Ikan sidat memiliki siklus hidup yang luar biasa, yang dimulai dan berakhir di laut. Dapat dikatakan sebagai siklus hidup yang “tragis”, setelah dewasa meninggalkan perairan air tawar, berjuang mengarungi lautan menuju spawning ground (tempat bertelur) di tengah samudera, kemudian memijah, dan mati.
Ikan Sidat (dari genus Anguilla) telah sekian lama menjadi misteri bagi manusia, dan meskipun telah banyak dilakukan penelitian intensif, masih banyak aspek biologinya yang tetap menjadi misteri hingga kini.
Ada 16 spesies dan 3 subspesies dari sidat air tawar di dunia. Di Indonesia, paling tidak dikenal ada tujuh jenis (5 spesies dan 2 sub spesies) ikan sidat yaitu : (1) Anguilla celebesensis Kaup, 1856; ditemukan di Philipina dan Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), (2) Anguilla malgumora Schlegel in Kaup, 1856; hanya ditemukan di pulau Kalimantan, sehingga juga dinamakan Anguilla borneensis, (3) Anguilla interioris Whitley, 1938, hanya ditemukan di bagian utara timur pulau Papua, (4) Anguilla obscura Günther, 1871, ditemukan dari barat Papua dan Queensland sampai kepulauan Society (Pasifik Selatan), (5) Anguilla bicolor pacifica Schmidt, 1928; ditemukan di Samudera Pasifik (Indo-Pasifik Barat) dari selatan China, Filipina, pulau-pulau di Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Papua), sampai Papua Nugini, (6) Anguilla bicolor bicolor McClelland, 1844; ditemukan di Samudra Hindia dari pantai timur Afrika sampai barat laut Australia, di Indonesia ditemukan di barat Sumatra dan selatan Jawa, dan (7) Anguilla marmorata Quoy and Gaimard, 1824; tersebar luas di wilayah tropis Indo-Pacific Barat, dari Afrika Selatan sampai Kepulauan Society.
![Ikan sidat, mempunyai sirip dada (pectoral fin), yang membedakannya dengan belut. Foto : bqqo.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/27/002-bqqo-com-56581ac82623bda905fce160.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Anguilla bicolor
Spesies sidat A. bicolor memiliki distribusi yang luas, termasuk di Indonesia. Dibagi menjadi dua sub-populasi yaitu subspesies Anguilla bicolor bicolor (McLelland, 1844) yang ditemukan di Samudra Hindia dari pantai timur Afrika sampai barat laut Australia, termasuk Indonesia (Pulau Sumatera bagian barat sampai Pulau Jawa bagian selatan), dan subspesies Anguilla bicolor pacifica (Schmidt, 1928), ditemukan di Indo-Pasifik Barat dari selatan China, Filipina dan pulau-pulau di Indonesia dari Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
![Sidat Samudera Hindia Anguilla bicolor bicolor McClelland, 1844 (Indonesian shortfin eel). Gambar : FAO](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/27/003-fao-56581c341fafbdb2055e2627.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Dari sebuah studi yang dilakukan di seluruh kepulauan Indonesia, dua sub-populasi ini ditemukan berbagi banyak kesamaan morfologi, tetapi perbedaan yang signifikan adalah dalam distribusinya, baik pada skala lokal maupun nasional. Hanya sedikit informasi kuantitatif yang tersedia tentang status populasi A. bicolor. Spesies ini tersebar luas di Samudera Hindia dan Pasifik, tetapi tidak berarti disetiap daerah di wilayah tersebut terdapat sidat.
Mati Setelah Memijah
Sidat menghabiskan sebagian besar hidupnya di muara sungai (air payau), dan air tawar, (sungai, dan genangan air lainnya seperti danau), cenderung lebih memilih habitat berawa, tetapi juga dapat ditemukan di perairan berbatu dan di genangan air yang lebih dalam. Selama hidupnya di air tawar adalah untuk menunggu kematangan, kemudian setelah dewasa bermigrasi ke laut untuk bertelur. Ada pendapat bahwa sidat betinanya sebagian besar hidupnya di air tawar dan jantannya di perairan payau atau muara sungai.
![Siklus hidup ikan sidat. Gambar : FAO](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/27/004-siklus-hidup-56581d5df47e61e7065e2603.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Telur yang telah dibuahi menetas di permukaan dan menjadi larva berbentuk daun, melayang hanyut di arus laut menuju pantai. Mereka memiliki gigi, tetapi tidak jelas untuk tujuan apa, mungkin untuk menyimpan kalsium guna pertumbuhan tulang. Kulitnya untuk menyerap nutrisi, dan peneliti belum menemukan makanan pada larva. Setelah larva mencapai pantai, transformasi yang luar biasa terjadi, mereka menjadi ramping dan transparan, yang dikenal sebagai glass eels.
Glass eels segera berubah menjadi abu-abu-coklat, dan dalam bentuk ini mereka dikenal sebagai elver. Mereka bermigrasi ke hulu, sering dalam gerombolan dan biasanya pada malam hari. Elver muda bisa memanjat air terjun, tapi kehilangan keterampilan ini saat mereka tumbuh.
Elver menjadi dewasa, dengan kepala besar dan badan gemuk. Setelah bertahun-tahun di air tawar, sidat bermigrasi kembali ke air mengalir menuju ke laut. Ketika mereka mencapai ukuran yang mampu berbiak, perut sidat bagian bawah yang berwarna abu-abu kekuningan berubah menjadi abu-abu putih, perubahan bentuk kepala serta sirip punggung dan sirip dada menjadi lebih gelap. Ketika migrasi, jantan rata-rata berumur 14 tahun (38-58 cm) dan betina 22 tahun (50-100 cm). Akhirnya sampai di spawning ground mereka memijah, kemudian jantan dan betina mati setelah pemijahan. Karena migrasinya dari air tawar ke samudera untuk bertelur, maka sidat disebut sebagai ikan katadrom (catatan : bila sebaliknya disebut anadrom).
Selama berabad-abad, larva sidat dianggap sebagai spesies lain, ditemukan di laut dan sangat berbeda dari sidat dewasa, diberi nama Leptocephalus brevirostris. Baru pada tahun 1896, ahli zoologi dari Italia Giovanni Grassi melaporkan bahwa Leptocephalus ternyata adalah larva sidat, dan oleh karena itu larva sidat sering disebut leptocephali (“kepala datar”, yaitu larva dari sidat yang transparan).
Dalam survei di Sumatera pada tahun 2003, leptocephali yang dikumpulkan di barat Sumatera, dari mikrostruktur otolith larva ini mengungkapkan bahwa kisaran ukuran telah mencapai antara 44,1-55,5 mm dan umur 114-158 hari. Perjalanan larva spesies ini untuk mencapai pantai sangat dipengaruhi oleh Arus Equatorial Selatan, Arus Kontra Equatorial Selatan dan dan Arus Jawa Selatan.
Ancaman
Produksi benih sidat belum bisa dilakukan di penangkaran, sehingga usaha pembesarannya memerlukan penangkapan glass eels dari alam. Oleh karena itu, berbagai tahap kehidupan mulai dari glass eels hingga dewasa dari semua spesies Anguilla, ditangkap dan diperdagangkan secara global untuk keperluan budidaya dan konsumsi, dan permintaan saat ini sebagian besar didorong oleh pasar Asia Timur, khususnya Jepang dan Cina daratan. Pola mengenai eksploitasi sudah jelas, ketika salah satu spesies atau populasi Anguilla mengalami over-eksploitasi, maka industri beralih ke spesies yang lain untuk memenuhi permintaan.
![Nelayan menunggu glass eel di sungai Yoshino-Jepang. Agar glass ell tertarik digunakan lampu yang bersinar terang. Ketika glass eel terkumpul dan dekat, nelayan menangkapnya dengan scoop. Foto : thechive.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/27/005-eel-fishing-japan-89200-990x742-5658201e1eafbdc50551e68b.jpeg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Di Indonesia, akibat meningkatnya ekspor glass eels maka telah dilakukan pelarangan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/2009. Namun ekspor illegal benih sidat masih marak karena tidak adanya ketegasan dalam penegakan peraturan yang berlaku. Disisi lain usaha budidaya (pembesaran) sidat di dalam negeri sulit berkembang dan kurang diminati oleh masyarakat. Alasannya adalah waktu pemeliharaan panjang, teknologi belum sepenuhnya dikuasai, dan resikonya ‘dipandang’ tinggi.
Meningkatnya eksploitasi spesies ini cenderung menimbulkan ancaman signifikan terhadap populasi pada skala global, dan spesies ini akan cepat dapat memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai populasi yang “terancam”.
Sementara peningkatan eksploitasi menjadi perhatian khusus, diperlukan pula perhatian terhadap efek kumulatif dan sinergis dari beberapa ancaman pada beberapa fase dalam siklus hidup A. bicolor. Sampai saat ini, beberapa studi telah menemukan ancaman yang dihadapi spesies ini. A. bicolor kemungkinan akan terkena dampak ancaman yang umum bagi banyak spesies anguillid (seperti perubahan iklim, perubahan arus laut, hambatan migrasi, kematian pada turbin pembangkit listrik tenaga air, polusi, eksploitasi, pengurangan habitat, dan penyakit). Individu dewasa yang bermigrasi kembali ke laut untuk pemijahan, adalah fase yang paling terancam dalam siklus hidupnya karena mereka rentan terhadap penangkapan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pengelolaan populasi spesies ini menjadi sangat penting.
Tidak adanya upaya nyata konservasi di setiap wilayah terhadap spesies sidat tropis, sebagian adalah karena kurangnya pengetahuan dan data tentang ancaman yang dihadapi oleh spesies ini. Langkah-langkah kedepan untuk melestarikan spesies ini harus memperhatikan informasi yang dapat dipercaya tentang distribusi, perkiraan populasi, perilaku, dan membangun pemantauan jangka panjang di seluruh wilayah. (Dari berbagai sumber).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI