Mohon tunggu...
Liberson Frain Sitanggang
Liberson Frain Sitanggang Mohon Tunggu... -

Saya masih belajar, belajar dalam segala hal.. :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Akan makankah Esok Hari?

29 Juni 2013   17:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:14 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari ini, bangsa ini menangis. Melihat berbagai permasalahan sosial yang secara kasat mata jelas nampak kelihatan. Hari ini, bangsa ini menangis, melihat pemuda/i nya kelihatan cuek akan keadaan sekitar, memang sudah kelihatan biasa, karena telah terbiasakan.

Sebermula ketika saya menuju pulang kearah jalan alternatif yang mereka namakan itu “Sumber”, saya melihat seorang ibu yang dengan ulet membersihkan plastik-plastik untuk tidak bukan memang dikumpulkan untuk dijual alias dibototkan.

Rakyat menangis bangsa tertawa, begitulah sajak yang demikian cocok ketika sudah banyak sang kaya dengan mulusnya bodi-bodi mobil mereka, disampingnya seorang ibu mengumpulkan bototnya.

Balik bertanya diriku, apa yang sudah kuperbuat? Atau apa kelak yang akan kuperbuat? Saya tidak terlalu menuntut negara ini karena demikianlah negara terkesan tutup mata dengan permasalahan ini? Jenuh...

Ibu-ibu kaum marginal perkotaan, sakitnya perjuanganmu! Bagaimana dengan anak-anakmu? Memakan nasi kah hari ini? Adakah uangmu membelikan mereka pulpen dan buku? Tak ada harapan, tak ada peluang bagi anak-anaknya, dimana rasa tidak ada ketika lidah siap mengecap.

Selamat sore bagimu ibu-ibu pemulung, tapi adakah pagi yang cerah untuk teman kami anakmu? Andai ada yang mampu memutus rantai itu, mungkin itu pertanyaanmu? Dan saya yakin engkau menggantungkan harapanmu bagi kami, Pemuda-i bangsa ini.

Tapi, apa yang kelihatan hari ini? Saya ragu apakah bisa menjawab pertanyaanmu ibu pemulung, Pemuda/i mu telah terbuai oleh jaman, sudah masuk roh-roh zaman ini kedalam rusuk-rusuk mereka, menyelimuti nurani dan hati mereka. Materialis, hedonis, individualis, menutup telingadan mata mereka.

Bagaimana tidak? Pemuda/i –mu kulihat sering nongkrong nimbrung dikelas-kelas cafe katakan saja seperti yang berjejer di jalan Dr. Mansur kampusmu.

Ibu Pemulung,adakah nasimu esok hari? Jawabnya demikian, Berharap ada jika kalian pemuda/i membuang sampah dikampus ini sekarang juga, kujamin aku akan memakan nasi esok hari, tapi ragu dengan anak-anakku.

Andai ibu ini bercerita, muatkah hatimu pemuda/i? Tidak perlu memang mendengar dan melihat semata, tapi bertindaklah wahai Agent of Change, statusmu yang kau gadang-gadangkan itu..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun