Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sidat, Rela Mati Demi Kelangsungan Generasi

29 November 2015   05:48 Diperbarui: 23 Desember 2019   12:54 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan sidat, memiliki siklus hidup yang luar biasa. Foto : agrocyber.blogspot.com

Ikan sidat memiliki siklus hidup yang luar biasa, yang dimulai dan berakhir di laut. Dapat dikatakan sebagai siklus hidup yang “tragis”, setelah dewasa meninggalkan perairan air tawar, berjuang mengarungi lautan menuju spawning ground (tempat bertelur) di tengah samudera, kemudian memijah, dan mati.

Ikan Sidat (dari genus Anguilla) telah sekian lama menjadi misteri bagi manusia, dan meskipun telah banyak dilakukan penelitian intensif, masih banyak aspek biologinya yang tetap menjadi misteri hingga kini.

Ada 16 spesies dan 3 subspesies dari sidat air tawar di dunia. Di Indonesia, paling tidak dikenal ada tujuh jenis (5 spesies dan 2 sub spesies) ikan sidat yaitu : (1) Anguilla celebesensis Kaup, 1856; ditemukan di Philipina dan Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), (2) Anguilla malgumora Schlegel in Kaup, 1856; hanya ditemukan di pulau Kalimantan, sehingga juga dinamakan Anguilla borneensis, (3) Anguilla interioris Whitley, 1938, hanya ditemukan di bagian utara timur pulau Papua, (4) Anguilla obscura Günther, 1871, ditemukan dari barat Papua dan Queensland sampai kepulauan Society (Pasifik Selatan), (5) Anguilla bicolor pacifica Schmidt, 1928; ditemukan di Samudera Pasifik (Indo-Pasifik Barat) dari selatan China, Filipina, pulau-pulau di Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Papua), sampai Papua Nugini, (6) Anguilla bicolor bicolor McClelland, 1844; ditemukan di Samudra Hindia dari pantai timur Afrika sampai barat laut Australia, di Indonesia ditemukan di barat Sumatra dan selatan Jawa, dan (7) Anguilla marmorata Quoy and Gaimard, 1824; tersebar luas di wilayah tropis Indo-Pacific Barat, dari Afrika Selatan sampai Kepulauan Society.

Ikan sidat, mempunyai sirip dada (pectoral fin), yang membedakannya dengan belut. Foto : bqqo.com
Ikan sidat, mempunyai sirip dada (pectoral fin), yang membedakannya dengan belut. Foto : bqqo.com
Di antara jenis-jenis sidat tersebut diatas, ada tiga jenis yang mengharumkan Indonesia, karena penyebutan namanya dalam bahasa Inggris mencantumkan Indonesia, yaitu Anguilla bicolor (Indonesian shortfin eel), Anguilla celebesensis (Indonesian mottled eel) dan Anguilla malgumora (Indonesian longfinned eel).

 Anguilla bicolor

Spesies sidat A. bicolor memiliki distribusi yang luas, termasuk di Indonesia. Dibagi menjadi dua sub-populasi yaitu subspesies Anguilla bicolor bicolor (McLelland, 1844) yang ditemukan di Samudra Hindia dari pantai timur Afrika sampai barat laut Australia, termasuk Indonesia (Pulau Sumatera bagian barat sampai Pulau Jawa bagian selatan), dan subspesies Anguilla bicolor pacifica (Schmidt, 1928), ditemukan di Indo-Pasifik Barat dari selatan China, Filipina dan pulau-pulau di Indonesia dari Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Sidat Samudera Hindia Anguilla bicolor bicolor McClelland, 1844 (Indonesian shortfin eel). Gambar : FAO
Sidat Samudera Hindia Anguilla bicolor bicolor McClelland, 1844 (Indonesian shortfin eel). Gambar : FAO
A. bicolor berwarna gelap coklat kebiruan pada bagian atas (punggung), sedangkan pada bagian perut dari rahang sampai ke anus lebih terang. Sirip punggungnya berjari lunak dengan jumlah 240-250 dan pada sirip duburnya 200-220. Spesies ini biasanya memiliki antara 106-115 tulang vertebrae. Selama tahapan pertumbuhannya sidat memakan ikan kecil, krustasea dan moluska. Sub populasi A. bicolor Samudera Hindia dapat tumbuh hingga 1,2 m dan masa hidupnya sampai lebih dari 20 tahun.

