Pada hari Ahad (minggu) 16 oktober 2016 kami berangkat dari makassar menuju soppeng, bersama pak dedi, Asraf dan Anin. Ditengah perjalanan, pak dedi memberhentikan mobilnya, tepat di depan jalan poros Bulu dua. Kemudian pak dedi membeli lima botol air yang biasa mereka sebut tuak atau orang Buton dan Ambon sering menyebutnya sageru, adapun orang Makassar menyebutnya ballo.
Melihat itu, Tentunya kami mengira bahwa tuak yang dibeli pak Dedi memabukkan dan keras diminum dengan itu maka haram dikonsumsi. namun, karena penjelasan pak dedi bahwa tuak itu tidak memabukkan dan keras serta tidak haram dikonsumsi, maka kami kemudian mencoba meminumnya, ternyata rasanya manis dan tidak memberikan efek memabukkan. Peristiwa inilah yang mendorong saya untuk menuliskan artikel ini agar sebagian orang tidak salah memahami kalau tuak itu tidak semuanya memabukkan serta haram dikonsumsi.
Tuak atau sageru merupakan jenis minuman yang terbuat dari pohon Konao (buton), pohon kanau (bugis) dan pohon Aren (Indonesia). Pohon-pohon konao ini dapat ditemukan diseluruh dataran wilayah Indonesia. Pohon konao atau kanau atau aren ini batangnya mirip dengan batang pohon kelapa, namun daunnya agak berbeda, warna batangnya juga berbeda serta buahnya juga berbeda.
Buah pohon aren, berukuran kecil kira-kira ukurannya persis seperti ukuran buah langsat. Bahkan buahnya dapat diolah menjadi makanan khas bugis soppeng yang sering mereka sebut kolang kaling, Tangkai buah inilah yang diproduksi menjadi tuak atau sageru. Sageru atau tuak inilah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan, misalnya di SBB, Bugis Soppeng, Dusun Karanjang (Ambon) dan lain-lain.
pada awalnya rasa dan warna sageru atau tuak sama seperti air putih biasa, adapun rasa sageru atau tuak itu akan berubah menjadi manis karena sudah dicampur dengan daun boli (bahasa Bugis) yang diiris-iris, daun boli ini kemudian dicampur menjadi satu dengan jangka waktu sekitar satu hari. Setelah pencampuran itu selesai maka rasa Tuak atau sageru itu berubah menjadi manis dan enak di konsumsi.
Namun, karena keinginan manusia yang berlebihanlah, yang menyebabkan tuak itu diolah lagi, supaya dapat memberikan efek memabukkan. Agar efek memabukkan itu bisa dikonsumsi Untuk itu dicarilah sesuatu yang mampu memberikan efek memabukkan. Efek memabukkan ini disebabkan oleh pencampuran akar-akar kayu atau kulit-kulit kayu. Orang karangjang biasa menyebut akar kayu itu dengan nama akar kayu ular. Akar kayu itu kemudian di rendam bersama tuak atau sageru tersebut. Adapun perendaman akar kayu itu menurut pak Dedi kira-kira sekitar 6 jam. Setelah perendaman, maka rasa sageru yang jernih itu berubah menjadi pahit dan warnanya menjadi putih.
Perubahan rasa dan warna itulah yang memberikan efek memabukkan terhadap orang yang mengkonsumsinya.
Efek memabukkan itulah yang menyebabkan tuak atau sageru itu haram di konsumsi, apakah orang yang mengkonsumsinya sedikit atau banyak, dalam islam menyebutnya “ma aksara katsiruhu waqoliluhu haraamun” artinya; apa yang banyaknya menyebabkan mabuk sedikitnyapun juga haram. Maksudnya tidak ada alasan untuk dijadikan sebagai obat, terkecuali obat yang ada didunia ini tidak ada lagi.
Dengan itu maka tuak atau sageru yang manis tidak memabukkan dan haram di konsumsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H