Â
Pulau sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beragam tradisi turun-temurun dengan kekayaan budaya yang khas. Salah satu kebudayaannya yang khas yakni tradisi "kede" yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakatnya.ÂKede bagi masyarakat Sumba Barat Daya ialah tradisi saling membantu untuk mengangkat derajat/martabat seseorang pada saat melakukan upacara adat, seperti kematian dan pernikahan.Â
Praktek tolong menolong yang berlangsung melalui kede ialah dengan cara memberi bantuan berupa hewan seperti kerbau/kuda/babi pada orang/keluarga yang menyelenggarakan upacara adat.Â
Tradisi ini bersifat resiprokal, sehingga orang yang telah menerima bantuan akan membalasnya dengan hewan yang mempunyai ukuran yang setidaknya sama dengan yang pernah diterima (Mete, 2018).Â
Satu ekor kerbau dengan ukuran tanduk yang besar dengan harga mencapai puluhan juta rupiah, kuda dengan ukuran besar juga harganya mencapai jutaan bahkan belasan jutaan, sedangkan babi dewasa dengan ukuran besar taring yang panjang bisa jual dengan kisaran harga belasan juta rupiah.Â
Masyarakat Sumba memelihara hewan-hewan tersebut untuk memenuhi tradisi Kede dan kebutuhan yang lain jika sewaktu-waktu membutuhkan biaya.
Tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat yang mempertahankan identitas budaya dan nilai-nilai turun-temurun. Namun, dalam beberapa kasus, tradisi juga dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.Â
Salah satu contohnya adalah tradisi kede pada masyarakat Sumba, yang memiliki implikasi yang cukup serius terhadap status kesehatan mereka.Â
Berbeda dengan pernikahan atau pembelisan, dalam kede tidak ada batas jumlah hewan yang wajib diberikan.Â
Setelah hewan ternak diterima, pihak keluarga yang berduka langsung menyembelih hewan tersebut, lalu dimasak dan disajikan kepada pelayat dan juga dibagi-bagikan.Â
Dari penelitian Mete (2021), budaya kede memiliki dampak negatif cenderung menghambat kesejahteraan hidup masyarakat Loura sendiri, misalnya terus dibelenggu utang, menghambat pendidikan formal anak, dan terus dijerat kemiskinan dan ketidakstabilan kehidupan ekonomi keluarga.Â
Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, 4 (empat) Kabupaten di Sumba Angka kemiskinan masih di atas 25% bahkan Kabupaten Sumba Tengah berada diatas  30% (BPS, 2022).Â
Angka kemiskinan yang tinggi sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Salah satunya adalah akses terhadap daya beli bahan makanan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi harian.Â
Asupan kebutuhan makanan yang tidak memadai dapat menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun dan meningkatkan risiko terkena penyakit. Kita ambil contoh beberapa jenis penyakit yang masih tinggi seperti kasus gizi buruk dan stunting pada anak, penyakit Tuberkulosis, Malaria dan penyakit infeksi lainnya.
Menurut penulis, faktor lain dapat berperan menyebabkan terjadinya penyakit di atas. Namun faktor kemiskinan yang bermula dari tradisi kede tanpa terkontrol dapat menyumbang peningkatan masalah kesehatan.Â
Perlu adanya keterlibatan pihak-pihak terkait seperti pemerintah, tokoh-tokoh agama, serta masyarakat untuk tetap melaksanakan tradisi tapi membatasi jumlah hewan ternak yang digunakan. Karena bagaimanapun juga tradisi tetap dilaksanakan tetapi tidak dengan mengorbankan semua harta benda, namun tidak bisa menyediakan makanan yang sehat dan bergizi untuk kesehatan yang baik untuk keluarga dan selalu terjerat oleh belenggu kemiskinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H