Perjalanan PDI sejak 1973 hingga 1993 terus diwarnai intervensi pemerintah yang semakin kuat. Konflik internal pun terjadi pada Kongres IV PDI di Medan pada 21-25 Juli 1993. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon ketua umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketua umum yang didukung Megawati Soekarnoputri. Megawati kala itu belum bisa tampil karena situasi politik belum kondusif.
Kongres yang dibuka oleh Presiden Soeharto itu pada awalnya berjalan lancar tapi beberapa jam kemudian kongres ricuh karena datang hadirnya para demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos ke arena sidang Kongres tetapi dihadang aparat kepolisian. Kongres kembali dilanjutkan hingga Soerjadi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Tetapi, suasana kembali ricuh karena aksi demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil masuk ke arena Kongres.
Pemerintah pun mengambil alih komando kepada PDIP melalui Mendagri Yogie SM dan mengusulkan membentuk caretaker. Akhirnya, pada tanggal 25-27 Agustus 1993 susunan resmi caretaker DPP PDI ditetapkan.
Pasca Kongres IV PDI di Medan yang berakhir ricuh, nama Megawati Soekarnoputri pun digadang-gadang untuk menjadi ketua umum karena dianggap mampu mempersatukan PDI.
Peluang tampilnya Megawati sebagai pemegang kendali PDI memicu kekhawatiran pemerintah. Untuk menghadang Megawati, muncul larangan mendukung pencalonan Megawati. Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati berunjuk rasa besar-besaran pada 20 Juni 1996 dan berakhir bentrok dengan aparat. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Gambir Berdarah.
Puncak dari segala kericuhan yang dialami PDI yaitu pada tanggal 27 Juli 1996 kelompok pendukung Soerjadi melakukan pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dari pendukung Megawati, Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Bagaimanapun seorang Megawati dihadang, dukungan terhadapnya semakin membentang. Di bawah kepemimpinan Soerjadi, suara PDI merosot tajam hingga hanya 11 kursi di DPR pada pemilu 1997.
Aksi demonstrasi terhadap pemerintah dan kerusuhan besar-besaran terjadi di tahun 1998. Aksi masa tergerak untuk melakukan reformasi politik. Soeharto pun lengser. Era Orde Baru pun berakhir. PDI pro Megawati punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pada bulan Oktober 1998, PDI pro Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI di Denpasar, Bali. Dalam Kongres ini, Megawati terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun begitu, di atas kertas pemerintah hanya mengakui PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi.
Untuk ikut serta dalam pemilu 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDIP) pada tanggal 1 Februari 1999. Pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Pengurus dan kader PDIP mendeklarasikan nama partai baru mereka. PDIP pun tampil sebagai pemenang pemilu tahun 1999. Di tahun ini juga sidang paripurna MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden.