Selain itu pihak calon mempelai pria juga membawa kue-kue tradisional, kain tiga lembar yang setiap kainnya diletakkan di atas bosara (baki kecil) berkaki yang terbuat dari kuningan, kemudian akan ditutup dengan kain berwarna merah/kuning/hitam/biru tua yang terbuat dari beludru yang dihias dengan payet. Dan untuk wanita keturunan Bugis maharnya dapat berupa uang, benda, atau cincin emas sebagai pengikat untuk syarat sah pernikahan.
Upacara ini dilakukan secara formal, yang di dalamnya terdapat acara syukuran, pengajian bersama, dan pembacaan doa. Setelah itu biasanya pihak calon mempelai pria akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan sekaligus serah terima sesaji dan doi menre (uang belanja) yang telah dibawakan oleh pihak calon mempelai pria kepada pihak calon mempelai wanita.
Penyerahan doi menre (uang belanja) akan dihitung langsung oleh wakil dari pihak mempelai wanita dan juga akan disaksikan oleh mereka yang hadir untuk memastikan apakah sesuai dengan kesepakatan awal atau tidak. Tahapan pemberian uang panaik yaitu pada saat Appanai Leko' Caddi atau hari dimana calon mempelai pria mengantarkan uang belanja, uang panaik dan lain sebagainya.
Mahar atau sompa adalah pemberian uang atau harta dari pihak calon mempelai pria kepada pihak calon mempelai wanita sebagai syarat sah pernikahan menurut ajaran islam. Ketika mahar sudah diterima oleh pihak calon mempelai wanita maka mahar sepenuhnya hak wanita.
Sedangkan uang panaik akan dipegang oleh orang tua calon mempelai wanita untuk biaya pesta dan semua kebutuhan pada saat resepsi itu berlangsung. Dalam tradisi adat perkawinan Suku Bugis dan Makassar uang panaik adalah suatu yang tidak dapat dipisahkan karena kedua hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.
Jumlah nominal uang panaik ini terkadang lebih besar dibandingkan dengan jumlah nominal mahar yang umumnya berkisar Rp.5000.000 ada pula sampai dengan kisaran Rp.100.000.000. Di era masyarakat Makassar dan Suku Bugis sekarang ini mahar itu bukan hanya berupa uang, namun bisa berupa tanah, barang, emas, dan lain sebagainya
Jika dilihat dari kedudukannya, sampai dengan saat ini uang panaik banyak mengandung makna di kalangan masyarakat Bugis-Makassar khususnya, bisa kita lihat dari segi fungsinya, turun temurun adat istiadat agar proses perkawinan atau dalam istilah Bugis disebut "Mappasideppe' mabelae" itu berjalan dengan lancar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H