Rabu, 8 Juli 2015
Aku melihatnya untuk yang terakhir kali sebelum wajahnya ditutup sehelai kain kafan. Mata terpejam dengan bulu mata yang panjang. Rona pipi yang pucat seperti perut ikan. Namun seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang ungu membiru. Begitulah kira-kira aku mengingat wajah teduhnya--wajah wanita paling tabah yang pernah kukenal selama 20 tahun hidupku saat itu.
Setelah mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, malamnya aku tidak bisa tidur. Tiada pula setetes air mata pun mengalir keluar dari mataku. Aku hanya bisa berpikir apa yang kira-kira sedang ia lakukan sekarang?Â
Benarkah--seperti kata guru agamaku--saat ini ia tengah ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir mengenai perbuatannya semasa hidup? Apakah ia gemetar, menangis, atau justru mampu menghadapi seluruh pertanyaan tersebut dengan tenang seperti saat ia mengetahui aku pernah diam-diam ikut pesta Natal dan menyanyikan lagu gereja bersama teman-temanku? Atau justru tidak ada yang datang bertanya dan membiarkannya tertidur di balik jejeran dipan kecil, beralaskan tanah yang dingin dan lembap, menggigil dan kesepian?
Tidak ada yang benar-benar bisa tidur malam itu. Baik kakakku, adikku, aku yakin mereka hanya berpura-pura terlelap sambil berdoa semoga ia datang malam ini ke alam mimpi, menyambut mereka dengan hangat seperti yang biasa ia lakukan semasa hidup.Â
Bapak pun tidak kunjung kembali ke kamar meski waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Ia masih saja duduk di teras depan, ditemani segelas kopi yang sudah mendingin dan sebingkai foto almarhumah tersenyum lembut berbalut kerudung merah.Â
Sempat aku berjingkat-jingkat keluar dari tempat tidur dan mengintip. Aku tidak bisa melihat wajah bapakku dengan jelas dari balik pintu. Tetapi dapat kulihat kepulan asap yang memenuhi udara di sekitarnya--tiada habis-habisnya.Â
Aku lantas bertanya-tanya, apa tidak sakit menghisap sebanyak itu tanpa henti? Tapi kusadari segera bahwa mungkin sebungkus rokok memang menjadi teman yang lebih baik untuk saat ini ketimbang putrinya sendiri. Jadi aku segera kembali ke kamar dan memutuskan untuk tidur.
Sabtu, 13 Agustus 2016
Sudah setahun lebih semenjak kepergianmu. Hari ini hari ulang tahunmu. Bapak mengingatkanku pagi ini untuk berziarah karena hari ini seharusnya engkau menginjak angka 52 dalam hidupmu.Â
Tetapi hidupmu kini sudah bukan bagian dari hidupku, hidup Bapak, dan hidup semua orang yang masih berada di bumi. Hidupmu kini bukan lagi tentang membangunkan kami untuk menunaikan salat Subuh, menyiapkan sarapan, dan membersihkan rumah sebelum akhirnya berangkat menjalankan kewajibanmu sebagai petugas katering.Â