[caption caption="Cuitan dari Kepala Desa Langgenharjo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati."][/caption]Pada tanggal 19 Januari 2016, saya menerima cuitan dari Kepala Desa Langgenharjo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, sebagai berikut : “mas tris,mhn sharing info.ds kami kena dampak limbah tapioka.shg petani tambak menjerit.wass kades langgenharjo,margoyoso,pati”. Kasus ini sudah sangat lama dan ternyata sampai sekarang belum juga terpecahkan.
Kabupaten Pati, dari namanya saja menujukkan bahwa Kabupaten ini merupakan daerah penghasil “pati” (tepung), dalam hal ini adalah tepung tapioka. Ada tiga kecamatan yang menjadi andalan dalam produksi tapioka yaitu Kecamatan Margoyoso, Trangkil, dan Tlogowungu. Kecamatan Margoyoso merupakan yang terbanyak, ada sekitar 530 unit industri rumah tangga pengolahan tepung tapioka berbahan baku ubi kayu.
[caption caption="Peta Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Ilustrasi : DKP Prov. Jateng"]
Namun, limbah dari industri ini mempunyai dampak negatif yaitu mencemari lingkungan. Limbah cair yang dihasilkan dibuang langsung ke kali (sungai). Ada beberapa sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah tapioka antara lain kali Bango, Suwatu, Pangkalan, dan Pasokan.
Limbah yang dihasilkan dari industri tapioka berupa limbah padat, cair, dan gas. Tentu saja yang berpengaruh terhadap usaha pertambakan adalah limbah cair. Limbah cair ini dihasilkan dari proses produksi tepung tapioka, mulai dari pencucian bahan baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau proses pengendapan.
Dalam proses produksi tapioka diperlukan air relatif banyak, setiap satu ton ketela pohon dibutuhkan 6-9 m3 air. Air buangan industri tapioka masih mengandung bahan-bahan organik dan padatan tersuspensi total yang cukup tinggi, diatas batas persyaratan air buangan industri yang diijinkan. Jika tidak diolah terlebih dahulu, limbah ini akan menyebabkan gas yang berbau tidak sedap dan mencemari lingkungan perairan.
[caption caption="Diperlukan air yang banyak untuk proses produksi tapioka. Ilustrasi : Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian"]
1) Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan limbah padat, tersuspensi maupun terlarut.
2) Peningkatan kebutuhan oksigen bagi mikroba pembusuk senyawa organik, dinyatakan dengan BOD.
3) Peningkatan kebutuhan oksigen untuk proses kimia dalam air yang dinyatakan dengan COD.
4) Peningkatan senyawa-senyawa beracun dalam air dan pembawa bau busuk yang menyebar keluar dari ekosistem akuatik itu sendiri.
5) Peningkatan derajat keasaman yang dinyatakan dengan pH yang rendah dari air tercemar, sehingga dapat merusak keseimbangan ekosistem perairan terbuka.
Menurut Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang, kualitas air buangan tapioka yang tidak diolah adalah sebagai berikut : BOD5 = 2000-5000 mg/L; COD = 4000-30.000 mg/L; Padatan Tersuspensi Total = 1500-5000 mg/L; CN (Sianida) = 0-15 mg/L; dan pH = 4,0-6,5.
Sedangkan baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri tapioka (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah), kadar paling tinggi adalah BOD5 = 150 mg/L; COD = 300 mg/L; Padatan Tersuspensi Total = 100 mg/L; CN (Sianida) = 0,3 mg/L; dan pH = 6,0-9,0.
Jelaslah bahwa air limbah industri tapioka sangat jauh diatas baku mutu air limbah yang diperbolehkan, sehingga apabila langsung dibuang ke perairan umum akan menyebabkan pencemaran berat. Kematian ikan dan udang pada tambak yang tercemar limbah ini, dimungkinkan karena senyawa toksik, kekurangan oksigen, atau bakteri patogen.