Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tidak Bisa Menikah di Usia Ideal, Mempelai Perempuan Perlu Dibantu Raih Masa Depannya

24 Agustus 2016   05:27 Diperbarui: 24 Agustus 2016   07:35 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak negatif pernikahan dini. Sumber gambar: bkkbn.go.id

Pernikahan yang baik adalah pernikahan pada usia ideal, yaitu di atas 20 tahun untuk perempuan dan di atas 25 tahun untuk laki-laki. Tetapi di Indonesia, masih banyak terjadi anak perempuan yang terpaksa atau tidak dapat menghindarkan diri dari pernikahan dini karena situasi dan kondisi tertentu.

Pernikahan dini adalah sebuah pernikahan yang dilakukan di bawah batas umur dewasa, atau pernikahan yang melibatkan satu atau dua pihak yang masih anak-anak. Secara umum, sebuah pernikahan dikategorikan sebagai pernikahan dini apabila ada salah satu pihak yang masih berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Batasan umur 18 tahun untuk pria maupun wanita telah diratifikasi lebih dari seratus negara di dunia, namun tidak termasuk Indonesia. Di Indonesia, batas umur minimum untuk menikah masih berusia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini membuat Indonesia masih tertinggal dari mayoritas negara-negara di dunia dalam hal proteksi anak dan usaha mengurangi terjadinya pernikahan dini (Sumber-1).

Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka pernikahan usia dini di Indonesia masih memiliki peluang untuk tetap terjadi. Selain itu, interaksi berbagai faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini, seperti tradisi dan budaya, mempererat tali kekeluargaan, alasan ekonomi untuk memperoleh keamanan sosial dan finansial setelah menikah, ketakutan orang tua akan terjadinya kehamilan di luar nikah atau bahkan sudah terjadi kehamilan diluar nikah akibat pergaulan bebas, dan lain-lain (Sumber-2).

Dari berbagai penyebab tersebut diatas, resiko berat akibat dari pernikahan dini akan sangat dirasakan oleh mempelai perempuan, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya. Terlebih lagi pada pernikahan yang diatur, mempelai perempuan selalu menjadi pihak yang menikah dengan usia muda.

Dampak negatif dari pernikahan dini yang kemungkinan besar akan dialami oleh mempelai perempuan muda, antara lain sebagai berikut (Sumber-1):

  1. Tingginya tingkat drop out, lama sekolah rendah, tingkat pendidikan rendah;
  2. Menurunnya status sosial atau subordinasi dalam keluarga;
  3. Rendahnya kesehatan reproduksi;
  4. Tingginya kematian ibu akibat melahirkan di usia muda;
  5. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Untuk mencegah terjadinya dampak negatif tersebut, cara yang terbaik adalah menghindari terjadinya pernikahan dini. Namun apabila pernikahan dini tidak mungkin dihindari atau terpaksa terjadi, maka mempelai perempuan harus lebih banyak memperoleh perhatian dan bantuan.

Ini merupakan tugas dari keluarga, orang-orang terdekat, tokoh masyarakat, dan bahkan pemerintah untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada perempuan muda yang terlanjur mengalami pernikahan dini, agar kecemerlangan masa depannya tidak pupus.

Pendidikan

Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai. Pernikahan dini seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga.

Upayakan terus memperoleh pendidikan. Sumber gambar: sekolah-paket-abc-pkbm.blogspot.com
Upayakan terus memperoleh pendidikan. Sumber gambar: sekolah-paket-abc-pkbm.blogspot.com
Apalagi terhadap anak yang dinikahkan dan kemudian berhenti sekolah dengan maksud untuk mengalihkan beban tanggungjawab orang tua dalam menghidupi anak tersebut kepada pasangannya. Biaya pendidikan tidak terjangkau bagi mereka.

Termasuk merupakan hambatan bagi perempuan yang menikah dini terhadap akses pendidikan adalah adanya peraturan sekolah yang melarang bagi anak yang telah menikah dan hamil untuk sekolah atau mengikuti ujian nasional.

Alternatif yang paling mudah adalah melalui program pendidikan kesetaraan, yang meliputi program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Atau mengikuti pendidikan/pelatihan keterampilan yang nantinya diperoleh keterampilan dapat digunakan untuk membuka usaha guna menambah pendapatan keluarga.

Dalam hal ini, orang-orang terdekat terutama suami dan keluarganya harus memberikan ijin atau bahkan mendorong sehingga memungkinkan pendidikan isterinya dapat bertambah atau dilanjutkan.

Status Sosial

Ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan dini. Terlebih lagi dalam kondisi perempuan mengalami subordinasi dalam keluarga, dimana peran yang dilakukan oleh perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak.

Upayakan kesetaraan jender. Sumber gambar: samsaranews.com
Upayakan kesetaraan jender. Sumber gambar: samsaranews.com
Usia muda juga secara psikologis belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan dini menyebabkan dampak buruk terhadap kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka. Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia.

Orang-orang terdekat, keluarga, dan masyarakat sekitar perlu membantu agar kondisi tersebut tidak terjadi pada mempelai perempuan yang menikah dini. Apabila kondisi sosial yang tidak diinginkan ini dapat dilewati, pernikahannya benar-benar dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan remaja, dan membantu pertumbuhan emosi dan mental untuk mencapai kematangan.

Kesehatan Reproduksi

Pada usia dini, secara biologis alat-alat reproduksi masih dalam proses menuju kematangan, sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil dan kemudian melahirkan.

Jaga kesehatan reproduksi. Sumber gambar: jogja.tribunnews.com
Jaga kesehatan reproduksi. Sumber gambar: jogja.tribunnews.com
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Rendahnya pendidikan menyebabkan mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya.

Oleh karena itu, perempuan yang terlanjur menikah dini perlu ditingkatkan pengetahuannya tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV/AIDs. Disini peran orang tua, orang yang berpengaruh, sampai kepada instansi/aparat pemerintah seperti BKKBN dengan PLKB-nya serta Dinas Kesehatan dengan para bidannya, dapat berperan aktif untuk membantu atau memberikan sosialisasi. Jangan dilupakan juga agar mereka dapat menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Kematian Akibat Melahirkan

Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 18 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anaknya. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu.

Cegah kematian ibu maupun bayi dengan Program Keluarga Berencana. Sumber gambar: rri.co.id
Cegah kematian ibu maupun bayi dengan Program Keluarga Berencana. Sumber gambar: rri.co.id
Dalam hal ini peran merencanakan kehamilan melalui Program Keluarga Berencana sangat dibutuhkan. Perlu mencegah atau menunda kehamilan yang beresiko pada usia yang terlalu muda, dan mengatur jeda waktu kehamilan berikutnya. Demikian pula jumlah anak dibatasi sesuai Program KB. Untuk yang terlanjur hamil sebelum menikah, maka kehamilan berikutnya agar ditunda. Disamping itu, pengetahuan tentang seluk beluk kehamilan dan perawatannya perlu ditingkatkan.

Kekerasan Dalam Rumahtangga (KDRT)

Dominasi pasangan seringkali menyebabkan perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya anak perempuan yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak memperoleh pemenuhan rasa aman. Akibatnya dia akan mengalami stress atau depresi, ketakutan, serta trauma.

Cegah KDRT. Sumber gambar: pkk.pemkomedan.go.id
Cegah KDRT. Sumber gambar: pkk.pemkomedan.go.id
Yang lebih berbahaya lagi adalah bila dalam pernikahan tersebut memperoleh pasangan yang mempunyai penyimpangan dalam perilaku seksual, yaitu perilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak, yang dikenal dengan istilah pedofilia.

Pasangan yang mendominasi (suami) harus memahami kewajibannya terhadap isteri sehingga tidak berbuat semena-mena. Pengamalan ajaran agama sangat penting, dimana suami harus menjadi imam bagi isteri. Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami dan isteri, bila ada permasalahan harus harus diselesaikan dengan dialog.

Jika terjadi pertengkaran serius, salah satu atau kedua-duanya harus meminta kepada orang yang dituakan untuk memediasi. Bila terjadi KDRT, maka orang yang dituakan atau keluarga yang berpengaruh perlu mengupayakan jalan keluar terhadap penyelesaian masalah KDRT supaya tidak terus terulang, dan persoalan tidak sampai ke ranah hukum.

Sekian, salam keluarga sejahtera.

Twitter

Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun