Nyaris satu bulan menjelang digelarnya pemungutan suara di pilpres dan pileg 2019, 15 Maret 2019 lalu Indonesia kembali digemparkan dengan tertangkapnya seorang ketua umum partai oleh KPK. Romahurmuziy alias Romi, Ketua Umum Partai PPP yang kini berada dalam koalisi Jokowi dan Ma'ruf Amin terkena Operasi Tangkap Tangan di Kanwil Kemenag Surabaya perihal kasus suap untuk lelang jabatan di Kemenag.Â
Sehari setelah ditangkap dan melalui proses pemeriksaan KPK, Romi pun resmi jadi tersangka. Hal ini sedikit mengingatkan terhadap peristiwa yang terjadi persis lima tahun yang lalu ketika ketua umum partai yang sama sekaligus seorang menteri agama, tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi.Â
Kecolongan, mungkin itu yang didalam benak Jokowi bersama tim kampanyenya. Jokowi kecolongan dalam hal mengingatkan selalu dan mengingatkan jajarannya untuk tetap bersih dari korupsi dan menghindari gratifikasi, suap dan penggelapan uang sebisanya.Â
Apa lacur, kini tertangkapnya Romi menjadi catatan pelaku kejahatan yang ada di kubu politik Jokowi. Padahal, jargon 'Orang Baik Pilih Orang Baik' sudah dibentangkan, ternyata ada orang jahat pulak di dalamnya.Â
Penangkapan Romi ini di mata saya punya sisi baik juga. Ini membuktikan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negara kita tidak main-main. Jokowi sang capres yang kebetulan sedang menjabat presiden tidak punya kuasa mencampuri segala proses hukum yang sedang berlangsung.Â
Saya teringat, sehari sebelum penangkapan Romi, pasca sidangnya yang berisi permintaan Jaksa untuk menolak eksepsi dan menerima dakwaan terhadapnya atas kasus penganiayaan terhadap anak, Bahar Smith menyampaikan ancaman kepada Jokowi.Â
Bahar yang saat ini masih ditahan di Rutan Polda Jabar, di ruang sidang itu mengatakan ada ketidakadilan hukum dari Jokowi dan mengancam Jokowi "Sampaikan ke Jokowi, tunggu saya keluar dan rasakan pedasnya lidah saya!" Ini jelas ancaman yang salah sasaran. Kasus hukum yang menjeratnya adalah akibat perbuatan kriminal yang dilakukannya sendiri. Menganiaya dua anak remaja atas alasan apapun tidak dibenarkan.Â
Bahkan, akibat kesalahannya Bahar dijerat pasal berlapis yaitu yaitu Pasal 333 ayat 1 dan/atau Pasal 170 ayat 2 dan/atau Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 KUHP. Jaksa juga mendakwa Habib Bahar dengan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bagaimana pun, ini bukan fitnah atau jebakan.Â
Dan, dari segi hukum pun presiden tidak punya kewenangan untuk campur tangan dalam kasus apapun. Jangankan kasus kriminal, dalam kasus pelanggaran hukum dan korupsi di seputar pejabat di lingkungannya saja Jokowi tak bisa ikut campur apalagi ini.
Pada Agustus 2018 menteri sosial di kabinet Jokowi sekaligus politisi Golkar, Idrus Marham, juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus suap pada proyek PLTU Riau-1. Setelah jadi tersangka, Idrus Marham pun menghadap presiden Jokowi untuk mengundurkan diri.Â
Nyaris di tahun sebelumnya, sesama politisi Golkar sekaligus ketua DPR Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang sudah dilakukannya sejak tahun 2011. Penetapan tersangka sempat dicabut kembali melalui proses praperadilan dan kembali ditetapkan lagi pada 10 November 2017.Â