Awalnya, tahu buku ini dari podcast Aditya Hadi, Buku Kutu. Buku ini bersampul kuning dengan cover-nya seorang perempuan mengenakan seragam karyawan selayaknya pegawai minimarket. Buku karya Sayaka Murata ini memiliki halaman yang cukup tipis, namun isinya cukup unik.
Suatu hal yang menarik dari review dalam podcast tersebut adalah karakter utama dalam cerita novel ini. Karakter tokoh utama yang dianggap aneh dan tidak normal. Dari buku ini saya belajar, jadi apa sebenarnya normal itu.
Gadis Minimarket, sebuah novel yang menceritakan seorang pegawai minimarket yang bekerja selama 18 tahun. Keiko, tokoh utama dalam novel tersebut diceritakan saat ini berusia 36 tahun. Sepanjang hidupnya dia hanya bekerja di minimarket dan menjadikan minimarket sebagai bagian dari hidupnya. Seorang gadis yang bekerja menjadi karyawan paruh waktu di minimarket selama itu tentunya menjadi tanda tanya, termasuk saya.Â
Ketidaknormalan Keiko ini sebenarnya telah ditampilkan sejak awal cerita. Kembali di masa kecilnya, Keiko bermain seperti anak kecil pada umumnya. Hal aneh terjadi ketika seekor burung kecil mati tergeletak. Teman-teman Keiko menghampiri burung tersebut dan tampak raut wajah mereka sedih hingga ada yang meneteskan air mata. Berbeda dengan temannya, Keiko tampak biasa saja. Kemudian, ibu Keiko datang dan sama dengan teman-temannya, ibunya juga merasa iba melihat kondisi burung tersebut.
Ibunya berkata bahwa sebaiknya burung tersebut dikuburkan. Sebaliknya, Keiko malah berkata bahwa burung tersebut sepertinya enak dimakan tapi tidak cukup untuk kita sekeluarga. Mendengar ucapan anaknya, ibunya terkejut. Keiko pun mendebat, apa salahnya memakan burung yang mati tersebut. Keiko juga melihat teman-temannya memetik bunga-bunga di taman, tanpa sadar mereka juga membuat bunga-bunga tersebut mati. Lalu, apa bedanya dengan burung yang mati tadi. Inilah yang membuat Keiko bingung. Mereka melihat suatu hal yang sama tetapi mengapa ekspresi yang ditunjukkan berbeda. Dan kejadian seperti ini tidak hanya terjadi sekali.
Sejak itu, Keiko tidak hanya merasa dirinya berbeda, tapi juga keluarganya yang menganggap dirinya harus segera disembuhkan. Meski telah mengikuti konseling, nyatanya Keiko tidak merasa dirinya sembuh. Lebih tepatnya, dia tidak merasa ada yang salah dengan dirinya, namun beberapa orang menilai pikirannya memang berbeda. Akhirnya, Keiko memutuskan lebih banyak diam daripada terus-menerus dianggap "tidak normal" oleh orang-orang di sekitarnya.Â
Kembali pada pekerjaannya sebagai pegawai paruh waktu di minimarket. Orang tua bersyukur akhirnya, anak perempuan pertama dalam keluarga tersebut mampu terjun ke masyarakat meski sebagai pegawai minimarket. Keiko belajar banyak hal tentang minimarket, terlebih lagi dia juga mengikuti style beberapa rekan kerjanya. Hal ini dia lakukan sebagai bentuk agar menjadi normal.
Mulai dari gaya bicara, cara berpakaian, bahkan cara berekspresi ditiru Keiko dari mengamati sikap rekan-rekan kerjanya. Terlebih lagi, Keiko dianggap tidak pernah marah sekalipun ia kesal. Untuk itu, dia juga belajar cara berekspresi dalam meluapkan emosi dari rekan kerjanya seperti Sugawara dan Izumi. Bagi Keiko, meniru mereka adalah solusi agar dirinya tampak normal.Â
Keiko merasa sangat nyaman bekerja di minimarket tersebut. Tidak mengherankan dia betah hingga menjadi perempuan paruh baya. Di minimarket, terdapat panduan seorang pegawai mulai dari tata berpakaian, cara melayani, dan beberapa aturan lainnya yang menurut Keiko tidak mengekang tetapi membuatnya tahu apa yang harus dilakukan. Terlebih lagi, manajer minimarket yang telah berganti hingga 8x tersebut juga mengajarkan cara berkomunikasi kepada pelanggan sehingga ini pelajaran penting bagi Keiko.Â
Namun, bekerja di minimarket selama itu tidak membuat Keiko lantas diterima dalam masyarakat, khususnya circle-nya yang dulu juga bekerja di minimarket. Hanya Keiko yang bertahan, para rekan kerjanya dulu telah melanjutkan hidup dengan menikah kemudian membangun rumah tangga dan tentunya mendapat pekerjaan yang stabil atau bukan paruh waktu. Keiko makin menyadari bahwa orang-orang memang kurang menerimanya, bahkan mereka terkejut karena Keiko di usia 36 tahun tersebut belum pernah menjalin asmara.
Berbagai pertanyaan pun dilontarkan pada koleganya ketika mereka sedang reuni bersama. Dan ini membuat Keiko harus mencari jawaban yang tepat agar mereka berhenti. Berkat adiknya, opsi jawabannya adalah masalah kesehatan Keiko. Dia menjadikan itu alasan mengapa dia memilih bekerja di minimarket hingga detik ini dan tidak menjalin asmara. Lebih baik disangka seperti itu daripada dihujani berbagai pertanyaan yang membuat dirinya sulit diterima di masyarakat.Â
Hidup Keiko secara perlahan berubah ketika seseorang menjadi pacarnya, meski bukan sungguhan. Setidaknya, orang-orang sekitarnya bisa lebih menerimanya dan itu terbukti ketika mereka berkumpul kembali. Mereka ternyata begitu antusias dengan kehidupan asmara Keiko. Keiko pun tersadar bahwa selama ini itulah yang mereka inginkan dan dengan begitu ia bisa dianggap normal.Â
Selesai membaca novel ini rasanya cukup unik, namun memiliki ending yang kurang cukup memuaskan. Belum terlalu dijelaskan bagaimana Keiko hidup pada akhirnya, kelanjutan hubungan asmara palsunya, dan apakah Keiko memang benar-benar tidak normal atau mengidap gangguan tertentu. Ini serasa masih menjadi misteri.Â
Tapi, menariknya adalah cara pandang menulis menggambarkan sisi normal dalam kehidupan bermasyarakat. Dari kisah Keiko, dapat kita pelajari bahwa secara umum normal dalam masyarakat, yakni belajar baik hingga kuliah atau tidak, kemudiaan bekerja, lalu menikah dan membesarkan anak hingga akhirnya meninggal. Inilah jalan hidup yang diterima masyarakat pada umumnya.Â
Sebenarnya Keiko tidak salah sama sekali, dia tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Dia hanya nyaman dan senang bekerja di minimarket. Namun, bagi sebagian besar orang bekerja di minimarket selama itu dan tidak pernah menjalin asmara adalah suatu hal yang aneh. Barangkali orang-orang seperti ini juga dinilai kurang penting di masyarakat.Â
Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Di tahun 2021 ini, sudah bukan lagi mengikuti gaya hidup yang ada pada umumnya karena setiap insan memiliki karakteristik dan proses tersendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi tanpa harus menjadi beban bagi kehidupan orang lain. Menjadi berbeda dari masyarakat juga bukan masalah selama itu tidak merugikan sekitar. Dan jika merasa berbeda apalagi dinilai tidak berguna, setidaknya tidak menyusahkan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H