Banjir di Kota Samarinda
Sebagai ibukota provinsi Kalimantan Timur, Samarindamenjadi salah satu kota dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.Menurut BPS Kota Samarinda, tahun 2015 jumlah penduduk di Samarinda adalah 812.597 orang.
Dengan luas wilayah 718 km2, kepadatan penduduk diKota Samarinda pada tahun 2015 mencapai 1.132 orang/km2. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan kebutuhan akan lahan di Samarinda juga semakin tinggi. Hal ini menyebabkan lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air semakin berkurang.
Menurut Pemerintah Kota Samarinda, saat ini penggunaan lahan di Kota Samarinda didominasi oleh lahan terbangun yaitu seluas 28.666Haatau 39,92% dari luas wilayah Kota Samarinda. Sedangkan untuk ruang terbukahijau (RTH) seperti hutan hanya seluas 2.683 atau 3,74% dari luas wilayah KotaSamarinda. Kurangnya lahan RTH menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir.
Hal ini kemudian didukung dengan curah hujan cukup tinggi di Samarinda yaitu 174,8 mm/bulan (BPS, 2015). Dengan jumlah curah hujan yang cukup tinggi,kondisi topografi yang 58,29% landai dan datar, serta letak geografis yang sebagian besar berada di daerah DAS Sungai Mahakam, Kota Samarinda memiliki potensi dan resiko yang tinggi terhadap terjadinya bencana banjir.
Saat ini terdapat 48 titik banjir di Samarinda, dan terdapat kemungkinan titik-titik daerah rawan banjir akan semakin meluas karena strategi mengatasi dan pengendalian banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda belum menunjukkan hasil yang signifikan. Dilansir dari Tribun Kaltim, pakarekonomi ekonomi lingkungan Kaltim, Bernaulus Saragih menyebutkan bahwa bencana banjir telah mengakibatkan kerugian 200-250 miliar setiap tahunnya.
Untuk itu Kota Samarinda membutuhkan solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan banjir. Intervensi yang dapatdilakukan adalah perencanaan pembangunan, penataan ruang, dan sistem alamdengan rehabilitasi dan konservasi ekosistem (Pratiwi, 2009). Implementasikan konsep kota tangguh (resilient city)adalah salah satu contohnya.
Menurut Dr. C.S. “Buzz” Holling (dalam Craig Applegath, 2012) ketahanan adalah kapasitas sebuah sistem untuk menangani guncangan atau gangguan dengan tetap mempertahankan fungsi dasar dan strukturnya. Selanjutnya Mandala (2014) berpendapat bahwa resilient city merupakan konsep yang memiliki hubungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yang juga dibangun di atas tiga dimensi yaitu mitigasi, adaptasi, dan inovasi.
- Mitigasi adalah pengurangan risiko relatif terhadap kapasitas objek.
- Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap risiko, yang disesuaikan dengan bahaya dan kerentanan yang ada di objek.
- Inovasi adalah Persija dan strategi untuk mengatasi risiko yang berada di luar kapasitas yang ada pada objek, seperti menciptakan teknologi baru untuk mengurangi risiko bencana.
Implementasi Kota Samarinda menjadi kota tangguh (resilient city) untuk mengatasi permasalahan banjir menitikberatkan pada manajemen perkotaan yang terpadu. Terdapat beberapa strategi untuk dapat mengimplementasikan konsep tersebut, seperti:
- Mengintegrasikan daerah rawan bencana, jalur evakuasi, dan tempat-tempat pengungsian ke dalam rencana tata ruang. Langkah ini juga harus didukung dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang optimal serta pemetaan zona resiko bencana.
- Mengadopsi prinsip-prinsip mitigasi bencana. Manajemen resiko bencana yang baik dan efektif akan telaksana jika strategi mitigasi yang dilakukan terencana, sistematis, menyeluruh, dan dinamis dalam merespon ancaman bahaya banjir, serta melibatkan semua pihak terkait.
- Mengembangkan inovasi teknologi untuk pengurangan risiko bencana. Dalam rangka untuk merancang sebuah kota tahan terhadap banjir, pengembangan inovasi teknologi menjadi komponen penting (Mandala, 2012).
- Melakukan adaptasi bencana yang direncanakan (autoplastis) secara dinamis dan berkelanjutan. Menurut Carter (1991), konsep mitigasi bencana harus dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif yang mencakup seluruh siklus mitigasi bencana, yaitu pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respon, pemulihan, dan pengembangan terkait dengan bencana.
Perilaku adaptif masyarakat untuk menanggapi perubahan lingkungan, terutama di daerahrawan banjir, diperlukan sebagai salah satu strategi untuk mengurangi risikobencana. Penanggulangan bencana akan terlaksana secara maksimaljika seluruh elemen masyarakat terlibat langsung didalamnya.
Sehingga perludilakukan pendekatan berbasis komunitas seperti Penanggulangan Bencana BerbasisKomunitas (PRBBK). Tujuandari PRBBK adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitasuntuk menghadapi risiko bencana yang mereka hadapi (Paripurno dalam United Nations Development Programme andGovernment of Indonesia, 2012).
Adanyaperan aktif masyarakat merupakan salah satu prinsip terlaksananya konsep kotatangguh (resilient city), yaitumasyarakat tangguh yang siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan bencana. Sehingga dengan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap implementasi darikonsep kota tangguh, maka Samarinda sebagai Kota Tangguh (resilient city) yang bebas banjir dapatsegera diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H