Di Indonesia kasus kekerasan seksual berupa pelecehan anak menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tanggal 1 januari 2023 hingga saat ini (real time) yaitu mencapai 25.045 kasus pelecehan.  Diantaranya, korban perempuan sebanyak 22.051 orang dan korban laki-laki sebanyak 5.183 orang. Dari data tersebut, jumlah korban dari kekerasan di Indonesia saat ini benar-benar tragis. Kasus yang mencapai lebih dari dua puluh lima ribu kasus, dan korban dari berbagai usia.  Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa kasus pelecehan seksual di Indonesia akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
Data tersebut menunjukkan bahwa korban dari pelecehan seksual ini tidak pandang jenis kelamin ataupun usia.  Korban laki-laki yang kebanyakan pelajar begitu pula dengan korban perempuan. Di samping itu, kekerasan seksual yang dialami oleh korban sering kali datang dari teman ataupun kekasih (pelaku). Tidak sedikit juga kasus pelecehan seksual dialami oleh anak dibawah umur yang dimana pelakunya adalah orang dewasa.
Dari banyaknya kasus pelecehan seksual, saya sebagai penulis juga akan memberikan contoh kasus di antaranya, seorang pria tua yang sudah beristri melecehkan anak dibawah umur selaku anak dari tetangga. Â Entah apa yang ada di pikiran pria tua tersebut sehingga tega memperdaya anak perempuan dibawah umur untuk melampiaskan kebejatannya.
Pelaku melancarkan aksinya dengan tipu muslihat, dimana pelaku selalu mengiming-imingi 'imbalan' yang tak masuk akal kepada korban, seperti permen ataupun uang senilai 2000 rupiah.  Setiap kali pelaku melihat korban sedang bermain ataupun lewat di depan rumahnya, la akan mulai melancarkan aksinya.  Pelaku akan mulai memanggil korban untuk menghampirinya di dalam rumah seolah ada suatu hal penting yang ingin disampaikan. Hingga pada akhirnya korban pun menanggapi panggilan pelaku.  Saat itulah pelaku mulai melancarkan aksinya, melecehkan korban dengan tindakan-tindakan yang tidak senonoh. Pelaku menenangkan korban dengan alibi tindakan tersebut adalah hal yang wajar.  Pelecehan pada korban tersebut terjadi berulang kali di tempat yang sama, rumah pelaku.
Lalu mengapa korban hanya diam saja dan menerima imbalannya? Â Hal ini dikarenakan korban tergolong anak yang 'kurang' sehingga ia selalu mengiyakan apa yang diucapkan pelaku tanpa mengetahui kebenarannya. Â Selain ketidaktahuannya tentang hal merugikan yang terjadi pada dirinya sendiri, korban juga menerima ancaman dari si pelaku, dimana dia harus tutup mulut dan tidak memberi tahu siapapun . Â Dengan keluguannya dia terus mengalami pelecehan tersebut. Â Hingga pada akhirnya korban mengeluh sakit pada Ibunya, dan dengan cepat ibunya pun menyadari bahwa anaknya telah dilecehkan. Â Tentu saja ibunya merasa sangat marah pada si pelaku, ibu korban tidak menyangka bahwa tetangga yang ia ketahui telah melakukan hal tidak senonoh pada anaknya. Sebelum sempat melaporkan pada pihak yang berwajib dan menangkap pelaku, pelaku pelecehan tersebut telah melarikan diri ke luar kota. Â Hingga sampai saat ini pelaku tidak pernah kembali ke rumahnya dan meninggalkan istrinya.
Apakah kalian berpikir bahwa kekerasan seksual hanya terjadi pada pelecehan fisik saja?  Tidak , kekerasan seksual tidak terbatas pada aspek fisik semata.  Meskipun seringkali ada unsur fisik dalam kekerasan seksual, seperti kontak fisik yang tidak diinginkan, kekerasan seksual juga mencakup aspek non-fisik.  Pelecehan non-fisik seringkali dilupakan atau diabaikan. Jauh dari bentuk kekerasan fisik yang mudah dikenali, pelecehan non-fisik menyebar melalui kata-kata dan perilaku psikologis yang dapat merusak secara mendalam.
Salah satu bentuk pelecehan non-fisik yang umum adalah pelecehan verbal. Â Kata-kata tajam, ejekan, atau ancaman verbal yang menyakiti hati dan membentuk luka yang tak terlihat, mempengaruhi kesejahteraan mental korban. Â Hal tersebut juga dapat membuat korban memiliki trust issue yang kuat dan bisa menjadikannya antisosial.
Anak yang menunjukkan perilaku antisosial dapat mengalami sejumlah efek yang merugikan, baik pada tingkat pribadi maupun pada tingkat sosial. Â Secara pribadi, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan emosional yang sehat dan memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesejahteraan mental. Â Anak-anak antisosial juga cenderung memiliki kesulitan dalam mematuhi norma sosial dan peraturan, yang dapat berdampak pada kehidupan sekolah dan kemungkinan merugikan perkembangan akademis mereka.
Pada tingkat sosial, perilaku antisosial dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan interpersonal, mempengaruhi dinamika keluarga, teman sebaya, dan komunitas sekitar. Â Selain itu, jika tidak ditangani dengan tepat, perilaku antisosial pada anak dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius saat mereka dewasa, termasuk risiko terlibat dalam kegiatan kriminal atau perilaku merugikan lainnya. Â Oleh karena itu, penting untuk mendeteksi dan menangani perilaku antisosial pada anak sejak dini melalui pendekatan yang holistik, melibatkan pendidikan, dukungan psikologis, dan intervensi yang sesuai.
Seperti narasi saya di awal, bahwa kebanyakan korban kekerasan seksual adalah pelajar. Â Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kekerasan seksual terjadi pada pelajar, yang dimana rata-rata dari mereka adalah anak dibawah umur. Â Pendekatan untuk mengatasi fenomena ini harus mempertimbangkan beberapa faktor yang menciptakan rentang rentan di kalangan pelajar.
Salah satu elemen kunci yang berkontribusi pada kekerasan seksual pada pelajar adalah kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif.  Pendidikan seks yang tidak memadai dapat meninggalkan pelajar dalam ketidakpahaman tentang batasan, persetujuan, dan hak mereka dalam hubungan.  Ketiadaan pemahaman ini dapat menciptakan celah yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual.  Alasan utama mengapa pendidikan seks menjadi penting adalah memberikan informasi yang akurat dan ilmiah tentang tubuh dan reproduksi manusia. Dengan pemahaman yang benar, individu dapat mengelola perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas dan memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang sehat terkait seksualitas mereka.
Pendidikan seks tidak hanya tentang aspek fisik, tetapi juga melibatkan pengembangan keterampilan sosial dan emosional. Mendidik individu tentang hubungan sehat, persetujuan, dan komunikasi yang efektif membantu membentuk keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk membangun hubungan yang bermakna dan menghormati satu sama lain.  Pendidikan seks juga berperan dalam mengatasi masalah kekerasan seksual dan pelecehan. Dengan meningkatkan kesadaran tentang batasan-batasan pribadi, hak-hak individu, dan tindakan preventif, pendidikan seks membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari kekerasan.
Masyarakat yang memiliki akses terhadap pendidikan seks cenderung lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap perilaku seksual mereka. Pemahaman tentang risiko dan tanggung jawab dapat membantu mengurangi angka kehamilan remaja, penyebaran PMS (Penyakit Menular Seks), dan masalah kesehatan seksual lainnya.
Norma kekerasan dan ketidaksetaraan gender turut berperan. Lingkungan yang meremehkan tindakan pelecehan menciptakan celah untuk perilaku tersebut, sementara ketidaksetaraan gender memberikan dasar bagi tindakan kekerasan.  Keadaan sosial yang dipenuhi ketidaksetaraan dan tingkat kekerasan tinggi juga memainkan peran. Pelajar yang tumbuh dalam lingkungan semacam ini lebih rentan terhadap risiko kekerasan seksual.  Kurangnya pengawasan dan perlindungan di lingkungan pendidikan serta pengaruh pelecehan di lingkungan sosial juga dapat memperburuk situasi.
Upaya pencegahan harus memperkuat pendidikan seks komprehensif, mengubah norma budaya, dan menciptakan lingkungan yang aman bagi pelajar untuk melaporkan kekerasan. Â Melibatkan semua pihak dalam usaha ini menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan seksual.
Selain memperkuat pencegahan di bidang pendidikan, ada pihak lain yang perlu menangani kasus-kasus yang terjadi.  Kekerasan seksual, sebagai tantangan yang meluas dan serius, menuntut respons yang efektif dari aparat hukum.  Maraknya kasus kekerasan seksual mengekspos kompleksitas dalam menangani masalah ini, dan untuk itu, aparat hukum harus mengambil langkah-langkah yang komprehensif untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.  Pertama-tama, diperlukan penguatan hukum dan penegakan hukum. Undang-undang terkait kekerasan seksual harus diperkuat untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku.  Selain itu, penegakan hukum yang efektif dan cepat perlu dijamin untuk memastikan bahwa setiap kasus diperlakukan dengan serius dan adil.  Proses penyelidikan dan pengadilan harus mencerminkan keberpihakan terhadap korban dan memberikan kepastian hukum.
Dengan menggabungkan upaya-upaya ini, aparat hukum dapat berperan sebagai agen perubahan yang memastikan keadilan bagi korban, penindakan tegas terhadap pelaku, dan masyarakat yang lebih aman dari ancaman kekerasan seksual. Â Keseriusan dan kesinambungan dalam menjalankan upaya-upaya ini akan membentuk dasar yang kokoh dalam melawan maraknya kasus kekerasan seksual.
-Jepara, Jawa Tengah.
Maulida Nurul Izza (231320000751), penulisan artikel ini guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester yang diampu oleh Bapak Dr. Wahidullah, S.H.I., M.H.
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI