menjalankan kehidupan normalku tanpa memikirkan pasangan dan berjalan dengan mengeja ilmu. Hingga pada suatu hari aku bertemu lagi dengan laki-laki itu.Â