Mohon tunggu...
Lia
Lia Mohon Tunggu... Lainnya - A Science and Pop Culture Enthusiast

Passionate on environment content, science, Korea and Japanese culture.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bukan Pohon, Paus Ternyata Penyerap Karbon Terbesar Bagi Bumi

13 Februari 2024   13:00 Diperbarui: 13 Februari 2024   13:07 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emisi karbon adalah proses pelepasan karbon ke atmosfer Bumi yang dapat meningkatkan pemanasan global. Akibatnya, suhu Bumi naik sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim. Dampaknya, bisa kita rasakan belakangan ini di mana Bumi makin panas, es di kutub mencair lebih cepat, cuaca kian tidak menentu, dan kerap terjadi bencana alam.

Menanam Pohon Bukan Solusi Efektif Perubahan Iklim, Kok Bisa?

Dalam menekan pemanasan global maupun perubahan iklim, seringkali kita menilai menanam pohon sebagai solusinya. Hal ini dikarenakan banyak yang mengira bahwa pohon adalah makhluk hidup yang paling berkontribusi dalam menyerap emisi karbon di Bumi.

Sejak di sekolah kita belajar akan manfaat pohon dalam menyerap gas karbondioksida, salah satu emisi penyebab pemanasan global. Namun, sebenarnya manfaat pohon dalam menyerap emisi tersebut kurang efektif dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ternyata, ada satu makhluk hidup yang jarang diketahui berperan penting dalam mengurangi emisi karbon di Bumi terutama di laut.

Adu Kekuatan Daya Serap Karbon: Seekor Paus Menang Telak Ketimbang Sebatang Pohon!

Paus, makhluk hidup ini biasa kita kenal sebagai mamalia laut terbesar di lautan. Mirisnya, menurut World Wide Fund (WWF), sekitar 6 dari 13 spesies paus besar masuk kategori ENDANGERED atau terancam punah dan VULNERABLE (rentan punah). Padahal, besar kontribusi paus dalam memerangi perubahan iklim yang saat ini terjadi.

Riset dari Lavery dkk (2010) membuktikan, seekor paus besar rata-rata mampu menyerap dan menyimpan emisi gas sekitar 33.000 kg CO2 sepanjang hidupnya. Lebih lanjut, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa satu populasi paus (kecuali kelompok sperma) mampu menenggelamkan karbon di dasar lautan hingga 1,9 juta ton per tahun. Jumlah ini hampir setara dengan menghilangkan emisi dari 40.000 - 410.000 mobil di jalan raya tiap tahunnya.

Sedangkan sebatang pohon hanya bisa menyerap 48 pon atau 22 kg CO2 selama setahun. Makanya, apabila dibandingkan per satu spesies makhluk hidup tentu paus lebih unggul dalam menyerap karbon. Bisa dikatakan seekor paus lebih efektif menekan perubahan iklim ketimbang satu batang pohon.

Bagaimana Caranya Paus Menyerap Karbon?

Perlu diketahui bahwa setiap makhluk hidup memiliki zat karbon dalam tubuhnya. Makin besar ukuran makhluk hidup tersebut, maka kian tinggi kadar karbonnya. Paus sendiri termasuk hewan berukuran raksasa dengan bobot dapat mencapai lebih dari 150 ton. Tak mengherankan, betapa besarnya karbon yang tersimpan dalam tubuh seekor paus.

Menariknya, paus juga bisa memerangkap karbon yang ada di lautan melalui kotoran dan bangkai tubuhnya. Mekanisme prosesnya bisa dilihat berikut ini:

Mekanisme penyerapan karbon oleh paus

Sumber: Dok. pribad
Sumber: Dok. pribad
  • Paus menghasilkan kotoran yang kaya zat besi, nutrien (semacam zat gizi) yang penting bagi pertumbuhan fitoplakton (organisme mikroskopis di perairan) yang dapat berfotosintesis.
  • Kotoran paus tersebut nantinya diserap oleh fitoplakton, di mana dalam proses fotosintesis membutuhkan CO2 (karbondioksida). Pada proses inilah terjadi penyerapan karbondioksida, salah satu gas penyebab perubahan iklim.
  • Lewat kotoran yang diserap fitoplankton tersebut, secara tidak langsung paus turut mengurangi kadar CO2 di lautan. Bahkan, tercatat paus mampu menyerap 40% CO2 secara global per tahunnya.
  • Sedangkan ketika paus mati, bangkainya akan tenggelam ke dasar laut sehingga karbon dalam tubuhnya terendap dan tidak terurai ke atmosfer. Melalui serangkaian proses tersebut, paus menjadi makhluk hidup yang berandil besar dalam menjaga keseimbangan kadar karbon di laut.

Paus Terus Diburu, Haruskah Ternak Paus Demi Tekan Perubahan Iklim?

Meski paus memiliki kemampuan menyerap karbon terbesar di dunia, bukan berarti ternak paus sebagai solusi perubahan iklim. Bagi awam, gagasan semacam ini mungkin saja bisa terlontarkan begitu saja. Realitanya, memelihara paus saja tidaklah semudah beternak ikan lele apalagi mengembangbiakan mamalia laut berukuran raksasa tersebut. Sebab itu, satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menghentikan perburuan paus di dunia.

Perburuan Paus Sejak Abad ke-20 Sumbang 70 Juta Ton Karbon

Mirisnya, sejarah mencatat bahwa perburuan paus telah terjadi sejak ribuan tahun silam. Dikutip dari Kompas, bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia melakukan perburuan paus dari tahun 3000 SM. Kemudian, perburuan ini terus berlanjut hingga sifatnya komersial atau untuk diperdagangkan. International Whaling Commission (IWC) mengungkap, secara statistik sebelum perburuan paus dilarang dan dibatasi, tercatat 6.000 -- 7.000 ekor paus diburu tiap tahunnya.

Perburuan paus tersebut tidak hanya mengurangi populasi tapi juga memperburuk perubahan iklim. Hal ini dikarenakan paus yang mati diburu bangkainya akan terurai di permukaan laut jika tidak dikubur. Bangkai tersebut akan terurai dan mengeluarkan emisi karbon ke atmosfer sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim.

Seorang ilmuwan kelautan di Universitas Maine, Andre Pershing memperkirakan, perburuan paus sejak abad ke-20 telah menyumbang emisi karbon sekitar 70 juta ton ke atmosfer. Kini, perburuan paus juga masih terjadi di beberapa negara meski terbatas jumlahnya. Kendati demikian, pengembangbiakan paus memungkinkan dilakukan seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi di masa depan.

Apapun itu, terpenting mamalia laut ini harus dilestarikan sehingga keseimbangan ekosistem di lautan tetap terjaga. Di samping itu, besarnya penyerapan karbon oleh paus ketimbang pohon bukan berarti membiarkan eksploitasi hutan terus terjadi. Tentunya akan lebih baik jika paus dan pohon terus dilestarikan demi merawat Bumi bagi kehidupan generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun