Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sepak Bola dan Politik

11 Juli 2016   11:09 Diperbarui: 11 Juli 2016   12:21 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua perhelatan besar sepak bola dari dua benua baru saja berakhir. Di benua Amerika, sang juara bertahan Chile berhasil mempertahankan gelar juara Copa America, setelah mengalahkan Argentina melalui duel adu penalti dengan skor 4-2.

Sementara itu, di benua Eropa, Portugal secara mengejutkan berhasil menjuarai Piala Eropa 2016 lewat kemenangan 1-0 atas Perancis, dalam laga final di Stade de France, Minggu (10/7/2016) atau Senin dini hari WIB tadi.

Iseng-iseng memperbandingkan antara dunia sepak bola dengan dunia perpolitikan (di Indonesia), ternyata terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai kemiripan.

Di dunia politik kita kenal istilah tidak ada lawan atau kawan yang abadi. Di sepak bola juga demikian. Lihat saja para pemain sepak pola professional itu, yang semula teman satu tim di musim berikutnya mereka harus berhadapan sebagai lawan. Perilaku para politisi juga demikian.

Kutu loncat? Itu sudah biasa. Hanya kalau di sepak bola professional, pemain menjadi kutu loncat karena sangat dibutuhkan dan harus dibeli oleh klub, kalau politisi kutu loncat karena mereka berburu peluang kedudukan, jabatan, atau kesempatan untuk mengikuti pileg, pilkada, atau pilpres.

Kemampuan teknis dan kompetensi akan menentukan harga, posisi, dan klub elit. Politisi yang kompeten juga menjadi incaran parpol elit. Bedanya kalau pemain bola dapat mahar dari klub, kalau politisi harus memberi mahar ke parpol.

Faktor keberuntungan juga menentukan dan dapat mengubah nasib. Walaupun yang ini tidak hanya terjadi di dunia bola dan politik saja, namun perannya juga sangat menentukan.

Supporter fanatik, ini yang mengherankan kita. Walaupun klub-nya di Inggris sana, supporter fanatiknya bisa di mana-mana. Mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, namun rela mengorbankan segalanya untuk mendukung klub idolanya. Demikian pula supporter parpol, padahal yang menikmati manisnya kemenangan hanya segelintir elit parpolnya saja.

Demikian pula, tidak jarang terjadi bentrokan antar supporter fanatik tersebut. Bentrok yang mereka lakukan tanpa pertimbangkan akibat atau kerusakan yang mereka timbulkan, termasuk akibat yang harus mereka tanggung sendiri, bahkan sampai kehilangan nyawa.

Tindak kecurangan juga banyak terjadi pada kedua bidang ini. Suap untuk pengaturan skor sudah biasa terjadi di sepak bola. Kalau di politik ya untuk pengaturan perolehan suara.

Demikian saja tulisan sebagai pemanasan setelah lebaran yang membahagiakan namun sekaligus melelahkan.

Salam dari saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun