Saat ini saya lagi jadi pemirsa setia program “Scam City” di National Geographic, yang berisi sisi kriminal negara tujuan wisata yang dikunjungi oleh Connor, host acara tersebut. Penipuan, pemerasan dan lain-lain yang menyangkut kedatangan turis di negara tersebut.
Sebagai seorang yang sudah mulai mengurangi jalan-jalan keluar negeri, saya dapat merasakan bagaimana “gondok”-nya para turis yang di tipu mentah-mentah oleh penduduk lokal negara tersebut, bahkan dicopet dompetnya.
Hal ini pernahmenjadi pengalaman teman waktu berkunjung ke Belanda, saat berada di airport dan bermaksud menelepon di telepon umum, dompetnya dikeluarkan untuk mencari koin dan diletakkan di atas box telepon. Saat berbicara, teman saya lupa memasukkan dompetnya yang masih tergeletak di atas box telepon tersebut dan tiba-tiba secepat kilat datang seorang laki-laki mengambil dompetnya tersebut.
Teman saya hanya dapat berteriak saja, menumpahkan kekesalan karena didalam dompetnya ada passport dan dokumen perjalanan lainnya. Apes.
Lain lagi pengalaman perjalanan ke Bangkok, saat tiba di airport pun sudah mendapat penipuan supir taxi. Hotel dekat tapi diputar-putar sampai mengarah ke pusat kemacetan pagi hari. Padahal pada perjalanan sebelum-sebelumnya cukup ditempuh paling lama satu jam saja, sedangkan saat itu nyaris 3 jam tiba di hotel, karena alasan hujan dan daerah yang dilewati banjir. Sedangkan saat tiba di hotel, rombongan yang lain menyampaikan bahwa jalanan aman dan lancar tanpa banjir. Huuuuft.
Saat ke China lebih lucu lagi, karena susahnya mendapatkan orang yang bisa berbahasa Inggris, maka semua kita bicara pakai bahasa tarzan dan kalkulator. Parahnya, ketika makan di food center di Beijing, teman saya membeli makanan yang terlihat sangat lezat dan harus membayar sekitar 200 RMB, padahal rekomendasi dari teman-teman di Beijing bahwa food center tersebut adalah yang termurah. Beruntungnya saya mendapatkan stall makananan yang menyajikan makanan halal dan super duper murah dan enak. Hanya sekitar 25-50 RMB, makanan dan minuman yang enak tersedia.
Hal ini mungkin juga terjadi pada turis-turis berkategori “back packer” datang ke Jakarta. Mulai dari taxi airport yang pakai argo kuda, money changer yang nggak mau menerima dollar jelek, dan lain-lain.
Bahkan teman-teman dari luar negeri kalau berkunjung ke Jakarta selalu heran dengan system money changer, yang menurunkan nilai tukar kalau dollar-nya jelek (bahkan kadang hanya terlipat sedikit, padahal uangnya baru). Mereka selalu mengeluh: “this is just the money, why we should to exchange in a good condition” Alasan yang nggak pernah bisa diterima nalar mereka.
Belum lagi kalau belanja di areal-areal yang katanya menjadi surga belanja murah warga Jakarta, ternyata harganya beda. “Ini harga turis mbak, jadi beda” begitu biasanya alibi mereka kalau ditanya harganya mendadak naik 3-4 kali lipat dari warga lokal yang belanja.
Oalaaah… koq bisa begitu ya? Padahal kalau harganya sama aja, toh si turis juga akan promosi ke teman-temannya untuk berkunjung ke tokonya.
Nah, kalau Scam City mampir ke Jakarta dan menemukan contoh kecil seperti di atas, bawa nama negara nih kalau pelayanannya seperti itu. Belum lagi dunia kelam lainnya, seperti copet, angkutan umum dan lain-lain yang rawan kejahatan.
Hmmm….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H