Sumber Gambar : KOMPAS.com/RAMDHAN TRIYADI BEMPAH
Judul tersebut diatas sebenarnya terinspirasi dari ungkapan yang sering diucapkan oleh orang Jawa, ketika melihat perubahan tingkah laku orang Jawa sekarang ini, yang sudah jauh menyimpang dari budaya Jawa. Ungkapan itu berbunyi “Wong Jowo wis ilang Jawane” (Orang Jawa sudah hilang ke-Jawa-annya).
Lihat saja, tatakrama, sopan santun, unggah-ungguh, dan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dapat dikatakan sudah sangat berkurang. Yang paling gampang dilihat adalah ketika mereka berbicara, sudah tidak bisa lagi menggunakan “boso kromo”, apalagi “kromo inggil”.
Nilai-nilai Budaya yang Dilupakan
Masyarakat Jawa sangat memperhatikan sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai perasaan orang lain, berbudi bowo leksono serta selalu rendah hati.
Sikap aja dumeh, aja adigang, aja adigung, aja adiguna, selalu ditekankan pada masyarakat Jawa agar selalu menjadi orang yang rendah hati, berbudi baik dan menghargai orang lain.
Dalam kehidupannya, masyarakat Jawa selalu ingin bersikap lebih berhati-hati agar dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah lakunya mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dengan demikian, harus dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang adil dari yang tidak adil, yang suci dari yang kotor, yang berpahala dari yang berdosa, dan sebagainya.
Sikap hidup dan nilai-nilai budaya Jawa seperti itu sekarang sudah tidak dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa, apalagi anak-anak remajanya.
Akibatnya, remaja Jawa saat ini telah banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai budaya Jawa dan berbagi perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan nilai budaya Jawa. Hal tersebut dapat disebut sebagai sebuah penyimpangan dan perilaku nakal oleh remaja Jawa.
Kondisi yang memprihatinkan seperti yang diuraikan diatas, jikalau kita lihat secara lebih luas untuk seluruh Indonesia, ternyata yang terjadi juga sama.
Budaya Indonesia yang dibangun oleh para pendahulu kita, yang mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia, sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Indonesia, terlebih lagi para remajanya.
Padahal nilai-nilai itu merupakan puncak-puncak budaya dari seluruh daerah yang ada di Indonesia, yang seharusnya merupakan sifat/ciri khas budaya bangsa Indonesia.
Nilai-nilai tersebut antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan dan lainnya.
Akibatnya: Kenakalan Remaja
Dalam penelitiannya, Rachim dan Nashori (2007) yang bertajuk “Hubungan Antara Nilai Budaya Jawa dengan Perilaku Nakal pada Remaja Jawa”, disimpulkan bahwa semakin tinggi sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa, maka semakin sedikit perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa.
Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Jawa, maka semakin tinggi tingkat perilaku nakal yang ada pada remaja Jawa.
Hasil penelitian tersebut penulis generalisasikan untuk Indonesia, bahwa semakin tingginya perilaku nakal remaja Indonesia, disebabkan karena semakin sedikitnya sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai budaya Indonesia.
Sehingga tidaklah mengherankan ketika baru-baru ini secara beruntun telah terjadi “kenakalan remaja” yang keji, yaitu pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun seorang siswi SMP oleh14 remaja (beberapa diantaranya dibawah umur) di Desa Padang Ulak Tanding, Kecamatan Rejang Lebong-Bengkulu; pembunuhan Nur Ain Lubis, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) oleh mahasiswanya (Roymardo Sah Siregar) di Medan; dan pembunuhan Feby Kurnia, mahasiswi jurusan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Diwaktu yang akan datang, kejadian seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi.
Dalam laporan penelitian tersebut diatas, dikutip ada empat jenis kenakalan remaja, yaitu:
- Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
- Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
- Kenakalan yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penyalah-gunaan obat.
- Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua mereka dengan cara minggat dari rumah dan membantah perintah orangtua.
Penyebab dan Penanggulangan
Pengaruh budaya dari luar yang katanya modern itu telah muncul dan mengisi dimensi kehidupan masyarakat, bahkan mampu menggeser nilai-nilai budaya kita. Dan sayangnya, akibat kemajuan teknologi informasi dan globalisasi, pengaruh-pengaruh dari luar tersebut tidak dapat terfilter antara nilai-nilai yang positif dan yang negatif.
Informasi yang tidak terfilter tersebut dengan mudah dapat diperoleh melalui berbagai media, baik media cetak (majalah, surat kabar) maupun media elektronik (televisi, radio, dan internet), dan lainnya.
Perolehan informasi yang tidak terfilter, terutama dari media elektronik (televisi dan internet) dengan informasi audio-visualnya, dapat memberikan dampak perubahan nilai sosial budaya.
Walaupun pemerintah telah berusaha memfilter, seperti adanya Komisi Penyiaran Indonesia untuk siaran televisi, dan pemblokiran konten pornografi di internet, namun hasilnya tidak efektif.
Muatan siaran televisi di Indonesia banyak mengandung unsur-unsur konsumerisme, hal yang porno, kekerasan, tipu muslihat, mistik, dan kemewahan.
Padahal terlalu banyak menonton televisi akan membentuk persepsi dan kepercayaan penonton sehingga terhubung dengan dunia yang ditampilkan di televisi dari pada dunia nyata.
Dan celakanya penonton televisi di Indonesia bagian terbesarnya adalah anak-anak. Sehingga semakin banyak unsur-unsur itu ditayangkan di televisi, maka semakin rentan anak-anak yang mempunyai kebiasaan menonton televisi itu untuk meniru tayangan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan kenyataan yang ada saat ini, penulis merasa tidak akan ada pihak manapun yang dapat membendung arus informasi tersebut beserta dampaknya, termasuk pemerintah. Oleh karena itu, hanya keluargalah benteng terakhir yang mampu melindungi anggota keluarganya sendiri dengan berbagai caranya sendiri.
Memang tidak mudah, karena anak-anak tidak hanya diam didalam rumah, padahal pergaulan diluar rumah kini semakin liar. Tetapi kalau tidak keluarga kita sendiri, lalu siapa?
Kini, kita harus menerima kenyataan bahwa Wong Jowo wis ilang Jawane, dan orang Indonesia telah kehilangan Ke-Indonesia-annya.
Salam dari saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI