Saat diajak untuk melihat Jemparingan, keningku sedikit berkerut. Belum pernah terdengar kata ini di telingaku. Setelah sedikit surfing the internet, akhirnya aku bersemangat untuk melihat dan juga mencoba bermain Jemparingan. Kalau bukan karena kegiatan modul nusantara, mungkin sampai hari ini aku tidak akan pernah tahu kalau ada olahraga ini. Jemparingan, olahraga pahanan tradisional asli Yogyakarta, yang dulunya dilakukan di lingkungan keraton oleh kaum bangsawan. Namun seiring berjalannya waktu, olahraga ini mulai dimainkan oleh rakyat biasa.
Olahraga Jemparingan penuh filosofis dan mementingkan rasa, dimana saat menarik busurpemain tidak boleh memiliki ambisi dan dilakukan dengan hati dan pikiran yang tenang. Pemanah jemparingan tidak membidik dengan mata, akan tetapi memposisikan busur di hadapan perut sehingga bidikan didasarkan pada perasaan pemanah. Selain itu, perbedaan jemparingan dengan olahraga panahan lainnya ialah posisi pemanah yang duduk. Busur jemparingan juga di custom sesuai dengan tinggi pengguna dan bahkan wetonnya. Maka dari itu, tidak disarankan jemparingan berpindah-pindah tangan karena busur dapat merekam style memanah pemiliknya.
Dalam jemparingan, ada beberapa pantangan yaitu, tidak boleh mengarahkan busur dan anak panah ke mahkluk hidup, tidak boleh melepaskan tali busur tanpa anak panah, dan melangkahi senjata.
Kali ini kami bekesempatan untuk mencoba memanah menggunakan jemparingan dengan arahan dari Bapak Ir. Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D., IPM., ASEAN Eng. selaku perwakilan dari PRINGAMA yaitu Komunitas Jemparingan di Universitas Gadjah Mada. Kami mencoba bermain Jemparingan di Lapangan Pancasil UGM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H