Ia membalas dengan mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya.
Beberapa hari berikutnya, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan mereka. Kami bermain bersama di rumah sakit setiap hari, menikmati waktu sebelum kepergian mereka.Â
Kalau saja hidup ini hanyalah sebuah momentum yang stagnan, kalau saja hidup ini tidak berubah-ubah, aku akan memilih momen bersama mereka untuk diabadikan tanpa sedikitpun keraguan. Momen dimana aku merasa bebas, bahagia dan cukup dengan segalanya yang kumiliki. Realitanya, semesta ini terus berubah, hidup akan meninggalkan apapun yang memilih untuk diam. Dunia memaksa kita mengikuti arusnya yang kejam namun jujur.Â
1 minggu sudah berlalu. Langit Jakarta hari itu dipenuhi oleh awan kelabu. Hari ini Gita dan Nada akan berpindah ke Singapore untuk berobat. Aku pergi ke rumah mereka untuk mengucapkan selamat tinggal.Â
Setelah mereka pergi, aku menangis sejadi-jadinya. Dan kalian tahu, aku hanya bisa berbagi kesedihan, ketidakrelaan itu dengan bulan yang kehadirannya akan diganti matahari, dengan anjing yang menunggu kedatangan pemiliknya, dengan rumput kuning yang berteriak minta tolong meminta seteguk air.Â
Ingat surat yang kubicarakan di awal cerita? Sekarang surat itu sudah menemukan tuannya. Ketika surat itu tiba, aku ingin mereka tahu bahwa aku akan selalu menunggu mereka disini pukul 3 sore, sembari melihat matahari terbenam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H