JEBAKAN KATAK DALAM KELOLA TAMBANG BAGI ORMAS
oleh Widhyanto Muttaqien (Wakil Koordinator Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam LHKP PPM)
(bagian 1 dapat diakses pada tautan xxx)
Peluaran Dalam Tambang Diri
Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011 dalam Perspektif Agama Hijau menjadi bagian terpenting ketika bicara tentang tambang. Dalam konteks kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas, krisis kemanusiaan yang muncul antara lain migrasi tenaga kerja, climate migration, degradasi lingkungan yang parah, tingginya kesenjangan sosial dan tingkat kemiskinan, kerentanan penghidupan berkelanjutan, dan loss of living space (ruang spiritual) bagi masyarakat adat, perempuan, dan generasi ke depan. Dalam aspek ekofeminis perempuan dianggap sebagai liyan yang disangkal kontribusinya, diopresi, dan ditolak dependensinya. Penghidupan berkelanjutan masyarakat sekitar tambang menyebabkan penderitaan yang lebih dalam pada kaum perempuan. Opresi ini bahkan mengeklusi perempuan dalam berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan.
Pemerintah Pusat lewat UU No. 3 tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2oo9 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara telah menghapus kewenangan Kabupaten Kota dalam pengelolaan pertambangan (sebelumnya diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 Tentang Minerba, dan seluruh pasal 8 dalam UU ini). Dengan adanya UU baru ini rentang kendali terhadap krisis kemanusiaan yang disebutkan di atas menjadi sangat panjang dan tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah sebagai lokasi dimana krisis itu terjadi, dan ini merupakan sebuah tata kelola buruk dalam pemerintahan. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 25/2024 tidak menjadikan undang-undang ini mendemokatisasikan pengelolaan pertambangan sehingga bisa dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Malah menjerat Ormas Keagamaan dengan mengalungkan tambang di leher mereka.
Argumen kemashalatan dalam konteks Pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan umum dalam Fatwa ini batal karena tidak memenuhi aspek: tidak mendatangkan  kerusakan dan ramah lingkungan, tidak tercapai. Perubahan peraturan terkait UU No. 3 Tahun 2020 tentang melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi pascapertambangan. Dan pada bagian 3 mengenai  menghindari kerusakan (daf'u al-mafsadah),  yang antara lain:Â
a. menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan  laut Laporan-Tim-Penanganan-Kejadian-Tumpahan-Minyak-di-Perairan-Teluk-Balikpapan-Kota-Balikpapan-dan-Kabupaten-Penajam-Paser-Utara-Provinsi-Kalimantan-Timur.pdf (pwypindonesia.org); Hilirisasi Nikel Dikeluhkan Berdaya Rusak di Maluku Utara, dari Deforestasi sampai Represi - Tekno Tempo.coÂ
b. menimbulkan pencemaran air serta rusaknya  daur hidrologi (siklus air);Â
c. menyebabkan kepunahan atau terganggunya  keanekaragaman hayati yang berada di  sekitarnya Kawasan Biodiversitas Utama Terancam Aktivitas Tambang - Kompas.id;Â
d. menyebabkan polusi udara dan ikut serta  mempercepat pemanasan global;Â