Itulah salah satu legacy Raja Ngayogjokarto Hadiningrat yang sampai sekarang masih memiliki fungsi sebagai irigasi dan di beberapa tempat menjadi pusat keramaian dan usaha masyarakat di sepanjang Selokan Mataram yang panjangnya sekitar 31,2 km.
Tidak terasa sepeda ini aku kayuh sampai sekitar 10 km. Badan yang sudah menua ini menyuruh pemiliknya untuk beristirahat di warung Dawet yang terletak di pingir Jl. Solo sekitar 1 km dari Candi Prambanan.
Sambil menikmati es dawet dan cemilan balok (ubi kayu yang dibuat kotak-kotak kecil dan digoreng sampe kering), aku pandang Selokan Mataram telah menembus jalan besar yang menghubungkan Prov. DIY dan Jawa Tengah. Aku putuskan untuk tidak meneruskan menyusuri Selokan, karena adzan dhuhur juga sudah berkumandang. Ini artinya aku harus pulang.
"Dawet setunggal gelas kalian beton kalih, pinten pak?" Tanyaku sambil mengambil dompet di tas merah.
"Gangsal ewu mas," jawab penjual dawet.
Jogja memang istimewa dan untuk bahagia itu sederhana, "ngonthel di hari libur Gaes!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H