Mohon tunggu...
Liana Wati
Liana Wati Mohon Tunggu... -

Guru RA AL-HIDAYAH

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mentari Menyibak Kabut

2 Januari 2015   02:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semburat jingga begitu indah menghiasi langit di sore hari, aku begitu menikmatinya jika bukan karena waktu maghrib yang akan datang menjelang aku enggan untuk beranjak dari tempat ini, tempat ini memberikan inspirasi yang begitu mendalam karena selalu mengingatkan aku akan sang maha pencipta, sehingga yang membuat aku untuk senantiasa bersyukur kepadaNYA.

“Kak..sudah menjelang maghrib ayo kita pulang”. Aku tersentak kaget karena indah menepuk pundakku.”kakak melamun ya ?” aku menggeleng sambil tersenyum,”ko senyum-senyum gitu sih, sedang melamunkan pacarnya ya..”. “pacar ka Irwan kan kamu, ngapain kakak melamun”. “idiih enak saja ngaku-ngaku!”. Indah mencubiti lenganku dengan wajah yang memerah, kalau sudah demikian aku tambah semangat untuk menggodanya, sementara Anggi adiknya Indah tertawa terbahak-bahak menyaksikan tingkah kami. Itulah sekelumit kenanganku di makasar yang selalu muncul dalam memori,  aku anak tunggal yang dititipkan pada tante lina adik mamaku, alasan mereka menitipkan aku karena papa sakit-sakitan, terkadang aku sering menangis karena kesepian, akan tetapi setelah aku bergaul dengan keluarga Indah tetangga di seberang rumah tante lina aku tidak lagi kesepian, aku merasa bahagia bersama mereka. Aku beruntung bisa berkumpul bersama mereka karena mereka adalah keluarga yang harmonis, Ayah dan ibunya Indah sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri dan aku jadi seperti anak pertama mereka, membantu mengerjakan pr bagi Indah dan Anggi serta mengajak  mereka bermain serta melihat pemandangan indah di pantai Losari, aku menyayangi mereka berdua seperti adikku sendiri, karena aku sendiri tidak punya adik, tapi lama kelamaan perasaanku terhadap Indah mulai berubah, dia begitu cantik dan anggun, mungkin karena aku sudah dewasa dan Indah sudah beranjak menjadi seorang gadis yang rupawan, kadang dia tersipu malu jika aku memandangnya.  Empat tahun sudah aku meninggalkan makasar karena papaku meninggal di Jakarta dan aku harus meneruskan kuliah disini, empat tahun pula aku tak pernah mendengar kabar tentang indah dan keluarganya aku benar-benar kehilangan kontak dengannya, terakhir tanteku memberikan kabar kalau keluarga Indah tidak lagi tinggal di makasar, rumahnya sudah di jual dan tante lina tidak tahu mereka tinggal dimana.

Entah kenapa bayang-bayang wajah Indah sulit hilang,  aku begitu menyukai Indah, mungkin karena kebersamaan kami ketika kecil membuat aku begitu dekat dengannya, aku begitu menyayanginya, usiaku terpaut empat tahun dengannya, terakhir aku berangkat ke jakarta aku tidak sempat pamit pada Indah karena dia sedang berada di sekolah, aku hanya  sempat pamit pada orangtuanya, mungkin dia sekarang sudah lulus SMA sedangkan aku sudah sarjana dan sudah bekerja pula menggantikan papaku. Ada rasa penasaran untuk mencari kemana Indah dan keluarganya pergi.

“Apa?, kamu mau ke makasar, untuk apa Irwan..disini mama tidak ada yang menemani, lalu bagaimana dengan tanggungjawab kamu di kantor, terlalu banyak yang harus kamu pertimbangkan  kalau kamu pergi kesana”.Aku terdiam mendengar mama bicara, biasanya reaksi mama tidak seperti ini jika aku mau pergi ke daerah. “Tenang mah..aku mau ambil cutiku karena sudah lama aku tidak pulang ke makasar, urusan di kantor tidak akan ada yang di rugikan karena sudah di handle asisten yang tetap berhubungan denganku lewat telpon”. Aku mencoba untuk tenang dalam berbicara, agar mama mau mengizinkan aku untuk pergi ke makasar.”Dan lagi disana ada tante lina adik mama yang sudah mengasuh aku dari kecil, wajarkan kalau aku menjenguknya”. Mama menatapku “Atau mungkin sebenarnya kamu mau mencari Indah dan keluarganya, kamu rindu sama mereka?”. Aku tertegun dengan pertanyaan mama, mungkin sudah saatnya pula untuk berterus terang sama mama tentang perasaanku pada Indah. “Terus terang ya.. mama, aku rindu sama mereka, karena mereka sudah memberikan kebahagiaan padaku selama aku berada di makasar, tapi bukan berarti selama bersama mama dan tante aku tidak bahagia, aku bersyukur karena lewat mama, papa dan tante lina aku bisa seperti ini, dan tidak ada salahnya pulakan kalau aku ingin berbagi kebahagiaan dengan Indah dan keluarganya”. Tiba-tiba mama menubrukkan tubuhnya seraya memeluk aku erat-erat,  aku jadi terharu dan sama-sama menangis. “Maafkan mama ya sayang karena sudah menyia-nyiakan masa kecilmu, tapi saat itu kondisinya memang tidak mengizinkan, papamu sakit-sakitan mama khawatir kamu tidak terurus jadi mama menyerahkan kamu pada tante lina, dia sendirian tidak ada anak dan suami, jadi mama fikir kamu akan terurus disana tapi mama tidak memikirkan perasaanmu waktu itu, sekali lagi maafin mama ya sayang, mama izinkan kamu untuk pergi ke makasar, jemputlah orang-orang yang sudah membahagiakan kamu, bawa mereka kesini untuk tinggal bersama kita ya sayang”. Aku mengangguk seraya melepaskan pelukan, lega rasanya mama sudah memahami perasaanku.

Kuinjakkan kembali kakiku di bumi makasar setelah hampir lima tahun aku meninggalkannya, rumah tante lina tidak ada yang berubah, yang berubah hanya rumah yang dahulunya di tempati oleh Indah dan keluarganya kalau dahulu sangat sederhana  dan sekarang kelihatan begitu mewah. Rasanya tak sabar hati ini menantikan hari sabtu dan minggu untuk datang ke pantai Losari untuk menyaksikan pemandangan yang tak pernah bosan dan aku tidak pernah melewatkannya bersama indah, ya aku jadi berfikir dan berharap kalau Indah akan berada disana pula dan aku tidak perlu mencari dimana dia berada kini, ah..aku jadi tak sabar ingin bertemu dengannya aku sudah kangen.

Selepas ashar aku bersama tante lina datang menuju pantai losari, mataku kesana kemari memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, kutinggalkan tante lina yang sedang asyik membaca buku untuk mencari indah disini, ku kenakan kacamata hitam agar orang tidak tahu aku sedang mencari seseorang , jantungku berdegup tak karuan, aku menangkap gerakan tubuh seseorang yang aku kenal, Anggi adiknya Indah sudah besar dia sekarang, ku hampiri dia “Apa kabar Anggi..lama kita tak jumpa?”. Anggi kaget sambil memperhatikan wajahku, aku lupa melepaskan kacamata hitamku. “Kak Irwan ! “. Anggi berseru kaget sambil memelukku, rasanya tak sabar untuk menanyakan kabar Indah “Bagaimana kabar kakakmu?”. Aku mencoba untuk tenang “Kak Indah tidak berada disini kak, dia berada di kota lain sedang kuliah kak!”.Aku mencoba memperhatikan wajah Anggi dengan seksama untuk memastikan keberadaan Indah. Ketika pulang aku sempat tertegun memperhatikan Anggi dari kejauhan yang sedang menuntun seorang wanita berkerudung, siapa dia? dan mengapa Anggi tidak memperkenalkannya kepadaku?. Pertanyaanku aku tanyakan kembali pada tante lina.”Tante tidak tahu Indah kuliah di kota mana, dan wanita yang bersama Anggi tante juga tidak tahu karena tante sudah lama tidak berkomunikasi dengan mereka”. Aku sedikit heran dengan penjelasan tante lina yang serba tidak tahu, biasanya tanteku ini orang yang serba tahu apalagi Indah dan keluarganya adalah tetangga dekat kami dan kenal sudah lama, aku jadi penasaran di buatnya, besok aku akan tanyakan kembali pada Anggi karena aku sudah berjanji untuk bertemu kembali esok hari.

Aku datang lebih awal karena ingin menikmati pemandangan lebih lama, tapi samar-samar dari kejauhan sepertinya aku melihat wanita yang kemarin di gandeng oleh Anggi karena warna kerudungnya sama dengan yang kemarin dia pakai, untuk memastikan siapa dia aku harus menghampirinya siapa tahu dia tahu keberadaan Indah. “Maaf ya mau tanya, saudaranya Anggikah?”. Perlahan dia menoleh kepadaku, tapi secara tiba-tiba dia berlari meninggalkanku, aku bingung aku kejar dia aku tangkap tangannya, dia berhenti seraya menggelengkan kepalanya sambil menunduk, jantungku berdegup dengan kencang aku merasa ada yang tidak beres, wajah ini aku mengenalnya.”Indahsari?”. Ah...ternyata benar tapi mengapa tubuhnya begitu kurus dan tiba-tiba tubuhnya limbung karena mau jatuh, dengan sigap aku memegang tubuhnya agar tidak jatuh.”Kau kenapa Indah..sakitkah? Aku bicara perlahan dan tiba-tiba dari hidungnya keluar darah segar aku panik, mata Indah terpejam, dari jauh aku mendengar suara Anggi memanggil Indah dengan cemas.

Aku memperhatikan dirinya dengan seksama, tubuhnya begitu kurus dipenuhi oleh peralatan rumah sakit yang begitu banyak, wajahnya tirus, kulitnya putih pucat begitu pula wajahnya, rambutnya sudah hampir botak, hampir lima tahun aku tidak melihatmu begitu menderitakah dirimu, karena penyakit kanker yang ada pada dirimu, pantas selama ini aku sulit menghubungimu. Anggi bercerita panjang lebar padaku kalau Indah melarang siapapun termasuk tante lina untuk menghubungiku, begitu panjang penderitaanmu Indah sampai aku tidak mengetahuinya sama sekali, rasa haru melingkupi diriku, tak terasa airmataku menetes membasahi tangan Indah yang sedang aku pegang.”Kak Irwan menangis..jangan kau tangisi aku kak, aku tidak kenapa-napa ko!, aku minta maaf ya ka tidak pernah menghubungimu karena aku tidak ingin membebani dirimu dan perasaanmu kak”. Aku terharu mendengar ucapannya dan entah mengapa airmata ini tiada hentinya mengalir.

Tante lina akhirnya mau bercerita kepadaku mengapa Indah dan keluarganya harus pindah, rumah mereka harus dijual guna membiayai pengobatan sakitnya Indah, mereka kini mengontrak rumah dan sampai sekarangpun penyakit Indah belum diberikan pengobatan yang maksimal karena terbentur biaya. Aku telpon mama di Jakarta ku ceritakan seluruhnya, mama terisak-isak di telpon aku harus ambil keputusan untuk menolong Indah, mudah-mudahan aku belum terlambat untuk menolongnya, aku tidak yakin dengan prediksi dokter kalau umur Indah tinggal 6 bulan lagi, aku hanya yakin kalau umur manusia di tangan Tuhan, aku harus berusaha menolongnya, aku teringat seorang teman, dia seorang dokter dan tinggal di singapura, aku mencoba untuk menghubungi dia.

Alhamdulillah temanku mau menolong, dan dia menginginkan agar aku sendiri yang membawa Indah kesana, aku bingung jika hanya aku berdua yang kesana, akhirnya aku berkonsultasi dengan dokter yang menangani Indah, dia setuju jika Indah harus menjalani pengobatan di singapura, hanya sarannya cukup mengejutkan aku, ketika kuutarakan kebingunganku kalau kami harus berangkat berdua saja mengingat status kami bukan saudara, sarannya adalah aku harus menikahi Indah!, saran yang cukup berat, mengingat aku belum memikirkan tentang pernikahan, tapi apa boleh buat setelah aku fikirkan secara matang demi kebaikan dan kesembuhan Indah apapun akan aku lakukan jika memang aku mampu,  aku memohon keikhlasan mama agar aku bisa menikahi Indah, awalnya mama cukup terkejut, tapi akhirnya mama menyerahkan sepenuhnya keputusan kepadaku apapun keputusan yang aku ambil dia akan tetap mendukung, begitupun dengan keluarga Indah, mereka sudah pasrah menyerahkan kepadaku. Aku akan menikahi Indah dan membawanya berobat ke singapura. “Indah..kakak mencintaimu dengan sepenuh hati, kamu ingatkan dengan kebersamaan kita, dan mulai sekarang kita akan selalu bersama-sama ya sayang agar kamu bisa sembuh seperti dulu, kita akan selalu menikmati pemandangan indah di pantai losari bersama-sama”. Aku membisikkan kata-kata di telinga Indah untuk memberikan semangat hidup kepadanya.

Dengan dukungan mama, tante lina dan keluarga Indah akhirnya aku menikahi Indah, selama beberapa hari aku tinggal di rumah  tante lina setelah itu aku membawa Indah beserta Anggi ke singapura  untuk berobat disana. Alhamdulillah banyak sekali kemudahan yang aku dapatkan selama berada disana, sedikit demi sedikit kesehatan Indah mengalami kemajuan, temanku bercerita kalau penyakit kanker  Indah baru mencapai stadium 2 dan masih bisa di sembuhkan, tubuhnya sudah tidak terlalu kurus lagi, dia sudah bisa makan dan minum, sudah bisa tertawa, rambutnyapun sedikit demi sedikit sudah mulai tumbuh,  kadang ada hal lucu yang kami alami, aku merasa karena Indah sudah menjadi Istriku kadang aku dengan seenaknya membuka baju dan celana di depannya dan dia menjerit-jerit seraya menghalau aku untuk segera keluar, mungkin dia malu dan aku senang untuk menggodanya terus, dan sampai saat inipun aku belum pernah menyentuh Indah karena aku tidak tega meskipun aku sangat menginginkannya, aku fikir nanti saja jika sudah sembuh total dari sakitnya.

Akhirnya hari yang dinantipun tiba, dokter sudah memperbolehkan kami pulang karena Indah dinyatakan sudah sembuh dari sakitnya, aku bersyukur kepada Tuhan atas keajaiban yang telah diberikanNYA, kami pulang dengan perasaan bahagia, di pesawat Indah tak pernah lepas dari genggaman tanganku layaknya orang pacaran, wajahnya tak pernah lepas memandangi wajahku dan akhirnya setiap akhir pekan kami tak pernah absen menyaksikan pemandangan yang tak akan pernah bosan di pantai Losari, pemandangan yang menakjubkan yang senantiasa mengingatkan aku akan arti kebersamaan, kasih sayang dan cinta kasih. Terima kasih Tuhan atas limpahan kasih sayang yang Engkau berikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun