Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Kita, yang Mementinkan Diri Sendiri

17 Oktober 2020   00:36 Diperbarui: 29 Oktober 2020   20:18 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ngomongin manusia itu ribet ya. Nyatanya kita nggak pernah paham seseorang  even kita ngerasa udah deket banget sama orang itu. Ya, ini udah pernah gue bahas di tulisan yang sebelumnya. Singkatnya kita hanya bisa menilai orang lain dari apa yang kita lihat dan tentunya dia perlihatkan. Bisa berupa perbuatan, ucapan, dan lainnya.

Nah menariknya, setiap orang punya batasan masing-masing tentang apa yang boleh dilhiat orang apa yang enggak. Ini juga berkaitan dengan masalah-masalah yang dia alami. Jadi ketika orang lain cerita tentang hidupnya, plis jangan pernah bilang, "yaelah gitu doang". Hei boss, nggak sesimpel itu. Ada banya faktor yang ngebuat suatu masalah jadi complicated buat dia. Yang dia ceritain itu cuma salah satu part of their life yang kalau kita bisa lihat sebenernya, beririsan sama masalah-masalah lain yang dia punya.

Nah kali ini gue pengen ngomongin tentang kecenderungan kita yang mementingkan diri sendiri. Nggak usah marah kalau dikatain egois. Faktanya memang begitu guys. Menurut Gillin, dalam bukunya "Skill With People" kodrat manusia adalah mementingkan dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tindakan manusia diatur oleh pikirannya sendiri, kepentingan dirinya.

Jika kita tarik kesimpulan, apasih yang dipertahankan sesorang dari dirinya sendiri? Ego. Gillin nyebutnya ego. Dalam bukunya The Art Of Dealing With People, egoisme bisa menimbulkan dua effek tindakan bagi manusia yaitu positif dan negatif.

Positifnya ego  bisa menimbulkan sikap mulia dan bijaksana. Buku ini menyebutkan ego adalah keunikan dalam diri seseorang. Jadi egoisme adalah paham yang akan membentuk perbuatan dalam upaya mempertahankan keunikan diri individu dalam aktivitas sosial dengan orang lain. Simpelnya kita pasti ingin dikenal sebagai kita ditengah relationship. Karena ini berkaitan dengan kemerdekaan individu. Seperti halnya hak untuk hidup, setiap orang juga menganggap kebebasan individu sebagai bentuk anugerah dari Tuhan. Tapi tentu saja kemerdekaaan atau kebebasan individu ini terikat dengan aturan-aturan lain sebagai manusia dan juga hamba. Bukan bebas sebebas bebasnya.

Batasnya apa? Ya kan kita hidup di dunia nggak sendirian men, jadi batasannya tentu saja adalah kebebasan orang lain. Simpelnya, kebahagiaan kita dibatasi kebahagiaan orang lain. Dengan kata lain, kita bisa melakukan hal-hal yang kita anggap membahagiakan diri kita dengan catatan tidak merenggut kebahagiaan orang lain. Contoh ini pernah gue denger dari dzawin, "kalian boleh nyetel musik di gunung sambil nyanyi kenceng-kenceng. Tapi liat situasi, jangan sampe tenda-tenda yang lain kegannggu, kecuali kalo di daerah situ cuma ada tenda kalian doang"

Back to topic, keunikan yang kita bahas tadi, dimaknai juga sebagai harga diri (self-esteem). Gillin menyebutkan orang-orang dengan ego tinggi ini adalah orang yang berhasil menemukan "sesuatu" dari dalam dirinya. Bukan karena apa yang telah kita lakukan atau seberapa baiknya kita, tapi karena Tuhan yang telah menganugerahkan nilai yang sudah ada sejak lahir. Nah, jadi masalah ketika kita nggak bisa menyadari hal berharga menyangkut harga diri tersebut. Akibatnya, kita akan berusaha untuk terlihat "penting" dengan menghasilkan uang atau memperoleh kekuasaan atau nama baik. Bahkan dengan cara-cara yang cenderung tidak baik. Hanya demi sebuah pengakuan. Dari sini bakal muncul masalah-masalah lain yang biasa kita sebut dengan "egoistis"berkonotasi buruk.

Gillin menyebutnya dengan kondisi "lapar ego". Kondisi ini yang menyebabkan individu susah melepaskan diri sendiri demi orang lain. Hanya mereka yang sudah belajar menyukai diri sendiri yang bisa bermurah hati dan bersahabat dengan orang lain.  Mari analogikan ego dengan perut. Seseorang yang makan tiga kali sehari nggak terlalu memikirkan perutnya. Beda sama orang yang nggak makan dua hari. Responnya terhadap banyak hal jadi berubah. Menjadi sensitif. Istilahnya senggol bacok lah ya. Satu-satunya cara untuh menyembuhkannya adalah dengan memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup.  

Sama halnya dengan orang yang egoistis. Mereka bisa melupakan diri sendiri hanya ketika sudah melalui proses penerimaan diri dan persetujan diri yang sempurna. Dalam keadaan harga diri yang tinggi inilah individu akan lebih bersahabat dan cenderung mudah berinteraksi. Sikapnya hangat, riang, murah hati, toleran, dan bersedia mendengarkan masalah orang lain. Yang paling penting adalah, mereka sanggup menerima kenyataan bahwa mungkin saja mereka berbuat salah. Kemudian bersedia mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya. Orang dengan kondisi ego yang stabil ini juga tidak butuh lagi pengakuan dari orang lain. Jadi ketika ada kondisi yang mungkin berpotensi menurunkan harga dirinya, dia biasa saja, nggak merasa perlu untuk membesar-besarkan ego.

Jadi clear ya, kita harus memastikan kebutuhan dasar kita terpenuhi, biar nggak uring-uringan dan senggol bacok. Sekarang gimana caranya kita menghadapi orang yang sedang dalam masalah ini. Ini bener-bener jadi (pr) gue seumur hidup. Berkomuniksi dengan cara yang baik. Biar satirenya nyampe dan tepat sasaran, hehe.

Hal pertama yang kudu kita lakuin dalam hal ini adalah dengan cara membantunya untuk menyukai diri sendiri. Tapi biar kita paham dan juga nggak baperan kita harus inget dua hal. Pertama, seseorang dengan harga diri rendah, merasa perlu sekali untuk meningkatkan "nilai" dirinya bahkan dengan cara menjatuhkan harga diri kita. Istilahnya "meninggi dangan menginjak" lah ya. Norak kan? Iya. Tapi tahan, ketawain dalam hati, nggak usah judging! Sama aja, norak. Yang kedua, kita kudu paham kalau orang dengan tipe ini, sedang ketakutan. Maknya dia bakal berusaha merendahkan kita sebelum direndahkan. Si kecil mulai gercep ya bund.

Yang paling krusial adalah jangan menghadapi orang seperti ini dengan cara yang sarkas. Mereka itu rapuh, bagai kaca yang beredebu. Gunakan kata-kata yang halus nun lembut dan hindari kata sarkas, wahai gue. Karena, kalau kita menang, kita hanya akan membuat harga dirinya semakin rendah. Nahkan semakin insecure ya moms. Makin konservatif dan ribet. Yah, mental korban gitu.

Sebagai penutup gua pengen bilang kalau setiap kita mementingkan diri sendiri. Dan itu wajar. Tugas selanjutnya bagaimana cara kita memanfaatkan sifat dasar manusia ini untuk bisa menjalin hubungan yang sehat dan harmonis dengan orang lain. Doain gue bisa bikin lanjutan dari bacotan kali ini. Terima kasih, udah baca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun