Ada banyak hal yang terkadang masih sulit kuterima, terutama sebagai seorang perempuan ketika memosisikan diri dalam hubungan antarlawan jenis.
Bagaimana memulainya, ya? Aku sendiri bingung mengutarakannya. Yang jelas, aku selalu sebal setiap kali aku sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman lelakiku, lalu di mata orang luar aku terlihat seperti perempuan gampangan. Atau ketika aku pulang larut karena menyelesaikan tugas, apalagi jika diantar teman lelaki, bagi mereka aku tampak seperti wanita licik yang pandai memanfaatkan keadaan.
Padahal, yah, kalau dipikir-pikir aku justru kebih aman pulang malam bersama temanku itu. Apa mereka lupa bahwa mereka sendiri yang selalu mengingatkan aku untuk hati-hati kalau pulang malam, sebab katanya di luar sana banyak lelaki jahanam?
Giliran aku pulang dengan lelaki nonjahanam, baik, dan tidak pendendam--pulang dalam keadaan sehat walafiat pula--kalian malah mencacatiku dengan pandangan menyakitkan, seolah-olah sedang menanti seharusnya aku celaka saja tadi supaya bisa terbukti bahwa cacian kalian menjadi kenyataan: "Makanya jangan kelayapan malam-malam!"
Apa salahku pula dengan pakaianku? Aku sudah berkerudung dan menutup aurat yang selalu kalian ributkan setiap saat. Masih kurang juga lantas kalian suruh aku berkerudung panjang?
Hey, Jakarta itu sumuk!
Kalau memang aku lebih nyaman dan memilih untuk berkerudung tidak sampai menutup pusar, itu seharusnya bukan menjadi urusan kalian. Begitu pula kalau suatu saat mendadak aku memutuskan untuk melepas kerudung, itu bukan urusan kalian juga. Perihal aku dan tubuhku, apa yang kupakai, semuanya adalah otoritasku. Memangnya kalau aku memutuskan untuk memperlihatkan rambutku, menggerainya seperti bintang iklan sampo, apa lantas bapakmu, saudara lelakimu, suamimu, anak lelakimu, dan teman-teman lelakimu serta-merta mendekatiku dengan maksud ingin meniduriku?
Ingin rasanya setiap kali mereka mulai membuka mulut, aku sudah terlebih dahulu melempar beberapa potong cabai rawit ke dalamnya. Supaya kalian tahu betapa pedasnya, betapa pedihnya, dan betapa sakitnya kerongkongan kalian saat memaksa menelan kunyahan cabai itu tanpa ampun--seperti aku saat memaksakan diri menelan omongan kalian dan berusaha untuk tidak membalasnya barang satu kata pun.
Sungguhan, deh. Aku gemas. Tidak habis pikir rasanya. Memangnya sebelum mengata-ngataiku mereka tidak menyadari kalau aku juga sama berharganya dengan anak-anak perempuan mereka? Bagaimana jika putri-putri mereka yang berada di posisiku, apakah mulut mereka masih akan sibuk mencerca?
Lagipula ketika aku sedang bersama teman-teman lelakiku, atau kolega lelakiku, kami tidak melakukan hal-hal di luar batas norma. Kami malah sibuk bertukar pikiran, berdiskusi, menambah ilmu untuk bekal di kemudian hari. Kalau bekal akhirat--dengan sangat membatasi hubungan antara lawan jenis--yang kalian bangga-banggakan itu menurut kalian lebih esensial, itu terserah kalian. Aku tidak ikut-ikutan. Bukan urusanku juga. Tetapi satu hal yang kupinta: bisakah kalian tidak memaksakan tolak ukur yang kalian yakini kepada orang lain?
Kenapa, ya, penghuni +62 ini senang sekali berpikir selalu ada udang di balik batu dalam relasi lawan jenis?