JEBAKAN KATAK DALAM KELOLA TAMBANG BAGI ORMAS
oleh Widhyanto Muttaqien (Wakil Koordinator Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam LHKP PPM)
Â
Permasalahan Ijin Usaha Pertambangan yang diberikan kepada Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan menjadi polemik baru di kalangan  pegiat agama dan lingkungan hidup. Setelah kritik keras atas kerusakan lingkungan hidup dan peran agama dalam mengatasi permasalahan tersebut mengemuka dalam  wacana Pilpres 2024 kemarin, dimana salah satu calon mengutip Laudato Si Seri-Dokumen-Gerejawi-No-98-LAUDATO-SI-1.pdf (dokpenkwi.org) tentang pertobatan ekologis, yang sesungguhnya ini dokumen gereja ini juga mengkritik dengan keras ketidakadilan sosial sebagai berikut, "adanya proposal internasionalisasi Amazon, yang hanya melayani kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan transnasional", selanjutnya dokumen ini menyatakan" penyelamatan lingkungan yang sesungguhnya menjadi otoritas negara untuk memastikan bahwa setiap pemerintah melaksanakan tanggung jawabnya sendiri yang tidak dapat dicabut, untuk melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam negaranya, tanpa tunduk kepada kepentingan lokal atau internasional yang tidak sah".
Selain ketidakadilan sosial dokumen ini juga sejalan dengan sian terkini yang sudah melihat dampak investasi skala masif terhadap keadilan antar spesies. Kita dapat membaca kutipannya sebagai berikut, " Diperlukan investasi lebih besar dalam penelitian untuk memahami perilaku ekosistem secara lebih baik dan menganalisis secara tepat berbagai variabel dari dampak setiap modifikasi penting terhadap lingkungan hidup.Â
Karena semua makhluk saling terhubung satu sama lain, masing masing harus dihargai dengan kasih sayang dan kekaguman, sebab sebagai makhluk hidup kita semua saling membutuhkan". Agama dalam hal ini seharusnya menjadi inspirasi pertama ketika bicara tentang dua krisis di atas: krisis ekologi dan krisis kemanusiaan.
Namun sah atau tidak sahnya kebijakan yang pernah dibuat oleh aparatur negara bukan sesuatu yang mudah untuk ditentang, bahkan dipidanakan. dalam ranah hukum, kebijakan publik mestilah memenuhi tiga syarat. Syarat pertama, negara tidak dirugikan. Syarat kedua, seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum, Dan syarat ketiga, dibuat untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum.Â
Dalam Pasal 83A (1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. (2) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), pasal ini jelas mengatur dan melindungi kepentingan umum, dimana aspek kesejahteraan masyarakat dikedepankan dan aspek perlindungan kerugian negara atas pencabutan ijin tambang menjadi prioritas.
Membaca Tambang, Menggali Pedalaman
Pedalaman pertama adalah apa yang menjadi permasalahan dalam membaca Perpres Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024  Tentang  Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021  Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan  Mineral Dan Batubara ini. Pertama adalah permasalahan yang melingkupi ijin tambang yang dicabut. Total IUP yang dicabut terdiri dari 112 IUP mineral dan 68 IUP batu bara.Â
Pencabutan ini ditengarai akibat seratusan perusahaan tersebut tidak memanfaatkan izin yang diberikan sebagaimana mestinya. (https://ekonomi.bisnis.com/read/20220216/44/1501126/daftar-lengkap-180-iup-mineral-dan-batu-bara-yang-dicabut-pemerintah). Pencabutan IUP batu bara paling banyak dilakukan di provinsi Kalimantan Timur sebanyak 34 IUP (50 persen) yang dimiliki oleh 34 pelaku usaha.
Dikutip dari Menteri LHK soal Ormas Agama Bisa Kelola Tambang: Daripada Bikin Proposal Setiap Hari - Nasional Tempo.co Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meyakini ormas keagamaan dengan sayap bisnisnya bisa profesional jika diberi amanat untuk mengelola tambang.Â
"Daripada ormasnya setiap hari nyariin proposal, mengajukan proposal, kan lebih baik ormas mengelola dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional". Padahal sebab utama pencabutan ijin adalah tidak memenuhi kewajiban penyampaian  Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB), ada 2.078 perusahaan tambang kehilangan izin usaha pertambangan karena tidak melaksanakan kewajiban tersebut.Â
Sebab kedua adalah, pencabutan IUP dilakukan karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak mematuhi aturan yang berlaku dan tidak memanfaatkan izin dengan benar, salah satu peraturan yang paling krusial adalah reklamasi pasca tambang. Â Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di Kalimantan Selatan Ribuan Lubang Tambang Tak Direklamasi? Begini Data ESDM (cnbcindonesia.com), Ketika Lubang Bekas Galian Tambang Terus Memakan Korban Jiwa (tirto.id).Â
Tambang yang dipersoalkan disini termasuk tambang mineral, seperti yang terjadi dalam berkas tambang timah atau masyarakat menyebutnya kolong, Lubang Bekas Tambang Timah Dijadikan Lokasi Wisata, Benarkah? - Mongabay.co.id, siasat perusahaan dalam mangkir melakukan reklamasi dapat dilihat dari kasus-kasus pertambangan timah di Bangka-Belitung, yang dari udara terlihat lubang tambang, seperti halnya jika kita ingin mendarat di Samarinda. Kembali ke pernyataan Menteri KLHK, nada peyoratif terhadap Ormas Keagamaan justru menimbulkan tanda tanya, ada motif sesungguhnya, mengapa Negara begitu kasar memandang rakyatnya.
Pedalaman kedua adalah kutukan sumberdaya yang dialami masyarakat sekitar tambang. Pada tahun 2018 Publish For You Pay (PFYP) merilis laporan tentang kondisi masyarakt sekitar tambang di Kalimantan Timur, dimana batubara memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan sektor lainnya, sehingga pertambangan menjadi sektor sumber penyediaan bahan baku energi serta pendapatan yang menopang perekonomian bagi provinsi ini.Â
Daerah penghasil batu bara utama Indonesia --- Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan --- secara konsisten telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen dan pengekspor batu bara terbesar di dunia. Di tahun 2017-2019, Indonesia, sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia, menyediakan 28,5% ekspor berdasarkan basis tonase. Kabupaten Berau, di Kalimantan Timur, mengandalkan penambangan batu bara sebagai sumber utama pembangunan ekonomi.Â
Di Kalimantan, kemiskinan non-moneter jelas merupakan masalah yang lebih serius dari pada kemiskinan pendapatan. Ketika seseorang mengakui semua dimensi kesejahteraan manusia -- konsumsi yang memadai, kerentanan berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap infrastruktur dasar maka hampir separuh dari seluruh Indonesia akan dianggap telah mengalami setidaknya satu jenis kemiskinan. Melihat indikator non-moneter, rumah tangga miskin di wilayah ini mengalami tingkat yang lebih tinggi dari kemiskinan dibandingkan rata-rata rumah tangga miskin di seluruh negeri (Muttaqien, 2020).
Kemiskinan dan rentan miskin juga merupakan bagian dari ekonomi yang bertumpu pada pertambangan riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Â https://beritagar.id/artikel/berita/anomali-kemiskinan-di-wilayah-tambang-batu-bara menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.Â
Untuk Provinsi Kaltim Angka kemiskinan tertinggi tercatat di Kutai Timur, Kaltim. Padahal sepertiga wilayahnya adalah area tambang batu bara. Sementara di Kalsel, angka kemiskinan tertinggi ada di Tabalong, yang 15 persen wilayahnya adalah tambang batu bara.
Dampak tambang, bahkan ijin IUP itu sendiri bermasalah, karena dapat merelokasi satu desa atau kampung Tambang dan Nasib Warga Sekitar --- PWYP Indonesia. Pola penghidupan lestari tidak bisa dilakukan oleh industri pertambangan. Mengapa, sebab utamanya apa yang disebut kutukan sumberdaya, yaitu situasi dimana keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan sumber daya lebih rendah daripada total biaya input.Â
Oleh karena itu, ia berasumsi bahwa sumber daya alam berdampak negatif pada pembangunan ekonomi dan tata kelola di negara-negara dengan kelembagaan yang lemah. Apakah demikian di Indonesia, pencabutan ijin tambang dan kasus yang terjadi di atas terkait mangkir dalam jual beli ijin, Â reklamasi pasca tambang, risiko hilangnya nyawa dalam lubang bekas tambang, dan relokasi penduduk yang terpaksa (force relocation) menjadi bagian buruk dalam tata kelola pertambangan.
Kasekende et al. (2016) dalam Adams, Ullah and Ullah (2019) menyebutkan bahwa industri ekstraktif terkait energi dalam indeks pengendalian korupsi (World Govenernace Indicator) menemukan bahwa keanggotaan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) tidak mengurangi skor korupsi di negara-negara anggota.Â
Hal ini menimbulkan tantangan bagi negara-negara yang bergantung pada sumber daya alam untuk mengatasi korupsi yang dalam perspektif konvensional menjadi bagian dari kutukan sumberdaya alam. Oge (2016) melihat kondisi persepsi korupsi di sektor pertambangan tidak berubah. Versi kontemporer dari kutukan sumberdaya alam adalah  perluasan kekuatan ekonomi global yang bekerjasama dengan elit lokal (baca: pemerintah yang berkuasa). Dalam perspektif globalisasi modus penghancuran sumberdaya alam sudah melampaui batas spasial dan arus uang.
Dalam konteks peraturan tambang untuk ormas daya rusak yang hebat akan dirasakan pada aktor pemburu rente dan pelobi dan kompensasi eksekutif. Studi ini dan beberapa studi yang dikutip disini memiliki kesimpulan yang sama kutukan sumber daya alam dengan korupsi menjadi tantangan mendasar yang menyebar luas dalam pertumbuhan sosial-ekonomi di negara-negara berkembang secara umum. Â
Dalam hal pelaporan manajemen sengaja salah mengartikan informasi atau mengubah laporan keuangan agar sesuai dengan kepentingan pribadi dan prinsipal mereka, dan mengorbankan kepentingan masyarakat terdampak. Sebenarnya hal ini, tidak hanya pada industri ekstraktif, pada industri energi terbarukan speerti industri pelet kayu, tebu, dan sawit proses pengkaplingan telah menyebabkan kerusakan yang sama (Hall, Hirsch, dan Li, 2020).
Para pemburu rente dan pelobi akan lobi lisensi jangka panjang memotivasi kutukan sumber daya ini menjadi awet. Pelobi inilah yang menjadi bagian dari korupsi kebijakan seperti yang terjadi pada kasus lain, semisal tambang emas Freeport Aturan Direvisi, Freeport Dapat Perpanjang Izin Sampai Cadangan Habis - Energi Katadata.co.id.Â
Kutukan sumberdaya dan ekonomi rente serta peran pelobi menjadi lingkaran jahanam dalam kutukan sumberdaya alam. Penelitian (Rahma, 2019), beberapa variabel penting dalam upaya mengatasi kutukan sumberdaya (resource curse) di Kalimantan Timur adalah; (1) kapasitas dan integritas kepala daerah, (2) kapasitas dan integritas birokrasi pemerintahan, (3) tingkat korupsi pada bisnis tambang, (4) keberadaan oligarki pada bisnis tambang, (5) transparansi dalam sistem perijinan usaha tambang, (6) koordinasi dan sinergi antar-organisasi pemerintah dalam tata kelola tambang, dan (7) penegakan hukum.
Dalam konteks Peraturan pemerintah yang dibincangkan disini, bingkai kelembagaan yang dibuat langsung berdampak pada ketidakadilan tata kelola tambang setelah lahirnya UU Cipta Kerja, UU No. 3/2020, dan Kepres No. 1 Tahun 2022 Tentang Satgas Penataan Penggunaan lahan dan Penataan Investasi yang dalam Pasal 3 ayat  e. memberikan fasilitasi, dan kemudahan perizinan berusaha bagi badan usaha milik desa/ daerah, organisasi/ kelompok masyarakat, usaha kecil menengah di daerah, serta koperasi untuk mendapatkan peruntukan lahan sebagaimana dimaksud pada huruf d.Â
Jika Muhammadiyah termasuk ke dalam skenario Ormas Keagamaan yang diafirmasi dapat ijin tambang, maka  jebakan para pelobi selain menyertakan sebuah rezim pemerintahan yang berkuasa saat ini, juga menyeret organisasi masyarakat sipil  ke dalam pusaran lingkaran jahanam.Â
Beberapa keberaratan terkait asumsi bahwa Ormas Keagamaan dapat mengelola tambang antara lain, Â Pertama, ijin tambang bukanlah ranah organisasi Muhammadiyah dan pengalaman Muhammadiyah secara organisatoris tidak memiliki kompetensi dalam usaha pertambangan.Â
Kedua, pasca Pemilihan Presiden isu ini mengemuka sebagai bagian dari proyek terimakasih, setelah sebelumnya proyek  serupa yang bertujuan meminang Muhammadiyah  pernah dilakukan dengan memberikan konsesi lahan 19.000 Ha kepada Pemuda Muhammdiyah, yang dianggap sebagai tindakan politis.
(Bersambung)
Daftar Pustaka
Adams, Dawda, Adams, Kweku ORCID: https://orcid.org/0000-0002-3737-954X, Ullah, Subhan and Ullah, Farid (2019) Globalisation, governance, accountability and the natural resource 'curse': Implications for socio-economic growth of oil-rich developing countries. Resources Policy, 61. pp. 128-140.
JETP-Indonesia-OP-FA-1.pdf (irid.or.id)
Muttaqien, Widhyanto. Aspek Sosial-Ekonomi Kelembagaan dalam Perencanaan Food Estate di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, 2020 (tidak dipublikasikan)
Rahma, H. (2019). Fenomena Natural Resource Curse Dalam Pembangunan Wilayah Di Indonesia. Disertasi: IPB. Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia. (ipb.ac.id)
Taksonomi Hijau Indonesia, Edisi 1.0 -- 2022. Regulasi_22012011321251.pdf (ojk.go.id)
World Energy Outlook 2022 -- Analysis - IEA
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H