Mohon tunggu...
Lidya Nur Azizah
Lidya Nur Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pamulang

Rahasia kesuksesanmu ditentukan oleh agenda harian mu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peceraian dalam Perkawinan Campuran antara Warga Negara

5 November 2021   01:06 Diperbarui: 5 November 2021   01:09 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perceraian dalam Perkawinan Campuran antar Warga Negara

Perkawinan beda kewaarganegaraan telah menyebar diseluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa perkawinan campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya da orang Indonesia. 

Dalam media pernah diberitakan mengenai terjadinya perceraian pada suatu perkawinan campuran menggunakan menyoroti kerugian yang cenderung berada pada pihak wanita, utamanya wanita Indonesia yg kawin menggunakan pria masyarakat negara asing, yaitu menyangkut status anak & pembagian harta perkawinan. 

Sesungguhnya saling merugikan pada perceraian ini terjadi lantaran pengaturannya sudah dipengaruhi sang aturan yg berlaku & perceraian itu wajib dilakukan melalui proses persidangan pada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan sudah mengatur, bila terjadi perceraian bapak dan ibu permanen berkewajiban memelihara & mendidik anak-anak mereka semata-mata buat kepentingan anak.

 Perkawinan campuran antar warga negara Ketentuan Pasal 1 Undang undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dari definisi terkandung lima unsur didalamnya yakni : ikatan lahir batin, antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri, membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perceraian merupakan putusnya suatu perkawinan yg absah didepan hakim pengadilan menurut kondisi-kondisi yg dipengaruhi Undang-undang. Secara umum tentang putusnya interaksi perkawinan ini pada 3 golongan misalnya yg tercantum pada pasal 38 UU no.1 tahun 1974 yaitu; kematian, perceraian & atas keputusan pengadilan. 

Menurut ketentuan Pasal 209 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang banyak sekali alasan yg bisa menyebabkan perceraian, yakni: Overspel(perzinahan), meninggalkan pihak yg lain tanpa alasan, dikenakan pidana penjara selama 5 tahun atau lebih sesudah perkawinan dilangsungkan, isteri/suami yg mengalami luka berat dampak penganiayaan sebagai akibatnya membahayakan jiwa pihak yg teraniaya. Sedang dari ketentuan Pasal 39 ayat 1 Undang undang Perkawinan angka 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan didepan sidang pengadilan,sesudah pengadilan yg bersangkutan berusaha mendamaikan ke 2 belah pihak.

Mengenai perceraian orang-orang asig yg dilakukan pada Indonesia ini sebagai sangat menarik lantaran menyangkut kompetensi & dilema tentang aturan mana yg dipergunakan (choice of law). 

Bagi orang-orang asing yg berada diwilayah Indonesia, Pengadilan Negeri bisa menaruh keputusan-keputusan perceraian, bilamana ke 2 mempelai berdomisili pada Indonesia.

Hal ini sebagai nir masalah. Yang sebagai dilema merupakan jika hanya keliru satu pihak saja yg berada pada Indonesia sedang pihak yg lain berada pada luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan pada Pengadilan Negeri & jika para pihak nir mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka Hakim mempergunakan aturan Indonesia, tanpa menghiraukan segi-segi HPInya. apabila para pihak mendalilkan kewarganegaraannya maka perlu diperhatikan "choice of law". Sesuai menggunakan asas kewarganegaraan, suatu keputusan cerai yg diucapkan diluar negeri antara para pihak yg ke 2-duanya merupakan WNI hanya bisa diakui Hakim Indonesia, bila keputusan bersangkutan berdasarkan atas alasan-alasan yg dikenal pada Hukum Indonesia.

Di Indonesia diberlakukan dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain yakni Hukum Islam & Kitab Undang undang Hukum Perdata. Menurut Hukum Islam menduga kekayaan suami & isteri masing-masing terpisah satu menggunakan lainnya, adalah atas harta benda milik suami, si isteri tidak mempunyai hak, dan terhadap barang-barang milik si isteri, si suami tidak mempunyai hak. Jadi efek yang berdasarkan Hukum Islam, kedudukan harta benda, kedudukan harta benda seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan. 

Sedangkan berdasarkan Kitab Undang undang Hukum Perdata menduga bahwa jika suami & isteri pada ketika akan melangsungkan perkawinan mengadakan perjanjian pisah diantara mereka maka dampak berdasarkan perkawinan itu merupakan percampuran kekayaan suami & isteri sebagai satu kekayaan milik berdua secara beserta-sama & bagian masing-masing pada kekayaan beserta ini merupakan Didalam Hukum Adat menganut sistem tengah antara sistem Hukum Islam & Kitab Undang undang Hukum Perdata adalah terdapat kemungkinan pada suatu perkawinan sebagian berdasarkan kekayaan masing-masing suami & isteri terpisah satu berdasarkan yangg lain, & terdapat kemungkinan sebagian

Pada pasal 4 ayat 1 ditentukan bahwa pertama-tama kedua suami isteri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi harta benda perkawinan mereka. Jika mereka tidak mempergunakan kesempatan ini maka akan berlaku hukum intern dari Negara tempat kedua suami/isteri menetapkan kediaman sehari-harinya yang pertama setelah perkawinan. Prinsip ini telah diterima oleh Hoge Raad (10-2-1976). Bila terjadi perceraian pada perkawinan campuran, hak asuh/perwalian anak ditentukan oleh pengadilan. 

Bila hak asuh/perwalian tersebut diberikan kepada sang ibu, terutama dalam hal bila terjadi perceraian dari perkawinan campuran antara ibu Warga Negara Indonesia (WNI) dengan ayah Warga Negara Asing (WNA), maka tidak akan ditemui lagi kesulitan-kesulitan yang muncul. Sebelum Undang-undang no.12 tahun 2006 disahkan, kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan sang ayah, sampai ia berumur 15 tahun. Jadi walaupun hak asuhnya diberikan kepada ibu, sang anak berstatus warga negara asing tersebut tidak bisa tinggal bebas di negara ibunya dan rentan dideportasi. Setahun sekali sang ibu harus mengurus izin tinggal bagi anaknya ke kantor imigrasi. 

Dengan diberikannya kewargnegaraan Indonesia oleh pasal 4 huruf d UU no. 12 tahun 2006 kepada sang anak maka sang ibu yang berkewarganegaraan Indonesia tersebut tidak perlu lagi mengurus izin tinggal ke kantor imigrasi jadi dengan disakannya UU no.12 tahun 2006 seorang ibu memiliki perlindungan hukum untuk memiliki anaknya sendiri.

Nama                           : Lidya Nur Azizah

Dosen Pengampu        : Yulita Pujilestari, MH

Universitas Pamulang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun