Krisis kesehatan di Afrika merupakan masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor, termasuk penyakit menular, kekurangan gizi, dan dampak perubahan iklim. Penyakit seperti malaria, HIV/AIDS, dan tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian. Selain itu, wabah baru seperti Mpox menunjukkan lemahnya sistem kesehatan yang ada setelah pandemi COVID-19.
Kekurangan akses terhadap layanan kesehatan dan infrastruktur yang terbatas memperburuk situasi, terutama di daerah konflik. Perubahan iklim juga memperparah krisis ini dengan meningkatkan frekuensi bencana alam, yang berdampak pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Upaya kolaboratif dari pemerintah dan organisasi internasional sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini secara efektif.
Konflik bersenjata di Republik Afrika Tengah (RAT) telah berlangsung sejak 2013, dipicu oleh kudeta yang dilakukan oleh kelompok pemberontak Séléka. Kelompok ini, yang terdiri dari berbagai faksi, menuntut pemenuhan perjanjian damai yang sebelumnya tidak dipatuhi oleh pemerintah. Kudeta ini mengakibatkan kekacauan dan perang saudara yang berkepanjangan, dengan kekerasan etnis dan agama antara kelompok Muslim Séléka dan milisi Kristen Anti-Balaka.
Krisis ini menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi dan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat. Akses terhadap layanan kesehatan menjadi sangat terbatas, sementara penyakit menular dan kekurangan gizi meningkat drastis akibat konflik yang berkepanjangan dan ketidakstabilan sosial. Selain itu, banyak anak terpaksa terlibat dalam konflik, yang semakin memperparah krisis kemanusiaan di negara tersebut.
Tantangan utama dalam mengatasi krisis kesehatan di Republik Afrika Tengah (RAT) dipengaruhi sistem kesehatan yang lemah disebabkan oleh kurangnya investasi dalam pembangunan fasilitas kesehatan dan pelatihan tenaga medis. Pemerintah tidak mampu atau enggan untuk meningkatkan anggaran kesehatan, sehingga infrastruktur tetap terbatas. Ketidakstabilan akibat konflik bersenjata mengganggu akses ke layanan kesehatan. Lebih dari 100 ribu orang terpaksa mengungsi, membuat distribusi bantuan kemanusiaan semakin sulit. Krisis gizi parah dan meningkatnya kasus penyakit seperti HIV dan tuberkulosis menambah beban sistem kesehatan yang sudah rapuh. Tingkat kematian anak-anak juga meningkat secara signifikan. Meskipun ada permohonan bantuan kemanusiaan, hanya sebagian kecil yang terpenuhi, menghambat upaya perbaikan kondisi kesehatan di negara ini.
Peluang untuk mengatasi konflik bersenjata dan krisis kesehatan di Republik Afrika Tengah (RAT) dapat dimanfaatkan dengan menggunakan mediasi internasional untuk meredakan ketegangan antara kelompok bersenjata. Keterlibatan organisasi seperti PBB atau Uni Afrika dapat membantu dalam menciptakan dialog dan kesepakatan damai yang berkelanjutan. Membangun kemitraan dengan organisasi non-pemerintah dan lembaga internasional untuk memperbaiki infrastruktur kesehatan. Program kesehatan darurat dapat diluncurkan untuk menangani penyakit menular yang merajalela akibat konflik. Melibatkan masyarakat lokal dalam proses penyelesaian konflik dan program kesehatan. Pendidikan dan pelatihan bagi pemimpin komunitas dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian dan kesehatan. Memperoleh bantuan finansial dan teknis dari negara-negara donor untuk mendukung program rehabilitasi pasca-konflik, termasuk rehabilitasi sistem kesehatan yang rusak. Menggunakan peran lembaga keagamaan dalam mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi di antara kelompok yang bertikai, serta meningkatkan kesadaran akan isu kesehatan di komunitas mereka. Dengan memanfaatkan peluang ini, RAT dapat bergerak menuju stabilitas yang lebih baik dan meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Konflik bersenjata di Republik Afrika Tengah (RAT) dan krisis kesehatan yang menyertainya merupakan isu yang saling terkait dan kompleks. Sejak kudeta pada tahun 2013 oleh kelompok pemberontak Séléka, negara ini telah terjebak dalam siklus kekerasan yang berkepanjangan, dengan dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat.
Menurut saya, konflik bersenjata telah menciptakan ketidakstabilan politik yang parah. Pemberontakan ini tidak hanya mengakibatkan jatuhnya pemerintahan yang sah, tetapi juga memicu kekerasan etnis dan agama antara kelompok Séléka (mayoritas Muslim) dan milisi Anti-Balaka (mayoritas Kristen). Hal ini menyebabkan ribuan kematian dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi dari rumah mereka. Ketidakamanan ini menghambat akses ke layanan kesehatan dasar, memperburuk kondisi kesehatan masyarakat yang sudah rentan.
Penulis: Libertino Hutajulu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H