Dari sebuah studi yang dilakukan di seluruh kepulauan Indonesia, dua sub-populasi ini ditemukan berbagi banyak kesamaan morfologi, tetapi perbedaan yang signifikan adalah dalam distribusinya, baik pada skala lokal maupun nasional. Hanya sedikit informasi kuantitatif yang tersedia tentang status populasi A. bicolor. Spesies ini tersebar luas di Samudera Hindia dan Pasifik, tetapi tidak berarti disetiap daerah di wilayah tersebut terdapat sidat.

Mati Setelah Memijah

Sidat menghabiskan sebagian besar hidupnya di muara sungai (air payau), dan air tawar, (sungai, dan genangan air lainnya seperti danau), cenderung lebih memilih habitat berawa, tetapi juga dapat ditemukan di perairan berbatu dan di genangan air yang lebih dalam. Selama hidupnya di air tawar adalah untuk menunggu kematangan, kemudian setelah dewasa bermigrasi ke laut untuk bertelur. Ada pendapat bahwa sidat betinanya sebagian besar hidupnya di air tawar dan jantannya di perairan payau atau muara sungai.

Siklus hidup ikan sidat. Gambar : FAO
Siklus hidup ikan sidat. Gambar : FAO
A. bicolor diperkirakan memiliki tiga spawning ground potensial, dua di antaranya adalah di Samudera Hindia (Utara-Timur Madagaskar dan Selatan-Barat Sumatera), dengan spekulasi satu tempat lainnya adalah di Pasifik. Subpopulasi A. bicolor Samudera Hindia yang ada di Jawa dan Sumatera diperkirakan bertelur di lepas pantai barat daya Sumatera (Palung Mentawai). Telur yang dihasilkan sekitar 1,5-3,0 juta butir. Jantan membuahi telur. Setelah pemijahan, sidat dewasa mati.

Telur yang telah dibuahi menetas di permukaan dan menjadi larva berbentuk daun, melayang hanyut di arus laut menuju pantai. Mereka memiliki gigi, tetapi tidak jelas untuk tujuan apa, mungkin untuk menyimpan kalsium guna pertumbuhan tulang. Kulitnya untuk menyerap nutrisi, dan peneliti belum menemukan makanan pada larva. Setelah larva mencapai pantai, transformasi yang luar biasa terjadi, mereka menjadi ramping dan transparan, yang dikenal sebagai glass eels.

Glass eels segera berubah menjadi abu-abu-coklat, dan dalam bentuk ini mereka dikenal sebagai elver. Mereka bermigrasi ke hulu, sering dalam gerombolan dan biasanya pada malam hari. Elver muda bisa memanjat air terjun, tapi kehilangan keterampilan ini saat mereka tumbuh.

 Elver menjadi dewasa, dengan kepala besar dan badan gemuk. Setelah bertahun-tahun di air tawar, sidat bermigrasi kembali ke air mengalir menuju ke laut. Ketika mereka mencapai ukuran yang mampu berbiak, perut sidat bagian bawah yang berwarna abu-abu kekuningan berubah menjadi abu-abu putih, perubahan bentuk kepala serta sirip punggung dan sirip dada menjadi lebih gelap. Ketika migrasi, jantan rata-rata berumur 14 tahun (38-58 cm) dan betina 22 tahun (50-100 cm). Akhirnya sampai di spawning ground mereka memijah, kemudian jantan dan betina mati setelah pemijahan. Karena migrasinya dari air tawar ke samudera untuk bertelur, maka sidat disebut sebagai ikan katadrom (catatan : bila sebaliknya disebut anadrom).

Selama berabad-abad, larva sidat dianggap sebagai spesies lain, ditemukan di laut dan sangat berbeda dari sidat dewasa, diberi nama Leptocephalus brevirostris. Baru pada tahun 1896, ahli zoologi dari Italia Giovanni Grassi melaporkan bahwa Leptocephalus ternyata adalah larva sidat, dan oleh karena itu larva sidat sering disebut leptocephali (“kepala datar”, yaitu larva dari sidat yang transparan).

Dalam survei di Sumatera pada tahun 2003, leptocephali yang dikumpulkan di barat Sumatera, dari mikrostruktur otolith larva ini mengungkapkan bahwa kisaran ukuran telah mencapai antara 44,1-55,5 mm dan umur 114-158 hari. Perjalanan larva spesies ini untuk mencapai pantai sangat dipengaruhi oleh Arus Equatorial Selatan, Arus Kontra Equatorial Selatan dan dan Arus Jawa Selatan.

Ancaman

Produksi benih sidat belum bisa dilakukan di penangkaran, sehingga usaha pembesarannya memerlukan penangkapan glass eels dari alam. Oleh karena itu, berbagai tahap kehidupan mulai dari glass eels hingga dewasa dari semua spesies Anguilla, ditangkap dan diperdagangkan secara global untuk keperluan budidaya dan konsumsi, dan permintaan saat ini sebagian besar didorong oleh pasar Asia Timur, khususnya Jepang dan Cina daratan. Pola mengenai eksploitasi sudah jelas, ketika salah satu spesies atau populasi Anguilla mengalami over-eksploitasi, maka industri beralih ke spesies yang lain untuk memenuhi permintaan.

Nelayan menunggu glass eel di sungai Yoshino-Jepang. Agar glass ell tertarik digunakan lampu yang bersinar terang. Ketika glass eel terkumpul dan dekat, nelayan menangkapnya dengan scoop. Foto : thechive.com
Nelayan menunggu glass eel di sungai Yoshino-Jepang. Agar glass ell tertarik digunakan lampu yang bersinar terang. Ketika glass eel terkumpul dan dekat, nelayan menangkapnya dengan scoop. Foto : thechive.com
Spesies sidat yang secara tradisional dan global telah digunakan untuk budidaya dan konsumsi adalah A. japonica (sidat Jepang) dan A. Anguilla (Sidat Eropa). Karena penurunan kelimpahan dan ketersediaan dari kedua spesies tersebut, diyakini bahwa A. bicolor adalah alternatif berikutnya, sehingga permintaan akan spesies ini meningkat. Meskipun hanya sedikit data yang tersedia untuk memperkirakan perubahan populasi spesies ini, jelas bahwa jumlah glass eels yang diekspor dengan cepat meningkat untuk memenuhi permintaan. Oleh karena itu, meningkatnya eksploitasi diperkirakan akan terus terjadi.

Di Indonesia, akibat meningkatnya ekspor glass eels maka telah dilakukan pelarangan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/2009. Namun ekspor illegal benih sidat masih marak karena tidak adanya ketegasan dalam penegakan peraturan yang berlaku. Disisi lain usaha budidaya (pembesaran) sidat di dalam negeri sulit berkembang dan kurang diminati oleh masyarakat. Alasannya adalah waktu pemeliharaan panjang, teknologi belum sepenuhnya dikuasai, dan resikonya ‘dipandang’ tinggi.

Meningkatnya eksploitasi spesies ini cenderung menimbulkan ancaman signifikan terhadap populasi pada skala global, dan spesies ini akan cepat dapat memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai populasi yang “terancam”.

Sementara peningkatan eksploitasi menjadi perhatian khusus, diperlukan pula perhatian terhadap efek kumulatif dan sinergis dari beberapa ancaman pada beberapa fase dalam siklus hidup A. bicolor. Sampai saat ini, beberapa studi telah menemukan ancaman yang dihadapi spesies ini. A. bicolor kemungkinan akan terkena dampak ancaman yang umum bagi banyak spesies anguillid (seperti perubahan iklim, perubahan arus laut, hambatan migrasi, kematian pada turbin pembangkit listrik tenaga air, polusi, eksploitasi, pengurangan habitat, dan penyakit). Individu dewasa yang bermigrasi kembali ke laut untuk pemijahan, adalah fase yang paling terancam dalam siklus hidupnya karena mereka rentan terhadap penangkapan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pengelolaan populasi spesies ini menjadi sangat penting.

Tidak adanya upaya nyata konservasi di setiap wilayah terhadap spesies sidat tropis, sebagian adalah karena kurangnya pengetahuan dan data tentang ancaman yang dihadapi oleh spesies ini. Langkah-langkah kedepan untuk melestarikan spesies ini harus memperhatikan informasi yang dapat dipercaya tentang distribusi, perkiraan populasi, perilaku, dan membangun pemantauan jangka panjang di seluruh wilayah. (Dari berbagai sumber).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun