Pemerkosaan di Indonesia selama ini menjadi momok bagi perempuan (dan juga laki-laki). Bagi perempuan, mereka dianjurkan agar tidak meninggalkan rumah sendirian, pulang malam, naik kendaraan umum atau pergi ke tempat-tempat yang sepi karena bahaya serangan perkosaan dari pria-pria yang sewaktu-waktu bisa menyerang. Dan bagi laki-laki, mereka dianggap tidak bisa mengontrol nafsu dan kalap, kehilangan akal sehat saat mereka melihat seorang perempuan yang sedang lengah.
Apa artinya ini? Pemerkosaan adalah bukti bahwa laki-laki memang tidak bisa mengontrol nafsu (dan menggunakan kekerasan demi memuaskan nafsunya yang tak terbendung itu). Yang kedua, pemerkosaan adalah ancaman yang semakin memperlebar jurang antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya sama-sama punya nurani dan akal sehat.
Tulisan yang singkat ini menyimpulkan bahwa pemerkosaan bukanlah aib dan momok bagi wanita (sebagai korban) saja, melainkan lebih terutama aib bagi pelaku (laki-laki) yang telah mengikuti dan tak sanggup mengatasi naluri kebinatangannya. Sayangnya, paradigma yang selama ini terpola di masyarakat kita cenderung melihat pemerkosaan dari satu sisi saja, dan itu biasanya didahului dengan kata-kata 'gadis' atau 'perempuan' yang dijadikan objek pemberitaan tersebut.
Sudah waktunya kita merubah paradigma tentang pemerkosaan dan cara kita merefleksikan kekerasan-kekerasan yang lainnya, baik itu kekerasan terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki. Jangan lagi jadikan perempuan dan korban kekerasan sebagai objek. Mereka adalah manusia, subjek yang berpredikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H