[caption caption="Padang lamun (seagrass bed), merupakan habitat perairan dangkal yang sangat penting. Foto : Heather Dine"][/caption]Dulu, pada tahun 1970-an, kita masih dapat dengan mudah melihat hamparan hijau pada dasar laut di pinggir pantai yang menyerupai padang rumput hijau. Waktu itu, di sekitar pantai Kartini-Jepara masih sangat banyak kita jumpai. Sekarang sudah tidak ada lagi. Padang rumput di laut itu tidak lain adalah padang-lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan tempat hidup bagi banyak organisme, seperti ikan, kepiting, udang, lobster, bulu babi (seaurchin), penyu, dan lainnya.
[caption caption="Penyu hijau dewasa menghabiskan sebagian besar waktunya merumput di padang lamun. Foto : Clifton Beard"]
Sebagai habitat yang ditumbuhi berbagai spesies lamun (seagrass), padang lamun memberikan tempat hidup yang sangat strategis, yaitu sebagai perlindungan bagi ikan-ikan kecil dari "pengejaran" beberapa predator.
[caption caption="Sotong raksasa (Apama sepia) melintasi padang lamun. Foto : Richard Ling"]
Namun sayangnya, ekosistem padang lamun adalah merupakan salah satu ekosistem pesisir yang rentan terhadap perubahan, sehingga mudah mengalami kerusakan, baik oleh -terutama- ulah manusia maupun faktor alam. Mengingat fungsi ekologisnya yang sangat penting, ekosistem ini perlu dilindungi dan direhabilitasi.
Perkembangan
Konon, sekitar 100 juta tahun yang lalu, rumput dari daratan menyesuaikan diri hidup dan berkembang biak terendam dalam air laut, sehingga menjadi seperti yang saat ini kita sebut lamun. Invasi tumbuhan darat ke laut ini terjadi dalam empat periode terpisah, sehingga menghasilkan empat familia dengan jumlah spesies sekitar 50-60 spesies, dapat ditemukan di pantai setiap benua kecuali Antartika. Sama seperti rumput di tanah, lamun membentuk padang yang luas, menghasilkan bunga dan biji, dan merupakan habitat bagi komunitas organisme yang sangat beragam.
[caption caption="Lamun ditemukan di seluruh dunia, di daerah tropis dan dingin. Warna hijau menunjukkan jumlah spesies dilaporkan terdapat pada wilayah itu. Wilayah Indonesia mempunyai keragaman spesies yang tinggi (warna hijau : 12-15 spesies). Peta : UNEP"]
Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi, atau hidup terbenam di dalam air laut, memiliki rhizome (rimpang), daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta dapat berkembang biak dengan biji (generatif) maupun tunas (vegetatif). Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur, dan pecahan karang.
[caption caption="Lamun (seagrass) berdaun lebar (Posidonia australis) tumbuh dengan epifit alga. Foto : Mark Rodrigue"]
Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir, yaitu sebagai produser primer dengan memfiksasi sejumlah karbon organik yang sebagian besar memasuki rantai makanan, sebagai stabilisator dasar perairan karena pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang padat, sebagai pendaur zat hara, sebagai tempat dan sumber makanan karena lamun dapat dimakan oleh beberapa organisme seperti penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda, serta tempat asuhan, tempat tinggal, dan tempat perlindungan beberapa organisme. Peran lain adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan.
[caption caption="Lamun Neptune (Posidonia oceanica) adalah lamun dengan pertumbuhan lambat dan berumur panjang asli Mediterania. Foto : Gaynor Rosier"]
Satu manfaat besar di era perubahan iklim saat ini, yang mungkin kita tidak menyadarinya, adalah jasa ekologis mereka sebagai penyerapan/sekuestrasi karbon (carbon sequestration). Seperti diketahui, salah satu gas rumah kaca adalah karbon dioksida (COâ‚‚), yang merupakan gas penyebab utama panas yang terjebak di atmosfer bumi dan merupakan pendorong utama perubahan iklim global. Padang lamun menempati kurang dari 0,2 % dari luas wilayah lautan di dunia, tapi mampu menimbun antara 4,2 dan 8,4 Gt (1 Gt = 1 miliar metrik ton) karbon organik per tahun.
Tinggal jadi lamunan?
Padang lamun merupakan suatu ekosistem yang rentan (fragile ecosystem). Berbagai aktivitas manusia dan industri memberi dampak terhadap ekosistem padang lamun, baik secara langsung maupun tidak-langsung. Perubahan atau gangguan terhadap padang lamun merupakan peringatan adanya peningkatan tekanan akibat aktivitas manusia. Lamun sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi, sehingga membuatnya menjadi 'spesies indikator', sebagai barometer bagi kesehatan ekosistem perairan disekitarnya.
Oleh karena itu, padang lamun sangat cepat mengalami kerusakan terutama akibat dampak langsung aktivitas manusia seperti seperti pengerukan dan pengurugan, sedimentasi, baling-baling dan jangkar perahu), pencemaran dan eutrofikasi, sampah, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi pesisir. Sedangkan penyebab kerusakan alami seperti topan, gelombang pasang dan predator.
Lamun berkurang secara luas dan cepat di berbagai belahan dunia, dan diketahui besaran kehilangan tersebut adalah 29 persen sejak tahun 1879, dan menurun pada tingkat 7 persen pertahun, atau setara 20 lapangan sepak bola per hari. Di Indonesia, lamun mengalami penyusutan luasan 30-40% dari luas keseluruhanya diakibat aktivitas manusia secara langsung (Nontji, 2009 dalam Febriyantoro dkk 2013). Dampak kegiatan manusia tersebut termasuk pengaruh negatif dari perubahan iklim (naiknya permukan laut, abrasi, naiknya penyinaran ultraviolet, angin siklon dan banjir). Tingkat kehilangan padang lamun tersebut akan terus meningkat akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir.
Febriyantoro dkk (2013) dari Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro telah melakukan penelitian tentang Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun (Enhalus acoroides) di Kawasan Padang Lamun Perairan Prawean Bandengan Jepara. Penelitian ini menerapkan tiga metode transplantasi yaitu metode Frame tabung bambu, Plugs, dan Fastening waring. Hasil penelitiannya menunjukkan tingkat kelangsungan hidup (SR) lamun jenis Enhalus acoroides di Perairan Prawean Bandengan Jepara dengan metode Frame tabung bambu sebesar 95%, metode Plugs sebesar 100% dan metode Fastening waring sebesar 100%.
Melihat tingkat kelangsungan hidup yang tinggi tersebut, kiranya perlu dilakukan transplantasi dalam skala rehabilitasi yang lebih luas. Apabila hal ini dapat dilaksanakan dan berhasil, maka ada harapan bahwa lamun tidak hanya akan tinggal menjadi lamunan (kenangan) saja, tetapi dapat kembali berkembang subur dan terhampar di perairan pantai. Dengan demikian, anak cucu nanti kita bisa melihat langsung wujud dari padang lamun, tidak hanya mendengar ceritanya saja. Semoga.
Sumber :
http://ocean.si.edu/seagrass-and-seagrass-beds
http://ejournal-s1.undip.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H