Mohon tunggu...
Siti Lestari
Siti Lestari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Merdeka

Menulis adalah Nafas.\r\nBs mengenal-Nya.\r\nBs hidup bersama-Nya

Selanjutnya

Tutup

Money

Mimpi Semu Pendidikan Gratis bagi Warga Miskin

12 Agustus 2020   09:20 Diperbarui: 12 Agustus 2020   09:20 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Benarkah pendidikan gratis?

Memang benar apa yang di katakan oleh presiden kita dan di pertegas oleh gubernur di masing-masing daerah bahwasan nya mereka kaum elit birokrasi sepakat untuk membebaskan biaya pendidikan dari SD, SMP, SLB, SMA. Hal ini sudah di realisasikan di semua sekolah, bahkan ketika di SMA masih terdapat pungutan SPP oleh Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) di perintahkan untuk mengembalikan uang SPP yang terlanjur di bayarkan di sekolah. 

Bagi kebanyakan orang pendidikan gratis dimaknai dengan SPP gratis yang mana masih banyak biaya-biaya lain yang harus di tanggung dan dipakai sebagai lahan bisnis pihak sekolah atau bahkan pihak dinas pendidikan nya.

Sudah lama kita dengar bunyi salah satu ayat UUD 1945 pasal 34 ayat 1 yaitu, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Ini bisa di artikan bahwa warga miskin dan anak-anak terlantar semua kehidupan ny dijamin oleh negara tanpa terkecuali. 

Menilik sebelum pasal sebelumnya yaitu pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Dilanjut ayat 2 yang berbunnyi, "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya.

Secara implisit maupun eksplisit yang disebutkan UUD 1945 memang kesejahteraan warga negara dijamin penuh oleh negara, termasuk pendidikan. Lantas mengapa masih banyak dari masyarakat kita yang tidak peduli dengan pendidikan putra putrinya, padahal pemerintah sudah jelas menanggung penuh atas pendidikan bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. mungkin ada yang salah dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia sehingga bangku sekolah di rasa menjadi beban bagi masyarakat yang kurang mampu.

  Di buku ini penulis ingin mengajak anda untuk menelisiklebih dalam mengenai  sistem pendidikan kita yang salah. Saya mungkin bisa menganalogikan dengan kata lingkaran setan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. 

Jadi tidak hanya satu pihak saja yang bisa di salahkan atau bahkan menjadi bahan candaan, nyinyir atau bahkan bully an. Yang jelas pemerintah beserta masyarakat terutama pegiat pendidikan yang paham tentang masalah ini.

  • Stake Holder yang mana yang berhak tanggung jawab dengan pendidikan kita?

Pada umumnya masyarakat kita menganggap bahwa dinas pendidikan merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas semrawutnya sistem pendidikan yang ada. Merah putih, hijau kuning nya pendidikan di Indonesia yang paham betul adalah kementrian pendidikan. 

Tapi alangkah tidak bijak kalau kita hanya menghakimi satu dinas saja dalam memecahkan masalah pendidikan. Badan Pusat Statistik dan Dinas Sosial juga wajib bertanggung jawab dengan semrawutnya sistem pendidikan gratis kita. Penerbitan KIP (Kartu Indonesia Pintar) nyatanya belum bisa memberikan jawaban yang diharapkan masyarakat miskin.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, sebenarnya apa sih yang mereka (warga miskin) maksud dengan pendidikan/sekolah gratis? Dari hasil wawancara dengan beberapa wali murid baik itu dari sekolah negeri maupun swasta, sekolah gratis dimaknai  sekolah yang seluruh pembiayaan nya gratis, dari uang gedung, SPP, seragam, buku, ekstra kulikuler dan yang berkaitan dengan sekolah semua nya tidak di bebankan oleh wali murid. 

Namun pada kenyataan nya wali murid masih terbebani dengan biaya sekolah yang menumpuk. Pendidikan gratis disini hanya SPP dan uang gedung, namun semua fasilitas penunjang sekolah harus bayar, dan ini yang membikin tidak sehat.

Mafia pendidikan bebas bermain di sekolah, asal ada legitimasi dari dewan pendidikan (DPR) dan ekskutif. Rakyat kecil yang nota bene mereka adalah orang miskin tidak bisa berkutik. 

Aturan di buat memang sedemikian rupa sehingga seolah-olah memihak warga kelas kere, tapi realisasinya tidak sama sekali terjadi perubahan yang signifikan. Yang miskin makin miskin karena dibodohi oleh mereka para perampok berdasi, dan yang kaya makin kaya karena sistem yang di bangun sangat halus sehingga para elit politik dan birokrasi dalam mengeruk pendanaan dari warga miskin.

  • PKH (Program Keluarga Harapan)
  • Dinas Sosial yang kali ini mungkin bisa juga menjadi referensi dalam pemecahan masalah pendidikan. Pasalnya dalam program tersebut terdapat item yang menyebutkan bahwa syarat keikut pesertaan PKH adalah :
  • Warga miskin
  • Memiliki balita
  • Ibu hamil
  • Memiliki anak sekolah SD,SMP, SMA
  • Lansia diatas 60 tahun
  • Difabilitas berat
  • Warga miskin ini nanti yang di verifikasi oleh pendamping PKH dan berhak mendapatkan bantuan PKH yang akan di cairkan setiap tiga bulan sekali melalui ATM BNI.
  • Dalam pencairan dana PKH terdapat bantuan yang salah satunya di peruntukkan bagi anak sekolah. Besaran bantuan berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah tanggungan di keluarga. Saya langsung bahas untuk besaran bantuan anak sekolah berbeda-beda, tergantung pada tingkat jenjang pendidikannya. Untuk SD Rp. 900.000,- , SMP RP. 1500.000,- serta SMA Rp. 2000.0000,-
  • Bantuan ini di peruntukkan bagi kebutuhan pendidikan anak dan kebutuhan gizi anak.
  • Lantas mengapa masih banyak juga anak-anak terlantar dan tidak sekolah? Padahal pemerintah sudah mensuport dana besar untuk warga miskin (katanya).

  • Pasifnya campur tangan birokrasi desa dalam memperjuangkan BDT (basis data terpadu)
  • Lemahnya birokrasi pemerintah desa dalam mendeteksi kemiskinan warganya bisa disebabkan adanya muatan politis yang mana di masyarakat desa terdapat orang nya lurah dan rival politik lurah. Dil-dil politik biasanya dilakukan sebelum adanya pencalonan sehingga muncul blog-blog pendukung dan rival. Masing-masing calon lurah biasanya menjanjikan sesuatu yang nanti bisa jadi rekan apa saja saat dia menjadi petinggi di desa.
  • Idealnya pasca pemilihan kepala desa, lurah memiliki kewajiban yang harus dilakukan terhadap warganya tanpa membeda-bedakan mana yang pro dia maupun yang rival.
  • Pihak-pihak lain yang belum disebutkan yang mungkin ikut menyumbangkan masalah semrawutnya sistem pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun