Mohon tunggu...
Likke Andriani
Likke Andriani Mohon Tunggu... Lainnya - Generalis dinamis dengan latar belakang tehnik kimia, senang membaca mencoba mulai menulis untuk keseimbangan. Hobi: backpacking, naik gunung, jalan kaki, snorkeling dan kuliner.

"Jobs fill your pocket, but adventures fill your soul". "The world is a big playground - a lot to discover"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerusuhan Ras, Memahami Kekerasan Tiada Akhir di Sejarah Amerika

7 Juni 2020   23:41 Diperbarui: 11 Juni 2020   00:44 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Goerge Floyd, 46 tahun, kulit hitam, Minneapolis, Minnesota, meninggal kehabisan nafas tercekik oleh lutut polisi. Breonna Taylor, 26 tahun, kulit hitam, perawat, kulit hitam, Loiusville, Kentucky, ditembak mati di tempat tidur setelah polisi mendobrak rumahnya di tengah malam.

Ahmaoud Arberry, 25 tahun, kulit hitam, Brunswick, Georgia, dikejar dan ditembak mati selagi jogging, dibunuh oleh dua orang kulit putih yang menduga dia sebagai pencuri, dan karena alasan itu mereka tidak ditindak lanjut.

Mereka contoh korban-korban rasisme yang memicu kericuhan di Amerika, memicu  demontrasi "solidaritas" di berbagai negara selama masa pandemi ini.

Bagaimana hal ini bisa terjadi di negara maju, yang mengeluk-elukan demokrasi seperti Amerika?, Mengapa sampai saat ini relasi antara golongan kulit putih dan kulit hitam disana begitu panas membara dan pahit? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali sekilas ke masa lalu Amerika:

Latar Belakang 
Tahun 1863, presiden USA ke-16, Abraham Lincoln menerapkan undang-undang yang mengakhiri sistem perbudakan, 157 tahun yang lalu.

Tahun 1865, perang saudara antara pihak selatan dan utara berakhir, setelah pihak selatan berhasil dikalahkan oleh pihak utara. Dalam sekejap pihak selatan harus menelan pil pahit kekalahan, terpaksa harus membebaskan budak-budak mereka yang umumnya golongan kulit hitam. 

Di tahun yang sama, Abraham Lincoln dibunuh oleh pendukung pihak selatan. Penggantinya presiden yang lemah. Keadaan ini digunakan pihak selatan untuk menarik kembali kekuasaaan yang hilang secara hukum sehingga legal, contohnya dengan membuat UU (Undang-Undang) baru yang mencabut hak pilih golongan kulit hitam atau/dan mengirimkan mereka untuk kerja paksa dengan tuduhan "Mengembara", dan di masa itu kebanyakan orang kulit hitam menganggur dan tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Penyalah gunaan UU ini akhirnya memaksa pemerintah menugaskan militer untuk mengontrol keadaan, meyakinkan bahwa hak kaum kulit hitam sebagai kaum minoritas dilindungi. Periode ini berlangsung selama 12 tahun dan dikenal sebagai periode "Reconstruction". Menurut Prof. Brenda terlalu dini untuk distop, "Kesempatan besar yang terlewatkan untuk menjadikan negara ini benar-benar multiras" katanya.

Hukum Jim Crow
Sampai tahun 1965, sebagian besar permasalahan berbasis rasial terjadi di bagian selatan Amerika, dimana semua UU dan peraturan dibuat untuk memisahkan kedua golongan, baik di sekolah, rumah makan,kereta api, penggunaan WC umum, bahkan sampai di TPU. Peraturan ini dinamakan hukum Jim Crow.

Bahkan mahkama agung mensahkan hukum ini dengan persyaratan bahwa semua fasilitas infrastuktur harus kedua golongan harus memiliki kualitas yang sama. Yang diberi wewenang untuk memutuskan hal ini ironisnya.... pemerintah daerah.

Sistem rasial di bagian selatan USA mirip dengan Apartheid di Afrika Selatan: Siapa yang menentang, beresiko mati!, sehingga tidak heran jutaan orang kulit hitam pindah dari bekas wilayah perbudakan ke bagian utara atau barat: Detroit, St. Louis, Chicago, New York, dll.

Di buku sejarah Amerika, masa itu disebut "The Great Migration", masih dipandang sebagai perpindahan sukarela untuk mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik, padahal banyak bukti sejarah yang menunjukan alasan utama mereka pindah yaitu melarikan diri.

Kennedy, the King and Lyndon B.Jhonson
Di tahun 1962, pemerintah USA yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy (JFK) menyetujui pengesahan UU sipil baru yang dibuat oleh Lyndon B. Jhonson, yang isinya memberikan kaum kulit hitam hak yang sama dengan kaun kulit putih. Penetapan UU ini jelas memicu kerusuhan, sekaligus antusiame yang tinggi, harapan baru bagi keadilan.

Tahun 1965, tahun yang kelam. Malcolm X, seorang menteri, Muslim dan aktivis kemanusiaan dibunuh.

Tahun 1968, Martin Luther King dibunuh, tak lama kemudian diikuti oleh pembunuhan presiden JFK/Bobby yang mendukung persamaan hak bagi golongan kulit hitam. Kericuhan terus berlanjut hingga akhirnya, Richard Nixon terpilih menjadi presiden baru oleh mayoritas kaum kulit putih kelas menengah dengan janji dan harapan dia mampu menstabilkan kondisi negara.

Sekarang dan prediksi masa depan
Saat ini, sebagian besar golongan kulit putih kelas menengah hidup dengan rasa takut, takut bahwa dunia yang mereka kenal, akan hilang. 

Diperkirakan pada tahun 2045 golongan kulit putih akan menjadi kaum minoritas di Amerika, sekarang pun sudah terealisasikan di berbagai wilayah dan kota. Kenyataan ini tentunya berbenturan dengan gambaran ideal bahwa nenek moyang mereka-lah yang membangun dan memimpin Amerika.

Beberapa kasus kekerasan ras merupakan pelampiasan balas dendam jika kaum kulit hitam hidup berhasil. Orang kulit hitam boleh berhasil, tapi tidak boleh lebih maju daripada kita, kaum kulit putih. Dari awalnya iri-dengki, akhirnya tumbuh rasa benci.

Hal ini dirasakan oleh Stacey Hopkins, seorang aktivis BLM (Black Lives Matter). Sewaktu Barack Obama baru terpilih jadi presiden, bahkan di supermarket pun ada saja orang kulit putih yang menatapnya dengan pancaran rasa marah, iri atau benci. 

Perasaan ini yang mendorong mereka berbondong-bondong memilih Donald Trump sebagai presiden yang sekarang. Tentu saja selalu ada harapan katanya. Stacey melihat bahwa anak-anak muda 20-an umumnya sudah menerima golongan kulit hitam sebagai sederajat, mudah-mudahan pandangan mereka tidak berubah jika mereka tua, katanya.

Ketika presiden Amerika yang sekarang, Donald Trump menyerukan slogan dengan bergebu-gebu "Let's make America great again (Mari kita menjayakan kembali Amerika)", ironisnya warga kulit hitam justru menanggapinya "Do we ever be great? (Memangnya kapan kita pernah jaya?)".

Menurut Orhan Agirdag, dosen pedagogi KU Leuven & Universitas Amsterdam, Rasisme bukan sifat manusia, rasisme adalah sistem: sistem seleksi yang memisahkan manusia ke berbagai golongan, miskin-kaya, kuat-lemah berdasarkan asal-usulnya. Sistem ini menentukan siapa yang bisa berkuasa. Jika kita ingin menentang rasisme, sistemnya yang harus dihancurkan.

Sebagian tulisan ini diterjemahkan dari artikel "Rellen VS", Steven de Foer di koran de Standaard, Belgia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun