Mohon tunggu...
Lian Gayo
Lian Gayo Mohon Tunggu... Administrasi - Desliana Maulipaksi

Mantan wartawan, Staf Humas Kemendikbud, Ibu Negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kita Boleh Makan Kue Natal, Nggak?"

26 Desember 2020   10:49 Diperbarui: 26 Desember 2020   10:58 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu sebuah pertanyaan dari anak laki-laki saya yang berusia enam tahun. "Ma, kita boleh makan kue Natal, nggak?", tanyanya beberapa hari lalu, menjelang Hari Natal. Saya dan suami sama-sama menjawab boleh. Sambil berkelakar kami menjawab, "Kecuali kalau kue Natalnya mengandung daging babi". 

Kadang pertanyaan dan celotehan anak-anak memang di luar dugaan. Bahkan kadang mereka melontarkan hal-hal yang tak terpikirkan oleh logika manusia dewasa. 

Tapi dari situ pula kita yang disebut berusia dewasa ini bisa belajar dari logika sederhana anak-anak. Belajar menyederhanakan suatu masalah. Kadang semakin dewasa semakin rumit pula pola pikir seseorang, padahal ternyata masalah yang dihadapi tak serumit itu. Justru pikiran kita yang membuat masalah jadi semakin rumit. 

Kembali ke celoteh anak saya tentang kue Natal. Saya sudah sering memiliki dialog keagamaan dengan anak-anak, baik tentang akidah maupun tentang toleransi. Berdasarkan KBBI, kata toleransi berarti "sifat atau sikap toleran". Toleran sendiri dalam KBBI adalah "a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian diri sendiri". Huruf "a" yang ditulis di awal definisi itu berarti kata toleran termasuk adjektiva, yaitu kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan secara umum dapat bergabung dengan kata 'lebih' dan 'sangat'. 

Jadi saya bisa ambil kesimpulan bahwa mengajarkan toleransi itu bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah perwujudan sikap dan sifat yang melekat pada diri kita. Sangat benar bahwa sikap dan sifat toleran harus kita tanamkan pada anak-anak kita sejak usia dini. Tapi apakah hanya dengan berupa kata-kata? 

Misalnya, "Kita harus berteman dengan semua orang, apa pun agama mereka", atau "Kalau teman kamu ada yang beda agama, kamu tetap harus mau berteman dengan dia", atau "Teman kamu Kristen? Ya nggak apa-apa. Kita Islam kan tetap bisa berteman dengan yang Kristen. Kita ke masjid, mereka ke gereja". Kata-kata hanyalah sekadar kata-kata sampai manusia sendiri yang memberikan makna.

Pasti kita sering mendengar frasa "action speak louder than words". Memang begitu, bukan?Bahasa tubuh lebih mudah memberikan kesan dan lebih mudah dimaknai daripada kata-kata. Dengan kata lain, memberikan contoh atau sikap teladan akan lebih mudah diingat oleh anak-anak dalam mengajarkan toleransi dibandingkan menceramahi mereka tentang apa itu toleransi. 

Ketika anak bertanya apakah ia boleh makan kue Natal, bisa jadi ia melihat ada kesempatan untuk makan kue Natal saat Hari Natal, meskipun keluarga tidak merayakan Natal karena beragama Islam. Bisa berarti juga ada kekhawatiran dalam diri anak jika ada batas-batas nilai agama Islam yang dilanggar jika ia makan kue Natal. Mungkin anak saya berpikir begitu. 

Namun ia melihat sendiri neneknya setiap tahun sibuk membuat kue menjelang Hari Natal untuk diberikan ke tetangganya yang merayakan Natal. Entah bikin brownis, atau kue kering seperti saat lebaran. Sebaliknya, saat anak-anak sedang berlebaran di rumah neneknya, tetangga itu pun datang memberikan bingkisan lebaran untuk dinikmati keluarga kami di Hari Idulfitri. Jadi anak-anak secara langsung akan melihat bagaimana contoh toleransi dalam kehidupan antarumat beragama. Saling memberikan hadiah, meskipun berbeda agama, tidak akan membuat akidah kita luntur.

Tapi jangan lupa, saat seseorang bersikap untuk tidak memberikan hadiah atau tidak mengucapkan selamat saat hari raya agama lain, itu juga merupakan salah satu bentuk toleransi, karena mereka bersikap untuk membolehkan dan membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar agamanya sesuai dengan kepercayaan mereka. 

Tidak ada intervensi negatif yang dilakukan. Hanya saja mereka berprinsip untuk tidak memberikan ucapan selamat maupun memberikan hadiah, dengan berbagai alasan yang mereka miliki. Mereka sudah toleran. Jadi jangan dianggap toleransi berarti harus mengucapkan selamat saat hari raya agama lain, atau memberikan hadiah atau makanan kepada mereka yang berbeda agama saat sedang merayakan hari raya agamanya.

Ingat, salah satu bentuk toleransi adalah pembiaran. Lihat kembali definisi toleran dalam KBBI. Toleran adalah a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian diri sendiri. 

Ada kata 'membiarkan' dan 'membolehkan'. Jadi tidak perlu kita sinis terhadap mereka yang mengucapkan maupun tidak mengucapkan selamat saat hari raya agama lain, selama tidak ada perbuatan negatif yang mengganggu kerukunan umat beragama. Bagi yang tidak mau mengucapkan, mereka pun sudah menerapkan toleransi. Mereka telah melakukan pembiaran. Itu bentuk toleransi minimal. 

Satu lagi, orang-orang cenderung melihat toleransi hanya digunakan untuk kehidupan antarumat beragama. Faktanya, kadang toleransi tidak diterapkan dalam kehidupan umat yang seagama. Misalnya, saat ada orang yang berprinsip untuk tidak mengucapkan selamat hari raya agama lain, sementara teman-teman lain yang seagama dengannya pada mengucapkan, ia bisa mendapat cap "intoleransi" justru dari teman-teman yang seagama dengannya, bukan dari teman yang beragama lain. 

Seringkali teman yang beragama lain lebih toleran dan memahami mengapa temannya tidak mengucapkan selamat. Tapi, hal itu justru diributkan oleh teman lain yang seagama. Kadang kita lupa, bisa toleran dengan teman beragama lain, tapi lupa untuk toleran dengan teman yang seagama.

Kadang kita lupa bahwa toleransi itu bukan hanya untuk kehidupan beragama, tapi juga untuk kehidupan seagama. Jangankan berbeda agama, dengan teman yang seagama pun kita suka berbeda pendapat, baik tentang prinsip maupun kepercayaan.  

Toleransi kerap identik dengan agama. Padahal, toleransi ini harus diterapkan di semua aspek kehidupan, bukan hanya dalam kehidupan beragama dan seagama. Memang ada hal-hal yang tidak bisa kita toleran karena alasan tertentu. Tapi tetap saja kita harus bisa mencerminkan pribadi yang toleran sebagai wujud toleransi dalam kehidupan berbangsa yang majemuk ini. Selamat bertoleransi dengan cara yang baik. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang toleran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun