Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Parman (1)

4 Januari 2022   09:35 Diperbarui: 12 Januari 2022   19:14 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Parman. Lengkapnya Parman Hidayat. Nama belangku diambil dari nama bapakku. Dia saat mudanya merupakan pemain sepakbola hebat se kecamatan di kampungku. Bapaku ini bisa menjadi karyawan salah satu Bank BUMN ya karena menjadi pesepakbola yang handal itu.

"Mbiyen nek bapak main, penontone musti kebak le," kata bapakku dengan bangga menceritakan pada anak lanangnya waktu itu.

Ibuku tidak bekerja dan sebelum dinikahi bapak sebenarnya punya keinginan kuat untuk melanjutkan di Madrasah Mualimat Yogyakarta, tempat anakku bersekolah. Tapi karena beberapa alasan, akhirnya Ia cita-citanya tidak tergapai.

"Alhamdulillah, salah satu putuku bisa sekolah di Mualimat," kata ibu.

"Mungkin kalau dulu jadi sekolah di Mualimat, sekarang sudah jadi ustadzah ya mak?" Tanyaku.

"Yowis gak popo, mungkin sudah digariskan oleh Yang Maha Tahu," hiburnya.

Sejak aku sekolah SD, aku hobi sekali main sepakbola. Mungkin ini bakat yang diturunkan oleh bapak. Setiap istirahat selama 15 menit dapat dipastikan bermain bola dengan teman-teman sekelas. Demikian juga setiap sore hari setelah sholat asyar, baik hujan ataupun tidak bisa dipastikan sudah di lapangan Pandawa yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah.

Aku termasuk pemain hebat juga. Kalau di sekolah yang selevel dengan ku bernama Zaenul. Tapi kalau di lapangan Pandawa, agak banyak pemain yang selevel dengan ku. Zaenul itu seringnya menjadi pemain di tim lawanku. Kalau bergabung dengan ku bisa dipastikan lawan bakalan dikasih kosong dan banyak kemasukan gol.

Zaenul itu selain punya hobi main bola, juga suka nonton bioskop. Film kesukaannya adalah film Mandarin dengan bintang film favoritnya Jet Li dan Jeckie Chan. Dia sering nonton karena paman dan kakaknya penjaga bioskop SENA, jadi dia selalu gratis. Aku sering juga diajak masuk ke bioskop secara gratis.

Posisi rumah, kata bapaku, berada di tusuk sate. Entah mitos atau fakta, jika rumah berada di lokasi tusuk sate tidaklah bagus untuk usaha dan sulit jika akan dijual.

Namun demikian, letak rumah itu sangat strategis untuk kemana-mana yang persis berada di pertigaan. Jika ke utara, cuman 50 meter ada bioskop SENA, SD dan SMP ku yang jaraknya 100-200 meter. Jika ke timur tidak jauh ada mesjid dan lapangan bola Pandawa. Dan jika ke barat ketemu jalan raya Purwokerto-Tegal.

Aku sekolah di SDN Kalierang VI yang merupakan SD Impres dan meneruskan ke SMPN I Bumiayu. Kedua sekolah tersebut jika dari rumah melewati bioskop SENA. Aku mengenal Bioskop ya dari si Zaenul pada usia yang sangat dini.

Film Mandarin umumnya berupa film action, lain dengan film Indonesia waktu itu yang laris adalah film yang tidak senonoh. Walaupun tidak nonton, tapi gambarnya terpampang sangat jelas dan dilihat oleh usia berapapun.

SDN Kalierang II letaknya berhadap-hadapan dengan SD-ku. Jika dibandingkan dengan SD-ku, seperti Bumi dan Langit. SDN II ini banyak menorehkan prestasi dan yang paling menonjol adalah Drumband tiap HUT RI selalu tampil memukau dan meraih juara tingkat kecamatan.

Karno, teman sekelasku yang lain juga suka nonton bioskop. Kalau Zaenul suka film Mandarin, Karno suka film India. Dia pengagum Amitabacan dan selalu mendendangkan lagu sambil bergoyang ala India di setiap kesempatan.

Karno ini karena suka film India mungkin menjadikannya lebih cepat dewasa dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Terbukti Dia di usia yang belum 10 tahun sudah naksir Sinta, murid SD sebelah. Sinta ini orang Jawa tapi berkulit putih dan bermata sipit seperti orang China.

Sinta punya adik yang tidak kalah cantik, bernama Santi murid SDN II juga. Suatu saat Karno ngomong sama aku, "Dir, Sinta cantik ya?"

"Iya," jawabku pendek.

"Kamu naksir juga kan?"

"Enggak lah. Tapi kalau adiknya ya oke juga sih. Hahahaha," jawabku sekenanya.

Tahun 1986 aku lulus SD dengan NEM lumayan sehingga bisa masuk SMPN I Bumiayu, sekolah favorit di kecamatan. Walau tidak pernah belajar di malam hari karena kecapean hampir tiap hari saat istirahat sekolah dan sore main bola, namun NEM cukup untuk bersekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Pergaulan anak muda di kampung waktu itu tidak lah baik untuk pertumbuhan seorang pada usia yang sangat labil. Merokok dan minum keras sudah menjadi gaya beberapa anak seusia SMP dan SMA. Bahkan ada anak-anak yang kurang mampu orang tuanya sudah memalak teman-temanya untuk mendapatkan barang-barang itu.

Bapak sangat keras dalam mendidik ku yang waktu itu anak lali-laki satu-satunya, sebelum adik mbontot lahir. Setelah sholat isya di mesjid aku harus pulang kerumah dan diperkenankan nonton TV sebagai hiburan pengganti.

Namun Alhamdulillah, di kampungk ada Mas Ermanu. Dia mahasiswa Teknik Elektro, UGM. Setiap dia pulang kampung saat liburan semester selalu mengajari kami mengaji setelah magrib di mesjid dekat rumah. Selain mengajari kami mengaji, ia selalu bercerita tentang kisah-kisah nabi dengan gaya yang menarik dan lucu. Berkat bimbingannya aku pernah jadi juara azan di sekolah.

Sering juga kami diajak jalan-jalan menyusuri sawah, sungai dan kampung sebelah pada hari minggu. "Kita selain mengaji ayat-ayat Allah di mesjid juga perlu rihlah untuk membaca ayat-ayat kauniyah yang ada di alam semesta," kata lulusan SMA Muhi Jogja ini.

Dari Mas Ermanu inilah saya berkeinginan untuk meneruskan SMA di Jogja. Bapak pun sangat mendukung karena yakin akan lebih baik untuk masa depan jika aku tetap meneruskan sekolah di kampung.

"Bapakmu isyallah sanggup mbiayai koe sekolah neng Jogja. Syukur-syukur iso lanjut nang UGM koyo paklikmu le," jawab bapak waktu aku mengutarakan keinginan sekolah di Jogja.

Jika teringat hal ini, sering aku meneteskan airmata betapa baiknya bapak walau dalam didikannya terasa keras pada anak-anaknya. "Semoga jadi amalan baik bapak di alam sana ya pak. Aamiin YRA," bisikku saat teringat bapak.

Setelah bapak setuju, aku sampaikan berita gembira dan sekaligus konsultasi untuk tindaklanjutnya kepada ke Mas Ermanu. Waktu itu masih awal kelas 3 SMP jadi cukup waktu untuk mendapatkan NEM minimal agar bisa masuk di salah satu SMAN di jogja.

"Ya kamu harus belajar keras. Karena persaingan untuk bisa masuk SMAN di jogja tuh gak gampang," kata tentor Primagama itu.

Di kecamatan belum ada bimbingan belajar. Belajar mandiri dengan kerja keras dan ketekunan itu lah satu-satunya untuk bisa meraih NEM yang tinggi. Waktu main bola pun akhirnya aku kurangi sehingga cukup energi untuk belajar pada malam hari.

Usaha keras dan doa dari kedua orang tuaku berbuah manis. NEM ku masuk 10 besar di sekolah. Berita ini pun kembali aku sampaikan ke Mas Ermanu via telpon karena waktu itu dia ada di Jogja.

"Alhamdulillah," jawaban pertamanya ketika aku kabari berita ini.

"Kira-kira bisa tembus ke SMA Negeri enggak ya mas?"

"Insyallah bisa, cuman mungkin SMA Negeri pada level ke dua. Tapi kalau di SMAN I Purwokerto ini bisa masuk."

"Enggak lah mas. Aku dah mantep di Jogja.

Tibalah waktunya aku harus berangkat ke Jogja untuk mendaftar di SMAN di Jogja. Kedua orang tuaku terlihat berat untuk melepaskan anaknya yang masih relatif belia. Terutama ibu.

"Le, koe sing priatin yo. Neng kono gak ono sedulur," kata ibuku lirih sambil meneteskan air mata.

"Njih, insyallah sama Mas Ermanu aman mak," jawabku.

Aku ke Jogja bersama Mas Erfi, adik Mas Ermanu yang sekolah di SMA Muhi Jogja. Bapak mengantarku sampai terminal Purwokerto. Setelah bus mau berangkat, bapak mengelus-ngelus pundak dan kepalaku berkata, "sing ati-ati yo le."

"Njih, matursembahnuwun pak," jawabku sambil salim dan menyium tangannya dengan takzim.

Aku pandangi bapak dan melambaikan tangan dari kaca bus yang membawaku ke Jogja untuk yang pertama kalinya. Bapak masih belum beranjak dan melihat bus walaupun sudah jauh. Entah apa yang dia pikirkan waktu itu.

Aku bangga dengan kedua orang tua yang mendukung anaknya untuk maju meraih cita-citanya. Semoga ini menjadi amalan baik beliau berdua yang di catat malaikat. Aamiin YRA.

Bersambung......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun