Salah satu kekurangan kota metropolitan adalah penyediaan hutan kota atau Ruang Terbuka Hikau (RTH). RTH diperuntukkan untuk tempat penyerapan air hujan sehingga dapat mencegah banjir yang lebih luas, disamping pula sebagai paru-paru kota. Dapat dibayangkan apabila RTH atau paru-paru kota tidak ada dan di satu sisi lapisan ozone di atmosfer bumi semakin menipis.
Persoalannya adalah pada lahan yang tersedia. Mengapa lahan-lahan terbuka di perkotaan lebih diprioritaskan bagi aspek bisnis seperti: mall, hotel, gedung perkantoran, atau mini-market bahkan SPBU/POM-Bensin. Sudah pasti aspek bisnis menghasilkan profit (ada payback-value) saat lahan tersebut digunakan. Namun jika untuk RTH, mungkin cara berpikir pamong pemerintahan bukan payback-value yang berorientasi pada bisnis-profit. Padahal payback profit tersebut ditransformasikan pada bentuk lain, seperti: peningkatan kualitas hidup, terhindar bencana banjir, dan yang lebih longterm benefit lagi adalah terjaganya kualitas lingkungan hidup yang sehat.
Oleh sebab itu, semestinya pamong pemerintah harus berbenah lagi dalam pengetahuan tata-kota agar daerah baru yang dibuka memberi keuntungan dalam berbagai aspek seperti: investasi jangka panjang, bisnis, dan kesehatan lingkungan sekitar. Contoh yang lebih mengena lagi adalah pemeliharaan jalan raya. Apa gunanya jumlah RTH telah optimal namun jalan-jalan menuju RTH sekitar masih saja rusak dan perbaikannya bersifat 'tambal-sulam'. Kota yang sehat adalah kota yang memperhatikan aspek 5T yakni: tertata, terawat, tertib, tentram, dan terkontrol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H