Mohon tunggu...
Li izza Diana Al Fajri
Li izza Diana Al Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI AL ANWAR SARANG prodi IQT

Salam Literasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

All Eyes On Papua, Menguak Ketidakadilan yang Terus Menindas

6 November 2024   12:03 Diperbarui: 6 November 2024   14:57 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/Klip_Maner/

Oleh : Li Izza Diana Al Fajri

Papua adalah pulau yang dikenal kaya akan budaya, keanekaragaman hayati, dan sumber daya alam nya. Namun hal itu telah dirampas oleh pengembangan industri yang rakus terhadap mengeksploitasi lahan. Dan tidak hanya terjadi sekali, melainkan sebagian besar hutan alam kini terancam rusak. Besar penduduk Papua masih belum merasakan manfaat dari ekspolitas sumber daya alam yang ada di tanah mereka. Sehingga masyarakat Papua sering kali mengalami ketidakadilan dan marginalisasi.

Kasus Suku Awyu di Boven Digoel, di mana tanah ulayat mereka yang luasnya mencapai 36.095 hektar terancam oleh ekspansi perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asian Lestari, merupakan salah satu contoh dari banyaknya konflik pertanahan yang terjadi di Papua. Tajuk "All Eyes On Papua" yang telah menjadi sorotan global dan telah dibagikan jutaan kali, bertujuan agar menyadarkan dunia betapa besar perjuangan masyarakat adat Papua dalam mempertahankan hutan mereka. 

Konflik ini tidak hanya sekedar mengenai permasalahan lahan melainkan, juga  termasuk ketidakadilan terhadap masyarakat adat, perusakan lingkungan, serta dampak negatif dari penyalahgunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan meningkatnya perhatian Global, besar harapan konflik yang ada di Papua dapat diatasi secara adil dan bermartabat.

Namun, meskipun sorotan global semakin besar, perubahan yang signifikan masih sulit terwujudkan. Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang hanya sebatas berucap tanpa adanya kebijakan yang dijalankan dengan serius dalam menanggulangi eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Meskipun terdapat UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Yang membahas mengenai perlindungan hak-hak masyarakat, dan UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semua itu tidak didapatkan masyarakat adat Papua. Dan pemerintahan tidak mampu mengimplementasikan pasal tersebut kepada masyarakat Papua. Sebab dalam menanggapi permasalahan ini sering kali terhambat oleh kepentingan ekonomi yang lebih besar, terutama yang melibatkan investasi asing dan peerusaahan besar.

Dalam konteks konflik Papua, situasi tesebut tidak selaras dengan teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawl. Teori keadilan John Rawl, yang dikenal dengan Pure procedural Justice menekankan dua prinsip utama, diantaranya adalah kebebasan setara untuk semua individu (konsep natural law) dan prinsip perbedaaan yang menyatakan bahwa keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika mereka dapat memberi manfaat terbesar bagi yang paling kurang beruntung dalam masyarakat (konsep goverment). Namun dalam konflik Papua, sering kali hak-hak masyarakat terabaikan, baik dalam hal penegakan hak politik, pembatasan dalam kebebasan berekspresi, maupun diskriminasi dalam pelayanan publik dan sumber daya.

Melihat dari prespektif prinsip perbedaan, ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di Papua semakin terlihat jelas, terkait dengan banyak nya masyarakat yang hidup dalam kondisi miskin dan terisolasi dari perkembangan ekonomi. Keadilan ini bertentangan dengan konsep John Rawl bahwa ketidaksetaraan hanya bisa dibenarkan jika dapat memberi manfaat yang sigifikan bagi mereka yang paling terpojokkan. Namun kenyataannya, kesenjangan yang dialami masyarakat suku Papua justru memperburuk kondisi hidup mereka, yang menambah rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan.

Membahas lebih dalam lagi, mengenai teori John Rawl yakni cara untuk menilai keadilan sesuatu sistem sosial (veil of ignorance). Jika diterapkan pada konflik Papua, bahwa sistem yang ada sekarang jelas tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat Papua. Dalam kondisi tersebut, kebijakan dan keputusan yang mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat Papua merujuk pada ketidakpedulian terhadap prinsip keadilan yang seharusnya menjamin kesetaraan hak bagi setiap individu, terlepas dari asal usul atau identitas budaya mereka.

 Secara keseluruhan, konflik Papua tidak hanya mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat Papua, tetapi juga menggambarkan ketidakmampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan. Penyelesaian konflik yang lebih adil membutuhkan upaya dalam memulihkan hak-hak dasar serta memperbaiki ketidaksetaraan yang mereka alami, sesuai dengan prinsip-prinsip yang menekankan keadilan sosial dan sikap pemerataan terhadap masyarakat.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun