[caption caption="PHOTOGRAPH BY YUMA SUN, JACOB LOPEZ/AP"][/caption]
Pacu, ikan bergigi seperti gigi manusia
Spesies ikan asing invasif dapat didefinisikan sebagai spesies baru yang diintroduksikan ke suatu lingkungan perairan (baik secara sengaja maupun tidak), sehingga menjadi pesaing spesies asli dalam hal makanan yang tersedia, habitat, dan sumber daya lainnya, atau memunahkan mereka dengan menyebarkan parasit, penyakit, atau menjadi predator.
Baru-baru ini (Juni 2015), seorang pemancing bernama Ron Rossi telah menangkap seekor ikan yang aneh dan menakutkan di Danau Swedes di selatan New Jersey, Amerika Serikat. Semula dia mengira ikan ini adalah ikan piranha. Tetapi ternyata bukan, ikan ini adalah ikan “Pacu”.
Pacu (pengucapannya dalam bahasa Portugis:[pa’ku]), adalah nama umum yang digunakan dalam perdagangan ikan hias untuk merujuk ke beberapa spesies ikan air tawar omnivora dari Amerika Selatan. Aslinya secara alami memang menghuni perairan sungai Amazon di Brasil dan sistem sungai lainnya di Amerika Selatan, dan memang masih merupakan kerabat dari ikan piranha. Pacu sebenarnya adalah ikan omnivora dengan makanan utamanya berupa tumbuh-tumbuhan, sehingga tidak berbahaya bagi manusia meskipun masih kerabat dengan ikan piranha. Tetapi, apabila dilepas ke lingkungan perairan yang baru, dia berpotensi menjadi pesaing spesies ikan asli, menyebarkan parasit atau penyakit, dan kadang-kadang mereka dapat menjadi predator atau pemangsa bagi ikan lain (ikan asli).
Dalam klasifikasi ilmiah, ikan pacu bersama dengan piranha termasuk kedalam ordo Characiformes, dan terdiri dari beberapa genera antara lain : Colossoma, Metynnis, Mylesinus (Mylopus), Mylossoma, Ossubtus, Piaractus, Tometes, dan Utiaritichthys. Pacu dan piranha memiliki gigi yang berbeda, perbedaan utamanya adalah gigi piranha sangat tajam, sedangkan pacu memiliki gigi lebih persegi dan tegak, seperti gigi manusia. Selain itu, pertumbuhan maksimum pacu jauh lebih besar dari pada piranha, di alam liar dapat mencapai panjang 0,9 m dan berat 25 kg.
Pemakan daging manusia ?
Ikan ini memiliki gigi yang aneh, mirip dengan gigi manusia. Gigi yang aneh itu digunakan untuk menghancurkan makanannya berupa biji-bijian atau kacang-kacangan yang jatuh ke aliran sungai Amazon. Karena penampilannya yang demikian itu, sehingga timbul mitos bahwa ikan ini menyukai daging manusia, bahkan dilaporkan telah memakan testis manusia. Di Papua Nugini, ikan ini dijuluki sebagai ‘Ball Cutter’ dan dilaporkan telah menyebabkan kematian dua orang pria akibat kehilangan banyak darah setelah kedua orang tersebut testisnya dimakan.
Kemungkinan kejadian tersebut terjadi karena pacu mengira “kacang” manusia merupakan salah satu pakan alaminya. Namun para ilmuwan di Denmark menyatakan bahwa laporan ikan pacu memakan alat kelamin adalah 'berlebihan'. Pernyataan itu dikeluarkan setelah ditemukannya seekor spesimen pacu oleh seorang pemancing di Denmark pada tahun 2013. Kejadian ini kemudian menyebabkan laporan media yang keliru, dengan memperingatkan bahwa ikan tersebut bisa menyerang testis laki-laki. Ternyata laporan itu didasarkan pada lelucon yang tidak dimaksudkan untuk dianggap serius.
Ikan asli Amazon ini sekarang sudah ditemukan di perairan umum di Amerika Serikat. Seekor pacu ukuran 10 inchi tertangkap di utara New Jersey pada September 2013, diikuti oleh ikan 17 inchi di negara bagian Washington, spesimen 20 inchi di selatan Illinois dua bulan kemudian, dan pacu 14 inchi di Michigan Danau St Clair musim panas lalu. Pejabat dari Lembaga yang menangani Perlindungan Lingkungan menyatakan : "Ikan ini banyak dipelihara sebagai ikan peliharaan (hias). Seringkali, karena sebab tertentu ikan ini dibuang ke danau oleh pemiliknya. Jenis ikan ini tidak bertahan dalam air dingin, namun demikian kami menyarankan agar masyarakat tidak membuang dengan melepaskannya ke perairan liar, tetapi sebaiknya dimusnahkan." Ternyata, tidak hanya di Amerika Serikat, ikan ini juga telah menyebar di berbagai belahan dunia.
Popularitasnya telah membuat mereka menyebar jauh dari tanah airnya di Brasil, antara lain ditemukan di Paris, Skandinavia dan Oseania. Juga ditemukan dalam sistem sungai di Papua New Guinea, di mana diyakini ikan ini telah diperkenalkan untuk membantu industri perikanan lokal. Pacu diintroduksi pada tahun 1994 di Sungai Sepik, dan pada tahun 1997 di sungai Ramu sebagai sumber pangan, karena penangkapan yang berlebihan dari spesies asli. Tetapi masyarakat setempat menyalahkan introduksi ikan ini karena menjadi pesaing spesies asli, termasuk juvenile buaya, serta laporan terjadinya beberapa serangan terhadap manusia.
Beberapa manfaat ikan pacu bagi manusia antara lain untuk ikan hias, olah raga memancing dan sebagai bahan pangan. Pacu biasanya dijual sebagai "Vegetarian Piranha" untuk pemilik akuarium. Dengan peralatan yang tepat dan komitmen, pacu telah dikenal dapat menjadi hewan peliharaan yang responsif. Namun, timbul pertanyaan apakah ikan ini adalah pilihan yang baik untuk tipikal hobi. Mereka memang tidak karnivora agresif seperti piranha, tetapi sistem rahangnya yang mampu menghancurkan, terutama digunakan untuk makan biji-bijian dan kacang-kacangan, bisa berbahaya. Seorang balita membutuhkan operasi setelah pacu (yang salah dilaporkan sebagai piranha) menggigit jarinya di Edinburgh, Skotlandia.
Karena kemampuan tumbuh menjadi besar, mengakibatkan ketidak mampuan penggemar untuk menyediakan akuarium besar. Penggemar yang kewalahan diduga secara ilegal melepaskan pacu peliharaannya ke saluran air atau perairan umum. Sebagai pendatang baru pada suatu ekosistem, ikan pacu dapat dapat menjadi pesaing spesies asli untuk makanan yang tersedia, habitat, dan sumber daya lainnya, atau memunahkan mereka dengan menyebarkan parasit atau penyakit. Kebanyakan lembaga perlindungan sumber daya satwa liar melarang melepas ikan hias, termasuk pacu, ke alam liar.
Sungai-sungai di Amerika Selatan termasuk Amazon telah berkembang menjadi tujuan populer untuk rekreasi pemancingan ikan pacu. Game Fishing International Organization telah mensponsori kursus memancing untuk nelayan Brasil asli, yang terbiasa sebagai nelayan subsisten, agar mereka dapat bekerja sebagai pemandu wisatawan untuk memancing. Selain itu ikan pacu juga ditangkap sebagai bahan pangan.
Akibatnya, saat ini Amazon sudah dalam kategori overfishing. Budidaya diharapkan dapat meredakan krisis overfishing, serta meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan pasokan ikan. Berbagai spesies pacu semakin sering digunakan untuk budidaya perikanan di perairan tropis di seluruh dunia. Pacu dianggap ideal karena toleransinya terhadap kandungan oksigen yang rendah di kolam pemeliharaan. Mereka juga tidak memerlukan banyak protein mahal dalam dietnya, dan dapat dipanen sepanjang tahun.
Namun perlu ditekankan sekali lagi, bahwa apabila akan mengintroduksi ikan pacu ke lingkungan perairan yang baru, yang harus benar-benar diperhatikan adalah pengaruhnya terhadap keberadaan spesies ikan asli di perairan tersebut.
Bagaimana di Indonesia ?
Saat ini, keberadaan ikan dari ordo Characiformes yang telah berkembang pesat di Indonesia adalah spesies dari genera Colossoma, yang dikenal oleh masyarakat secara luas sebagai ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum Cuvier). Ikan bawal air tawar ini di introduksi ke Indonesia pada tahun 1986, dan telah dapat menggairahkan produksi budidaya ikan air tawar. Secara finansial, usaha budidaya ikan bawal air tawar cukup menggiurkan, karena proses produksinya dapat berlangsung cukup singkat, pemijahan (dijual sebagai larva) sekitar 2-3 minggu, pembenihan (dijual sebagai benih) sekitar 1-2 bulan, dan pembesaran (dijual ukuran konsumsi) sekitar 3-5 bulan. Pertumbuhan yang cepat tersebut telah mendorong para pembudidaya memacu produksi ikan ini, yang menyebabkan perkembangan budidayanya sedemikian cepat di banyak tempat, bahkan cenderung tidak terkendali.
Namun perlu dicatat, bahwa ikan ini termasuk ikan yang rakus, sehingga dapat digolongkan sebagai jenis ikan asing invasif. Beragam pakan dapat dimanfaatkan oleh ikan ini karena memiliki gigi yang kuat. Dengan kondisi seperti itu, ikan ini cenderung bersifat predator terhadap ikan lain. Lagi pula kemungkinan ikan ini dapat cepat berkembang biak di perairan Indonesia karena adanya kemiripan dengan habitat aslinya di Amazon, sehingga menimbulkan ancaman menjadi pesaing bagi ikan asli. Hal ini yang kemudian memunculkan berbagai rekomendasi/pendapat dari para penyelamat lingkungan (conservationist) untuk melarang budidaya ikan ini di Indonesia.
Pemeliharaan dan perbanyakan ikan asing invasif seharusnya dilakukan dalam unit tertutup agar tidak lepas ke alam. Demikian pula introduksi ikan asing invasif untuk kepentingan hobby dan ikan hias, sebenarnya tidak menimbulkan masalah apabila dilakukan pada lingkungan tertutup. Tetapi kenyataan di lapangan yang terjadi tidak demikian. Ikan hias karnivora lepas ke perairan umum, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.
Tentu, perlu upaya bijak untuk dapat memanfaatkan kelebihan ikan ini sebagai sumber pangan dan pendapatan bagi para pembudidaya ikan, dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan asli dan habitat perairan kita. Produksi benih hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pada segmen pembesaran, sehingga tidak ada lagi benih yang dibiarkan hidup di kolam yang akhirnya bisa lepas ke perairan umum tanpa kendali. Proses pendederan di kolam juga perlu diperhatikan agar tidak ada benih ikan ini yang tercampur dengan ikan lain, misalnya nila atau mas, yang kemudian ikut terbawa ke keramba jaring apung, yang akibatnya dapat merusak jaring dari dalam dan lepas ke perairan umum. Perkembangan kemampuan reproduksi secara alami di perairan bebas juga perlu diteliti secara akurat untuk memastikan kemungkinan tingkat perkembangan ikan ini di perairan Indonesia.
Hal penting yang terkait dengan ikan jenis asing invasif adalah perlunya peningkatan pengawasan dan pengendalian secara terpadu, sehingga penyebaran dan dampak yang ditimbulkan dapat ditekan serendah-rendahnya. Jenis ikan asing invasif tidak boleh ditebar (restocking) ke perairan umum. Selain itu juga harus dilakukan penangkapan dan pemusnahan ikan spesies asing invasif yang terlanjur lepas di perairan umum.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD) melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994, berkewajiban untuk melakukan usaha menghindari introduksi spesies asing invasif (SAI) melalui kegiatan pengendalian dan pemusnahan SAI yang ternyata merusak ekosistem, habitat hidup, dan keanekaragaman spesies asli. -- (Disusun dari berbagai sumber) --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H