Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hasil Survei dan Halusinasi Kemenangan

18 Maret 2019   22:24 Diperbarui: 18 Maret 2019   22:43 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan: Prabowo Subianto menyampaikan pidato kemenangan di pilpres 2014 dengan acuan hasil quick count. Tak lama kemudian, KPU menyampaikan hasil real count yang memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sumber foto: Youtube.com

Enam lembaga survey baru saja mengeluarkan hasil surveynya mengenai elektabilitas kedua pasangan calon dalam Pilpres 2019. Mereka adalah LSI Denny JA, Polmark Indonesia, SMRC, Konsepindo, Cyrus Network dan Median. Keenam lembaga survey ini memperoleh hasil bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf masih unggul secara elektabilitas dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Sandiaga dengan varian rentang prosentase suara. Tak lama berselang BPN Prabowo-Sandiaga menyatakan bahwa pasangan Prabowo-Sandiaga juga sudah memenangkan survey yang diadakan lembaga internal mereka. Hal ini menjadi kelucuan tersendiri di tengah persiapan banyak pihak memilih pemimpin negeri untuk lima tahun ke depan. Bahkan, BPN pun tidak menjelaskan siapakah lembaga internal dan responden yang diambil oleh pihaknya.

Saya masih teringat beberapa survey di pilkada seperti di DKI Jakarta dan Jawa Barat mengecoh hasil akhir yang sebenarnya. Di bulan Januari 2017 enam lembaga survey mengunggulkan pasangan Basuki Tjahjapurnama dengan Djarot Syaiful Hidayat atas lawan-lawannya di pilkada DKI Jakarta. Hal ini sempat membuat pendukung Ahok dan Djarot di atas angin. 

Padahal, hasil akhir sungguh memilukan bagi pendukung petahana DKI ini ditambah dengan dipenjaranya Ahok di Mako Brimob atas kasus penistaan agama. Memang, di bulan Maret 2017 sebelum pilkada DKI 2017 putaran kedua dilaksanakan setidaknya 5 lembaga survey telah membaca peluang kemenangan Anies-Sandi dan kekalahan Ahok-Djarot. Survey menyebutkan kekalahan Ahok-Djarot dengan selisih yang tipis tetapi hasil akhirnya ternyata jarak jumlah suara keduanya sangat terpaut jauh yaitu 58% untuk Anies Sandi dan 42% untuk Ahok-Djarot. 

Di Jawa Barat, survey terhadap 4 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur jabar menunjukkan angka sekitar 6-7 %untuk paslon dari PKS-Gerindra yaitu Sudrajat dan Akhmad Syaikhu atau di urutan ke-3 setelah pasangan duo Deddy Mulyadi dan Deddy Mizwar. 

Kenyataannya setelah hitung cepat, pasangan calon ini memperoleh suara yang melonjak signifikan ke posisi ke-2 yaitu sekitar 29,5% suara yang hanya bertaut sedikit dengan sang juara yaitu pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Uulum yang memperoleh suara sebesar 32,2%. 

Beberapa contoh lainnya terjadi juga di pilkada Indonesia yang menunjukkan betapa hasil survey tidak menjamin hasil akhir di pemungutan suara dan penghitungan oleh KPU. 

Memang hasil survey bisa membantu tim sukses memetakan kekuatan dan kelemahan elektabilitas mereka bahkan di setiap wilayah. Tapi, mengandalkan hasil survey bisa menjebak tim sukses antara terlena dengan hasil yang baik atau patah semangat dengan hasil yang buruk. 

Di mata saya, survey hanyalah alat untuk memprediksi yang tak lebih seperti prakiraan cuaca yang bisa mengatakan hujan akan turun tetapi faktanya berbeda.  Herannya, mengapa BPN memilih mengatakan bahwa mereka menang survey dari lembaga internal yang publik saja tidak diberitahu apa nama lembaganya. Memang tak bisa dipastikan bahwa pengakuan BPN ini hanya reaksi atas menangnya kubu lawan mereka di atas data survey tapi perahasiaan lembaga survey yang disebut-sebut BPN sebagai lembaga internal itu terkesan tidak biasa. 

Rekayasa hasil survey sungguh keniscayaan. Kepentingannya jelas untuk mengecoh pemilih agar ikut memilih atau ada agenda lain jika fakta di lapangan elektabilitasnya masih menyedihkan. Modus yang paling konvensional adalah meninggikan hasil survey kemudian ketika kalah menuding berbagai pihak bermain curang. Bukan mustahil hal ini akan terjadi pasca 17 April nanti.

Padahal, sebaiknya tim sukses fokus memaksimalkan segala sumber daya di segala lini, menyapa pemilih yang sulit dijangkau tapi masih belum  melabuhkan suaranya kemanapun dan memperkenalkan program-program yang akan dilakukan kelak. Berkutat pada hasil survey ibarat anak gadis yang rawan dikecewakan oleh harapan palsu sang pujaan hati. 

Terlalu tinggi ekspektasi pada hasil survey mengakibatkan berbagai halusinasi yang berdampak baik ataupun buruk. Pilihan mentoknya hanyalah menjaga nama baik dan menyemangati para kader bahwa kubu sendiri punya harapan besar untuk menang. Dan, mengarang bebas pun dilakukan... Kalau mereka bisa mengakui menang dalam survey internal dan rahasia, kenapa tak sekalian diakui mereka menang survey di surga atau langit ke tujuh?

Ah, saya sih memilih tetap membuka mata, kesadaran penuh dan kaki di jejakkan di bumi. Lebih baik terlihat biasa saja pada awalnya tapi menang pada akhirnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun