Mohon tunggu...
Alief Prasetya
Alief Prasetya Mohon Tunggu... wiraswasta -

seseorang yg ingin belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Marketing Perasaan

28 Agustus 2013   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama bertahun-tahun dalam masa kerja saya, 15 tahun terakhir saya habiskan sebagai seorang marketing. Didalam dunia marketing sangat banyak teori yang saya pelajari dan praktekan. Tetapi pada prinsipnya didalam merencanakan menjual sesuatu, apapun yang seorang marketing lakukan produk yang kita jual haruslah terjual. Terlepas dari itu, produk yang paling mudah di jual adalah perasaan.

Mengapa perasaan? Karena jika mau jujur setiap hari kita di cekoki oleh marketing perasaan itu. apakah itu perasaan bahagia atau perasaan ketakutan. Contohnya : kita sering melihat di media online (televisi) bagaimana bahagianya sebuah keluarga berbahagia makan, dengan menu mie instan. Padahal jika kita mau jujur, kebanyakan kita makan mie instan karena hanya makanan itulah yang termudah, termurah dan tercepat yang bisa di sajikan. Jadi dengan kata lain kita terkadang terpaksa makan mie instan itu, walaupun diakui ada beberapa orang yang mengidolakan makanan jenis ini. Dan keseringan kita memakannya kalau kita lagi sendirian, sangat jarang kita memakannya sebagai sebuah keluarga lengkap bapak, ibu dan anak-anak.

Yang kedua adalah marketing perasaan, dimana ketakutan kita di explore oleh team-team marketing yang alih. Baik itu melalui iklan di televisi, di media cetak, selebaran maupun sales-sales yang kita temui di pusat-pusat keramaian. Misalnya : dulu anak kita atau kita sekolah hanya cukup Sekolah dasar sampai sekolah menengah atas ( SMA), dan jika orang tuanya mampu sampai perguruan tinggi. Itupun kebanyakan adalah sekolah negeri, sekolah yang di sediakan oleh pemerintah. Di masa sekarang, kita di takut-takuti, bahwa jika anak kita tidak di sekolahkan sejak usia play group, maka anak kita akan sulit bersaing dimasa yang akan datang. Bahkan belum cukup hanya sampai disana, ada yang menakuti kita, bahwa sejak di dalam perut sudah ada program belajar untuk anak kita.

Belum lagi di takut-takuti, bahwa sekolah negeri atau sekolah kebanyakan tidak berkwalitas, sehingga anak kita harus dimasukan sekolah-sekolah swasta yang sistem pendidikannya seperti diluar negeri. Sehingga anak-anak yang masih usia kecil harus belajar hal-hal yang belum tentu di butuhkan ketika mereka besar nanti. Anak-anak di rampas masa bermain mereka dengan segala macam kursus atau les-les yang jumlah jam belajarnya mengalahkan seorang karyawan yang bekerja.

Itulah marketing perasaan, dan ironisnya kebanyakan kita termakan oleh marketing jenis ini. Mungkin tiba saatnya kita mencermati apa yang di butuhkan oleh anak-anak kita dan keluarga kita. Tanpa harus termakan oleh berbagai tawaran yang belum tentu baik buat keluarga kita. Karena saya pribadi yakin setiap pribadi ada jalannya untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Mungkin pendidikan yang baik dan tinggi mendukung seseorang bisa sukses, tetapi itu bukanlah faktor utama dan satu-satunya. Sangat banyak faktor lain yang membuat hidup seseorang berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun