Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guruh Soekarnoputra, Nasionalisme dalam Mahakarya Seni dan Budaya

21 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:26 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia berperawakan tinggi besar dan mempunyai wajah yang mirip sekali dengan sang ayah. Ia adalah penari, musisi, koreografer dan juga politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nama lengkapnya adalah Muhammad Guruh Irianto Soekarnoputra, anak bungsu dari presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno dengan ibu Fatmawati.

Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia adalah juga seorang pujangga kata. Ia adalah pejuang kemerdekaan, politikus sekaligus seniman. Beberapa puisi ciptaannya jadi inspirasi banyak orang sampai saat ini dan di antaranya ada dalam buku "Puisi-puisi Revolusi Bung Karno" yang disusun oleh Bung Karno sendiri.

Bung Karno pun sempat menciptakan beberapa buah lagu. Di luar itu, ada sekitar tiga ribu hasil karya seni Bung Karno tersimpan di Istana Negara, Istana Bogor, Istana Batu Tulis, Gedung Agung Yogyakarta dan Istana Tampak Siring Bali. Darah seni Bung Karno tidak berhenti sampai dirinya saja tapi mengalir ke sang anak, Guruh Soekarnoputra.

Guruh yang lahir pada 13 Januari 1953 menghabiskan masa kecilnya di Jakarta sejak di sekolah dasar hingga di sekolah menengah atas. Ia merantau ke Belanda hingga tahun 1976 untuk kuliah di jurusan Arkeologi University of Amsterdam.

Dunia seni adalah hal yang digemari Guruh sejak kecil. Kecintaannya seni budaya lokal yang mendorong Guruh belajar menari Jawa, Sunda, Bali lalu mementaskannya di atas panggung. Guruh juga mahir bermain piano. Ia sempat membentuk sebuah band bernama Beat-G di tahun 1965 yang sepuluh tahun kemudian album perdananya dirilis. 

Di album itu ia berkolaborasi dengan musisi-musisi ternama seperti Chrisye, Abadi Oesman dan Keenan Nasution. Musik yang diangkat dalam album itu adalah musik dengan paduan irama gamelan Bali.

Di tahun 1977 Guruh mendirikan sanggar tari Swara Mahardhika.  Konser pertamanya yaitu Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra I berjalan sukses. Guruh pun menggelar konser keduanya yaitu Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra II dengan tajuk "Untukmu Indonesiaku" yang dibuat menjadi film documenter yang dipublikasikan pada tahun 1980.

Konser ketiganya, Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra III digelar di Singapura dengan tajuk Cinta Indonesia Pagelaran Jakarta Week. Konser keempat kembali digelar di Jakarta pada tahun 1986, Pagelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra IV dengan tajuk Gilang Indonesia Gemilang (dilansir dari: Kinibisa.com)

Kecintaan Guruh pada bahasa dan budaya Indonesia seringkali dituangkan dalam lagu-lagu ciptaannya seperti "Cinta Indonesia", "Lenggang Puspita" dan "Damai". Guruh berkolaborasi dengan musisi lainnya dalam membawakan lagu-lagu ciptaannya ini seperti Ahmad Albar dan Vina Panduwinata.

Album "Guruh" dari band Gipsy yang Guruh bentuk baru dilirik konsumen pada 30 tahun sejak album itu dibuat. Bahkan, album berisi alunan musik khas Bali ini menjadi bahan pembicaraan penggemar music rock progresif dari Eropa, Jepang dan Amerika. 

Selain album pertama, band Gipsy juga pernah mengeluarkan album lagi pada tahun 1978 masih dengan nuansa aransemen musik tradisional Bali. Guruh pun membuat pagelaran-pagelaran kolosal di antaranya saat HUT Jakarta ke-462, dalam rangka 10 tahun Swara Mahardika.

Karir seni Guruh merambah ke berbagai bidang hingga ke dunia layar lebar. Guruh ternyata punya kemampuan berakting yang teruji ketika berperan sebagai Sunan Muria dalam film "Sembilan Wali" di tahun 1983. Berkat totalitasnya, Guruh menerima banyak penghargaan dalam bidan seni di tingkat nasional maupun internasional.

Yang membedakan seorang Guruh Soekarnoputra dengan seniman lain adalah idealisme Guruh di balik semua hasil karyanya. Ia menciptakan karya seni dengan dasar kecintaan terhadap budaya bangsanya sendiri. 

Pagelaran-pagelaran yang digelar oleh Guruh tak ubahnya etalase seni dan budaya bangsa Indonesia. Kecintaan terhadap tanah air rupanya sudah ditanam dalam-dalam oleh Bung Karno kepada putranya yang satu ini.

Mungkin tak banyak seniman yang juga ke dalam ranah politik begitupun sebaliknya, politikus yang masuk dalam ranah seniman. Guruh menjalankan kedua profesi ini dalam sebuah harmonisme meskipun awalnya Guruh tidak ingin masuk kedunia politik seperti yang digeluti ayahnya. Tetapi, keprihatinannya terhadap anak muda Indonesia memaksa Guruh terjun ke dunia politik.

"Budayawan dan seniman harus melek politik. Kalau budayawan dan seniman atau profesi lainnya tidak melek politik, serasa ada yang kurang dan akan dibodohi politikus," katanya.

Guruh mulai menjadi anggota DPR RI sejak tahun 1992 di komisi X yang mengurus masalah olahraga, pendidikan, pariwisata dan kebudayaan. Di dunia politik, Guruh berani berkontestasi di pemilihan ketua umum PDIP dan menjadi rival kakaknya sendiri, Megawati Soekarnoputri. Guruh pernah mengkritik kepemimpinan Megawati yang dinilainya seperti gaya Orde Baru. 

"Ini kan mirip zaman Pak Harto saat akan diajukan sebagai presiden tahun 1997 yang akhirnya lengser di tengah jalan. Lebih baik Mba Mega istirahat, saya sebagai adik biologis dan ideologis siap menggantikan posisi beliau," kata Guruh saat itu, dilansir dari Tokoh Indonesia.  Namun, Guruh tidak terpilih menjadi ketua umum karena jumlah suara yang sedikit.

Guruh kerapkali khawatir terhadap gaya berbahasa dan budaya anak muda yang semakin menjauhi bahasa dan budaya asli leluhur bangsa Indonesia. Menurutnya, anak muda saat ini cenderung kurang bangga dengan kebudayaan asli mereka.

Ia ingin mengajak generasi muda Indonesia untuk menggunakan Bahasa Indonesia secara bijak. Baginya, bahasa Indonesia merupakan unsur kebudayaan yang bisa menyelamatkan bangsa.

Guruh menginginkan bangsa Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. "Dalam sejarah berdirinya negeri ini perhatian yang paling besar ada di zaman Soekarno, belum ada konsep yang jelas dari pemerintah mengenai kebijakan kebudayaan," ungkapnya.

Rasa nasionalisme mengalir deras dalam diri kedua insan ayah dan anak ini. Bung Karno dan Guruh Soekarnoputra adalah dua pejuang bangsa di generasi yang berbeda. Jika Soekarno berjuang melalui politik dan diplomasi dengan gaya senimannya, Guruh berjuang menanamkan kecintaan generasi muda pada bahasa, seni dan budaya Indonesia dengan kendaraan politik yaitu posisinya sebagai wakil rakyat di DPR.

John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35 sekaligus sahabat Bung Karno pernah berkata "Jika seni bertujuan untuk memelihara akar dari budaya kita, masyarakat harus membiarkan seniman bebas mengikuti visi mereka masing-masing kemanpun hal itu membawa mereka."

Seorang Guruh Soekarnoputra memperjuangkan kelestarian kebudayaan kita melalui karya seni dan membawa segala misinya di kursi wakil rakyat di Senayan. Semoga selalu ada seniman yang tak hanya memberikan hiburan melalui pentas seni tapi memiliki rasa nasionalisme yang baik untuk melestarikan budaya kita.

***

Sumber:

www.tokohindonesia.com , www.kinibisa.com , www.kumparan.com , www.halosutra.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun