Saat kecil hingga remaja, saya memiliki ayah yang super sibuk. Hampir semua waktu beliau dalam seminggu dihabiskan di kantor atau untuk urusan bisnis. Ibu saya adalah ibu rumah tangga yang hobi menjahit pakaian. Saya dan kedua adik sibuk belajar dan bermain dalam level usia kami masing-masing.Â
Tapi di hampir setiap harinya, kami punya momen berkumpul bersama di depan layar televisi. Saat itu, kami belum mengenal gawai. Televisi adalah hiburan utama bagi kami meskipun tak banyak pilihan media penyiaran yang bisa kami nikmati kala itu.
Kini, saya telah berkeluarga dan memiliki empat orang anak di masa teknologi digital telah menjadi penunjang aktifitas kami sehari-hari. Hampir setiap orang di rumah memiliki telepon selular.Â
Saya dan suami menggunakan untuk berkomunikasi, bersosialisasi dan menunjang kegiatan kerja atau usaha. Anak saya Zidan dan Aisha menggunakannya untuk berkomunikasi, aktifitas belajar daring di masa pandemi dan tentunya untuk selingan hiburan mereka saat di rumah saja.Â
Laptop yang saya gunakan untuk menulis atau mengerjakan pekerjaan lainnya kadang juga jadi alat hiburan bagi anak-anak, khususnya untuk kedua balita saya Elvan dan Agam. Â
Kami menggunakan televisi untuk sarana informasi, edukasi dan hiburan. Televisi kami selama ini masih menggunakan teknologi analog yang jika cuaca buruk, antena bergeser atau terhalang bangunan maka tampilan tayangan bisa memburuk bahkan hilang. Berkali-kali saya mengganti antena televisi tetapi tetap saja saya tak bisa mendapatkan tampilan layar yang maksimal.Â
Jadi malas rasanya menyaksikan siaran televisi. Belum lagi, beberapa anak saya seringkali berebut menonton siaran di saluran yang berbeda yang membuat antena televisi terpaksa berkali-kali harus kami putar ke sana kemari.Â
Ini yang membuat satu persatu dari kami semakin malas berlama-lama di depan televisi meskipun siaran yang kami tunggu sedang ditayangkan.
Saat ini stasiun televisi berlomba menayangkan program seatraktif atau seedukatif mungkin agar menarik pemirsa. Wajar saja banyak acara yang begitu menggiurkan untuk ditonton apalagi untuk keluarga.Â
Sayangnya televisi kami kurang bisa diajak kompak. Untuk membeli televisi khusus digital atau berlangganan televisi digital saat ini saya rasa kurang bijak bagi saya. Kebutuhan keluarga sedang banyak apalagi dengan jumlah anggota keluarga saya yang tidak sedikit.Â
Lagipula, pemasukan kami tak lagi sebanyak dulu. Pandemi juga jadi faktor yang sangat berpengaruh bagi kondisi ekonomi keluarga saat ini. Saya sadar, saya harus lebih bijak mengelola anggaran rumah tangga.
Telah lama saya mengetahui soal siaran televisi digital yang ternyata banyak nilai lebihnya daripada siaran televisi analog. Saya sering menonton siaran televisi digital di rumah adik-adik saya.Â
Siaran televisi digital itu kualitas gambarnya jauh lebih baik dari televisi analog. Gambar di siaran tv digital tidak berbintik atau kabur di saat antena jauh dari pemancar televisi. Meskipun begitu, tv digital tidak membutuhkan iuran berlangganan, bukan siaran streaming atau menggunakan internet. Siaran tv digital  bisa diterima cukup dengan antena digital.
Menurut situs Kemenkominfo, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan menghentikan siaran televisi analog secara total pada bulan November tahun 2022 nanti. Penghentian siaran analog itu ternyata dilakukan secara lima tahap dimulai sejak bulan Agustus 2021 ini untuk beberapa wilayah hingga penghentian total di 2 November 2022 nanti.Â
Saat mendengar kabar ini, saya sempat panik karena saya belum memiliki televisi digital dan merasa televisi di rumah segera tidak bisa dipakai lagi.
Saya pun menelusuri informasi soal ini secara lebih jauh. Ternyata, televisi analog masih bisa digunakan untuk menangkap siaran digital dengan dibantu alat khusus bernama Set Top Box (STB) TV. Kabarnya, Indonesia menggunakan standardisasi DVB-T/T2 (Digital Video Broadcasting-Terrestrial generasi kedua). Jadi, tv digital atau STB yang digunakan harus dipastikan ada chip DVB-T/T2 ini karena ada beberapa perangkat tv digital menggunakan seri DVB lainnya.
Ini lagi yang menggembirakan buat saya, harga STB ini ternyata sangat terjangkau, tak seperti harga televisi baru atau televisi bekas. Saat ini, kisaran harga STB yaitu 200.000 hingga 300.000 rupiah. Belum lagi, biasanya kalau sudah banyak permintaan kan harganya bisa turun. Kalau lagi begini saya koq jadi ingat teori ekonomi khususnya soal hukum permintaan ya? Ibu bijak harus begitu toh.
Akhirnya saya pun memutuskan membeli STB dan antena tv digital. Wah, hasilnya luar biasa. Televisi analog saya bisa menangkap siaran banyak saluran tv dengan tampilan gambar dan suara lebih mantap, tak pakai bintik-bintik lagi layarnya, hehehe.Â
Alhamdulillah, saya sekeluarga sekarang betah duduk di depan televisi khususnya di jam-jam siaran yang edukatif sekaligus menghibur. Stasiun tv yang tadinya siarannya tidak kami jangkau kini bisa kami nikmati program-program kerennya. Tentunya, kami tak perlu lagi berebut memutar arah antena.
Di luar jam belajar mereka, saya pun jadi senang mengawasi mereka saat menonton televisi. Zidan, Aisha, Elvan dan Agam jadi cukup betah di rumah dan tak terlalu bergantung pada perangkat gawai.Â
Wah, saya jadi berpikir kenapa tak dari kemarin saja kami menikmati siaran digital seperti ini. Kehangatan keluarga saya saat kecil di depan televisi seolah kembali lagi bersama keluarga kecil saya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H