Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wabah Dunia

17 Oktober 2020   10:35 Diperbarui: 17 Oktober 2020   10:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah ini lebih mengerikan dari pandemi paling mematikan di dunia? Maksudku, virus ini bisa menyebar dengan sangat cepat tanpa kita sadari. Tentu saja dengan media yang juga tidak kita sadari. Gambaran tentang kengerian kaum nabi luth membayang di kepalaku. Bulu romaku seketika bergidik teringat betapa mencekamnya ketika Allah sang penguasa semesta alam ini, memenuhi janji-Nya. Menimpakan azab yang sangat pedih bagi kaum yang sudah jauh menyimpang. Ah, kita manusia ini kadang terlalu angkuh dan bangga melanggar perintah-Nya. Padahal bukan hal yang sulit bagi-Nya untuk membalikkan bumi tempat kaum sodom dan gomora tinggal. Semuanya lenyap tak bersisa.

"Apakah mungkin sejarah yang lalu akan berulang? Tentang kaum sodom dan gomora, apakah akan terjadi lagi?" pertanyaan yang selalu muncul dalam benakku setelah pertemuanku dengan seorang teman lama. Ada harapan besar bahwa semuanya akan bak-baik saja. Semuanya akan berjalan sesuai jalanya masing-masing kembali.

"Mungkin saja" jawab seorang guru dengan senyum. "Tapi tidak selalu sama, bisa jadi Allah tegur dengan bencana alam, wabah atau musibah yang lain".

Aroma kopi yang menyeruak membuat otakku sedikit tenang. Aku mulai menyukai kopi entah sejak kapan. Tapi percayalah zat-zat dalam kopi adalah obat mujarab untuk menenangkan syaraf-syaraf dalam otakku. Aku memejamkan mata sejenak sambil mengecap sisa tegukan kopi yang baru saja aku telan. Aku biasa menghabiskan waktuku di kafe ini dengan meminum kopi dan membaca. Tapi malam ini tidak satu bukupun tergeletak di meja. Aku hanya ingin berbicara dengan diriku sendiri.

Minggu ini sungguh terasa berat bagiku. Otakku selalu dihantui pengakuan seorang teman lama dalam perjumpaan terakhir kami. Namanya Syaqila ferani. Aku memanggilnya Aqil. Perwakannya sama denganku, namun lebih tinggi. Matanya coklat. Dengan pipi tirus yang tegas. Yah, dia memang terlihat agak maskulin, mungkin karena dia tinggal hanya dengan ibu dan adik perempuanya. Sehingga ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menjadi pelindung keluarga.

Hubungan kami sangat dekat, dulu. Sebelum akhirnya kami berbeda sekolah. Kami jarang sekali bertemu setalah itu. Bahkan untuk saling berkirim pesan sama sekali tidak pernah. Tapi syukurlah keterlibatan kami dalam salah satu komunitas sosial kembali menyatukan kami dalam persahabatan yang hangat. Kami terbiasa dengan perdebatan-perdebatan kecil tapi tidak pernah bertengkar karenanya.

Aku teringat pada suatu sore, seperti biasa selesai rapat komunitas, kami menghabiskan waktu senja dengan secangkir kopi dan menu cerita yang tidak ada habisnya. Kami saling menceritakan hari-hari kami selama seminggu terakhir dengan antusias. Sampai akhirnya dia mengungkapkannya.

"Key, gue mau jujur tentang aqil undercover, yang tempo hari kita bahas lewat pesan" ucapnya serius.

"Ah oke. Ngomong aja, gue dengerin" jawabku dengan mengunyah sesuap makananku.

"Gue lesbi key" seketika aktifitas mnegunyahku terhenti.

Aqil menyandarkan tubuh pada pegangan kursi.

"Gue udah ngira kalo lo ngga bakal percaya sama gue" ucapnya putus asa. "terserah kalo setelah ini lo mau jauhin gue atau jijik sama gue, gue ngga peduli. Gue cuma butuh pendengar"

Aku menyendok seusap makananku lagi. Aku melakukkanya dengan sangat hati-hati. Kakiku bergetar hebat. Jantungku seakan merosot mendengar setiap kaliamat yang dia ucap. Yah, aku menyadari mereka ada dan nyata. Dan bukankah ini yang selalu kami bahas di komunitas? Kami akan berhadapan dengan hal ini dan kami harus terbiasa.

Komunitas sosial yang kami garap ini adalah bentuk keprihatinan kami terhadap fenomena seks bebas dan maraknya LGBT. Kasus ini terus berkembang semakin masif akhir-akhir ini. Apalagi dengan keberanian deklarasi secara terang-terangan kelompok LGBT di beberapa daerah di indonesia. Mereka seperti menegaskan bahwa keberadaan mereka bukan hal yang salah di dunia ini. Penyimpangan yang mereka alami adalah sebuah takdir Tuhan yang harus mereka syukuri. Bahkan malah mengkampanyekan untuk pengakuan publik tentang kaum mereka. Dan melegalkan segala bentuk hubungan yang mereka lakukan di ruang publik.

Ini sudah gila, maksudku hal ini tidak boleh terus berkembang. Penyebarannya sangat cepat dan tidak terkendali. Penanganannya pun tidaklah mudah. Analoginya seperti ini, Sesorang yang terjangkit sangat mungkin menularkan kepada orang lain. Tanpa rasa sakit seperti virus atau penyakit pada umumnya. Mereka cenderung bahagia saat melakukanya. Maka tidak menuntup kemungkinan bahwa yang awalnya adalah korban selanjutnya menjadi pelaku yang mencari korban baru dengan atau tanpa sadar. Dan akan terus seperti itu. Seperti lingkaran setan. Menegerikan bukan?

Komunitas kami mencoba melihat itu dengan pendekatan yang manusiawi. Pemutusan rantai itu sangat sulit dilakukan. Tapi apa salahnya mencoba. Kami mulai dengan menganalisis penyebab kemudian mencari solusi. Dan kau tahu? Penyebab utama yang yang mendorong keterbukaan mereka di khlayak umum adalah ketertindasan. Mereka merasa tertindas dan tidak mendapat hak-haknya sebagi manusia di ruang publik. Depresi itu akan memeperburuk keadaan dan tidak ada rasa untuk bangkit dan kembali normal. Oleh sebab itu kami berusaha menyembuhakan melalui pendekatan emosioanal. Menjadi teman bukan lawan. Berusaha menjadi pendengar. Berusaha memberi semangat untuk bangkit dan berusaha kembali. Yang mereka butuhkan adalah pelukan hangat, bukan kalimat hujat.

Aku sadar tentang hal itu. Bahwa kami harus berusaha menjadi sahabat para target. Menekan segala rasa tak nyaman yang mungkin hadir selama proses tersebut. Tapi kami baru memulai. Aku belum terbiasa. Dan apa ini? Pengakuan ini sungguh, Boom. Terlalu mengejutkan. Orang terdekat. Seorang sahabat. Aku benar-benar kacau sore itu.

Kutarik nafas panjang perlahan. Kami saling diam dan menyantap makanan kami masing-masing dalam beberapa detik. Jantungku terus memompa darah begitu cepat. Ah, aku bisa mati muda jika seperti ini. Mati-matian aku mencoba menenangkan diri dan berusaha bersikap normal dan biasa saja.

"Kalo lo jijik ngga papa, ngga usah temenan sama gue lagi. Gue berani cerita ke elu doang karena gue pikir lu cukup open minded dalam hal begini" ungkapnya dengan menatap kosong piring makananya.

"Sejak kapan?"

Pertanyaan apa itu. Aku tidak menyangka aku setenang itu. Semoga dia tidak melihat tumpukan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk mataku. Aku benar-benar jatuh dalam bifurkasi paling dalam.

"Gue juga ngga mau kaya gini key. Kita semua ngga mau kaya gini. Kita mau hidup normal. Dan gue juga lagi nyoba buat keluar tapi ngga gampang" tanganya bergetar hebat. Meskipun dia terus memaksakan untuk tersenyum.

"Gue bisa bantu apa?, gue harus gimana qil?.  Lo harus sembuh"

Aku runtuh. Aku terlalu emosional untuk bersikap tenang.

"Ngga, lo ngga harus ngapa-ngapain. Setidaknya gue udah lega lo tetep jadi temen gue meskipun lo tau gue yang sebenernya"

"gue yakin lu bisa, gue percaya kalo lo bakal berusaha keras buat itu" aku tersenyum meyakinkan.

"gue tau gue hebat, ngga usah kagum" kami lantas tertawa.

Ku teguk kembali cappucino late-ku yang tinggal setengah. Ruangan ini lengang. Semakin malam temperaturnya semakin dingin. Aroma kopi semakin dalam menusuk. Mungkin karena banyak penggemar Amerikano yang beraroma tajam itu mulai banyak singgah. Aku mengamati jalanan yang mulai lengang dari jendela bening lantai dua kafe favoritku ini.

Ingatan tentang percakapan itu seperti kaset radio yang diputar berulang. Aku sudah menemukanya. Pasien pertamaku. Orang terdekat. Ini semua sangat lucu bukan? Dan percayalah aku sempat beberapa kali insomnia karenanya. Sampai seorang senior berkata "bawa masalahmu dalam solat malam mu. Mungkin itu alasan Tuhan untuk dekat kepadamu. Biar Tuhanmu yang memberi jalan".

Seringkali kita terlalu memaksakan diri untuk mengubah takdir. Padahal tugas dokter adalah memberi obat. Sudah. Hanya sebatas itu. Kesembuhan adalah mutlak hak Allah. Bukankah "Allah akan menimpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan melindungi siapa saja yang Dia kehendaki". Seharusnya kita tenang dengan kalimat itu. Tugas kita hanya berusaha, biar Allah yang menentukan hasil.

Bagiku setiap perjalanan hidup adalah pelajaran. Dan aku banyak belajar optimisme dari sahabatku itu. Keterlibatanya dalam komunitas adalah cara dia untuk menyembuhkan diri sendiri juga orang lain. Aku kagum atas tekatnya menjadi obat walau sedang sekarat.

Andaikan setiap orang menyadari hal tersebut. Bahwa pandemi yang sangat berbahaya itu sedang subur berkembang. Maka jadilah salah satu orang yang memutus mata rantai tersebut.  Bumi kita mulai jengah atas setiap tindak tanduk kita. Begitupun alam kita yang sudah terlalu lelah dan geram melihat kemaksitan yang kita tebar dengan bangga. Semoga Allah tidak menghukum kita seperti hukuman atas kaum nabi luth karena keapatisan kita terhadap kemaksiatan.

Malam semakin larut. Kusudahi ritual minum kopiku dan segera pulang. Sudah hampir 3 jam aku menghabiskan waktu dengan pikiranku sendiri. Semoga apa yang kami lakukan menjadi penghalang datangnya azab Allah atas umat ini. Temaram lampu jalan menjadi teman yang asik di perjalanan. Ku cukupkan malam ini, semoga besok pagi semuanya baik-baik saja, Pandemi mengerikan itu segera usai dan tekendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun