[caption caption="Lamun Neptune (Posidonia oceanica) adalah lamun dengan pertumbuhan lambat dan berumur panjang asli Mediterania. Foto : Gaynor Rosier"]
Satu manfaat besar di era perubahan iklim saat ini, yang mungkin kita tidak menyadarinya, adalah jasa ekologis mereka sebagai penyerapan/sekuestrasi karbon (carbon sequestration). Seperti diketahui, salah satu gas rumah kaca adalah karbon dioksida (COâ‚‚), yang merupakan gas penyebab utama panas yang terjebak di atmosfer bumi dan merupakan pendorong utama perubahan iklim global. Padang lamun menempati kurang dari 0,2 % dari luas wilayah lautan di dunia, tapi mampu menimbun antara 4,2 dan 8,4 Gt (1 Gt = 1 miliar metrik ton) karbon organik per tahun.
Tinggal jadi lamunan?
Padang lamun merupakan suatu ekosistem yang rentan (fragile ecosystem). Berbagai aktivitas manusia dan industri memberi dampak terhadap ekosistem padang lamun, baik secara langsung maupun tidak-langsung. Perubahan atau gangguan terhadap padang lamun merupakan peringatan adanya peningkatan tekanan akibat aktivitas manusia. Lamun sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi, sehingga membuatnya menjadi 'spesies indikator', sebagai barometer bagi kesehatan ekosistem perairan disekitarnya.
Oleh karena itu, padang lamun sangat cepat mengalami kerusakan terutama akibat dampak langsung aktivitas manusia seperti seperti pengerukan dan pengurugan, sedimentasi, baling-baling dan jangkar perahu), pencemaran dan eutrofikasi, sampah, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi pesisir. Sedangkan penyebab kerusakan alami seperti topan, gelombang pasang dan predator.
Lamun berkurang secara luas dan cepat di berbagai belahan dunia, dan diketahui besaran kehilangan tersebut adalah 29 persen sejak tahun 1879, dan menurun pada tingkat 7 persen pertahun, atau setara 20 lapangan sepak bola per hari. Di Indonesia, lamun mengalami penyusutan luasan 30-40% dari luas keseluruhanya diakibat aktivitas manusia secara langsung (Nontji, 2009 dalam Febriyantoro dkk 2013). Dampak kegiatan manusia tersebut termasuk pengaruh negatif dari perubahan iklim (naiknya permukan laut, abrasi, naiknya penyinaran ultraviolet, angin siklon dan banjir). Tingkat kehilangan padang lamun tersebut akan terus meningkat akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir.
Febriyantoro dkk (2013) dari Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro telah melakukan penelitian tentang Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun (Enhalus acoroides) di Kawasan Padang Lamun Perairan Prawean Bandengan Jepara. Penelitian ini menerapkan tiga metode transplantasi yaitu metode Frame tabung bambu, Plugs, dan Fastening waring. Hasil penelitiannya menunjukkan tingkat kelangsungan hidup (SR) lamun jenis Enhalus acoroides di Perairan Prawean Bandengan Jepara dengan metode Frame tabung bambu sebesar 95%, metode Plugs sebesar 100% dan metode Fastening waring sebesar 100%.
Melihat tingkat kelangsungan hidup yang tinggi tersebut, kiranya perlu dilakukan transplantasi dalam skala rehabilitasi yang lebih luas. Apabila hal ini dapat dilaksanakan dan berhasil, maka ada harapan bahwa lamun tidak hanya akan tinggal menjadi lamunan (kenangan) saja, tetapi dapat kembali berkembang subur dan terhampar di perairan pantai. Dengan demikian, anak cucu nanti kita bisa melihat langsung wujud dari padang lamun, tidak hanya mendengar ceritanya saja. Semoga.
Sumber :
http://ocean.si.edu/seagrass-and-seagrass-beds
http://ejournal-s1.undip.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H