Kampung adat Cireundeu yang berlokasi di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara administratif Desa Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Bengan penduduk sekitar 50 kepala keluarga dengan 800 jiwa yang sebagian besar bermata pencaharian petani. Di mana luas sekitar 64 hektare yang terdiri dari 60 hektare lahan pertanian dan 4 hektare pemukiman. Kampung adat Cireundeu ini fokus terhadap pemeliharaan tradisi yang menjaga warisan dari ketua adat terdahulu dan tidak memposisikan sebagai desa objek daya tarik wisata. Tradisi terkenal yang masih dijaga di Kampung adat Cireundeu ini yaitu dengan bahan pokok yang menggunakan singkong dan tradisi 1 sura. Tradisi ini dimulai sekitar tahun 1918.
Disebutkan menurut Seksi Pariwisata dan Budaya (2010) dalam website disparbud.jabarprov.go.id, masyarakat adat Kampung adat Cireundeu memiliki prinsip dengan berpedoman terhadap istilah yang mereka anut, yaitu “Teu Nyawa Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”. Maksudnya dari kalimat sebelumnya adalah agar manusia tidak tergantung pada satu hal saja,
seperti misalnya dalam hal makanan pokok masyarakat Kampung adat Cireundeu menggunakan alternatif atau beralih dengan menggunakan bahan singkong dari beras seperti makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya. Tradisi ini dimulai sekitar 1918 yang dipelopori oleh Ibu Omah yang diikuti oleh beberapa saudaranya di Kampung adat Cireundeu. Kemudian pemerintah kota Cimahi member penghargaan “Pahlawan Pangan” pada tahun 1964.
Dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu “Sunda Wiwitan” yang di mana mereka percaya bahwa alam dan manusia memiliki satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang menurut salah satu penduduk kampung adat Cireundeu mereka sebut bahwa di dunia ini terdapat dua ibu, yaitu ibu yang mengandung dan ibu yang tidak mengandung. Ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan tahun 1918.
Dengan salah satu tradisi (upacara adat) yang selalu dirayakan yaitu 1 Sura tepat pada tahun Saka Sunda pada bulan oktober. Perayaan 1 Sura, dilakukan dengan kaum laki-laki yang menggunakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala yang berasal dari kain batik, sedangkan kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih.
Upacara adat yang dilakukan dengan membuat ritual gugunungan buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya seperti rempah-rempahan dan ketela. Dilengkapi dengan acara kesenian kecapi suling, ngamumule budaya sunda, dan wuwuhan atau nasihat yang disampaikan dari sesepuh (ketua adat) agar dalam perayaan 1 Sura dapat menjadi rukun.
Cara masyarakat memelihara alam di Kampung adat Cireundeu ini dengan memiliki tiga istilah leuweung (hutan). Pertama Leuweung Bakadahan, kebon atau hutan yang biasa digunakan untuk bercocok tanam dengan menanam singkong dan berbagai tumbuhan lainnya yang luas kurang lebih 20 hektare. Kedua Leuweung Larangan, yaitu hutan yang tidak boleh di sentuh atau tidak boleh mengalami perubahan apapun.
Hal ini upaya agar dapat menjaga pasokan air bersih yang berasal dari dua mata air yaitu mata air Nyi Mas Ended an mata air Caringin. Dengan memiliki fungsi sebagai penampung air yang isi di dalam Leuweung Larangan tersebut berupa vegetasi tanaman keras. Ketiga Leuweung Tutupan yang di dalamnya berupa gawir (tebing) atai lamping (lereng). Leuweung Tutupan ini berfungsi sebagai bumper (penahan) untuk melindungi Leuweung Larangan.
Ditambah dengan adanya prinsip “Mindung ka waktu, Mibapa ka zaman”, maksudnya adalah warga masyarakat Kampung adat Cireundeu berprinsip untuk tidak melawan zaman dengan kata lain, menerima adanya perkembangan teknologi, akan tetapi dengan menerima dan mengikuti tetap menjaga keyakinan dan identitas diri sebagai masyarakat Kampung adat Cireundeu yang harus dipertahankan.