Almarhum Bismar Siregar, yang terakhir menjabat sebagai Hakim Agung pada periode tahun 1984-2000 adalah sosok hakim yang progresif, tegas dan berani dalam memutus perkara sesuai hati nuraninya, karena keyakinannya bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia.
Tetapi oleh kebanyakan temannya, justru dia dianggap sebagai hakim yang aneh dan kontroversial. Padahal, alasan dari anggapan itu adalah sederhana, yaitu Bismar tidak dapat disuap dan tidak bisa dibeli.
Bagi almarhum Prof Satjipto Rahardjo, yang semasa hidupnya adalah Guru Besar Fakultas Hukum Undip, apa yang dilakukan oleh Bismar Siregar itu tidak kontroversial. Justru dia adalah hakim yang lurus-lurus saja. Setiap memutus perkara, dia selalu bertanya kepada hati nuraninya. Bismar selalu berdialog dengan hati nuraninya: "Salahkah orang ini? Jahatkah dia? Bagaimana hukumannya, berat atau ringan?" Sesudah hati nuraninya memutuskan, maka kemudian dia mencari pasal-pasal hukum sebagai dasarnya (Sumber).
Oleh karena itu, Bismar Siregar merupakan salah satu hakim terbaik yang ada di masa itu.
Dari fakta yang diuraikan diatas, menunjukkan bahwa sudah sejak dulu banyak oknum hakim yang bisa disuap, bisa dibeli. Padahal mereka itu adalah wakil Tuhan di dunia, namun dia tidak peduli bahwa dengan perbuatannya itu membuatnya berlumur dosa.
Kenyataan bahwa ribuan hakim bermasalah sudah lama diketahui. Komisi Yudisial mencatat laporan hakim bermasalah, sejak 2010 hingga Agustus 2013, sebanyak 5.783 perkara. Rinciannya, pada 2010 KY telah memproses 225 perkara dari total 1.377 laporan. Pada 2011, hanya 360 kasus yang ditindak lanjuti dari 1.638 pengaduan. Dan pada 2012, 273 kasus diproses dari 1.520 perkara (Sumber).
Mungkin sanksi atau hukuman yang diberikan kepada hakim-hakim yang bermasalah tersebut sangatlah ringan, sehingga tidak memberikan efek jera. Terbukti kini semakin sering hakim-hakim yang tertangkap tangan oleh KPK ketika menerima suap.
Kasus yang terakhir adalah operasi tangkap tangan KPK terhadap Hakim Tipikor Pengadilan Tipikor Bengkulu, yang juga sebagai Ketua PN Kapahiang (Janner Purba), Hakim Tipikor Pengadilan Tipikor Bengkulu lainnya (Toton), dan Panitera Pengganti PN Bengkulu (Badarudin Bachsin), beserta dua orang lainnya.
KPK menetapkan mereka sebagai tersangka kasus dugaan suap. Barang bukti berupa uang Rp. 650 juta yang ditemukan diyakini digunakan untuk mempengaruhi hasil putusan kasus korupsi penyalah-gunaan honor di RSUD M Yunus.
Dengan terjadinya kejadian-kejadian tersebut, membuat kita sangat prihatin dan tak tahu harus bagaimana agar wakil Tuhan ini tidak lagi melakukan dosa. Mestinya gaji dan tunjangan mereka sudah besar, tetapi tetap saja mereka mau menerima uang suap. Bahkan kini di internal institusi tertinggi mereka, Mahkamah Agung, juga bermasalah dengan kasus yang sama.
Apabila semua jalan sudah buntu, mungkin perlu dipertimbangkan gagasan dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Beliau menyatakan harus ada langkah radikal untuk menyelesaikannya. Yaitu memotong satu generasi hakim dan digantikan dengan generasi hakim baru yang baik dan berintegritas. "Potong satu generasi dengan undang-undang, kebijakan amputasi," ucapnya (Sumber).
Dan tindakan drastis seperti itu ternyata juga pernah dilakukan oleh beberapa negara. Sehingga jika memang sudah tidak ada jalan lain yang efektif, mungkin tindakan seperti itu layak untuk dilakukan. Tetapi juga harus dibarengi dengan berbagai perbaikan dalam peraturan dan penegakannya, agar setelah dilakukan pemotongan generasi, kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Sehingga hakim kembali layak sebagai wakil Tuhan di dunia (Indonesia) dan tidak lagi berlumur dosa.
Semoga saja segera ada langkah perbaikan.
Salam dari saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H