Mohon tunggu...
Leyla Imtichanah
Leyla Imtichanah Mohon Tunggu... Novelis - Penulis, Blogger, Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan dua anak, dan penulis. Sudah menerbitkan kurang lebih 23 novel dan dua buku panduan pernikahan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Balada Ramadan Tanpa Mudik

5 Mei 2020   21:35 Diperbarui: 5 Mei 2020   21:49 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama Nenek. Dok. Pribadi

"Nu jauh lockdown, nu dekeut boro-boro teu aya waktos, jajauheun...."

Pesan singkat dari neneknya anak-anak di grup keluarga, menyentak kami semua. Dalam bahasa Indonesia artinya, "Yang jauh lockdown, yang dekat sama sekali nggak ada waktu, jauh-jauhan." Nenek mengeluhkan ketidakhadiran anak menantu dan cucu-cucunya selama bulan Ramadan ini. 

Saya pun langsung menjawab, seandainya tidak ada larangan mudik, pastilah sudah ke Garut. Setiap tahun kami mudik ke Garut di awal dan akhir bulan Ramadan, berhubung waktu perjalanan dari Bogor ke Garut hanya 5-7 jam  tergantung arus lalu lintasnya.

Apalagi setelah jalan tol Cikampek Elevated sudah bisa dilewati, waktu tempuh semakin pendek. Jadi, selama bulan Ramadan itu kami bisa dua kali mudik ke Garut. 

Pertama untuk menyambut awal Ramadan di minggu pertama, dan kedua untuk berlebaran. Supaya tidak terkena macet, kami berangkat di minggu terakhir Ramadan, 3 hari sebelum lebaran. 

Nah, dengan adanya larangan mudik yang sudah diterapkan sebelum Ramadan, kami jadi sama sekali tidak bisa mudik ke Garut. Inilah momen tersulit Ramadan bagi kami dan nenek-kakek. Nenek dan Kakek tentu sangat merindukan momen sahur dan berbuka puasa bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Terutama cucu-cucunya dari saya, yang selalu ditinggal di Garut saat libur sekolah di bulan Ramadan. 

Sementara itu, anak menantu yang rumahnya  masih di sekitar Garut juga dilanda kesibukan dan memang jarang berkunjung. Biasa kalau rumahnya dekat, justru sulit menyisihkan waktu untuk menengok orangtua. Justru yang rumahnya jauh itu yang sering datang dan menginap. 

Anggapannya karena rumah dekat, jadi gampanglah. Kapan-kapan saja berkunjungnya. Padahal, orangtua sangat menantikan kehadiran anak menantu dan cucu-cucunya. Saya rasa semua orangtua yang anaknya tidak bisa mudik tahun ini, merasakan kesedihan yang sama. Begitu juga anak-anaknya yang ingin mudik tapi khawatir disuruh putar balik oleh polisi. 

Ramadan tahun ini menjadi Ramadan terberat bagi kami karena sama sekali tidak bisa merasakan suasana berpuasa di rumah orangtua dan meminta maaf secara langsung. Tidak bisa memakan masakan Ibu atau neneknya anak-anak yang selalu dirindukan. Anak saya sendiri mengatakan bahwa masakan neneknya lebih enak daripada masakan saya. Apa boleh buat, semua demi kebaikan orangtua juga agar tidak berpotensi tertular virus corona karena mereka termasuk golongan yang rentan akibat sudah lanjut usia. 

Walaupun tetap sulit melewati ujian ini, Ramadan dan Lebaran terasa datar saja tidak seantusias tahun-tahun lalu. Belum lagi menjelang lebaran biasanya saya dan Ibu berbelanja baju dan kebutuhan lebaran bersama-sama. Momen yang sangat dirindukan, karena rasanya senang bisa membelikan baju lebaran untuk orangtua. 

Kali ini barangkali hanya bisa mengirim "mentahnya" saja dan Ibu membeli sendiri. Atau malah tidak bisa membeli baju lebaran sama sekali karena sebentar lagi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diberlakukan di Jawa Barat.

Sekarang sudah tahu bagaimana rasanya tidak bisa bertemu dengan orangtua saat Ramadan dan Lebaran. Apalagi kalau orangtua sudah pergi untuk selama-lamanya. 

Makanya mumpung masih hidup, kalau kita tinggal dekat dengan orangtua, jangan sampai melewatkan kesempatan untuk sering bertemu dan berbakti kepada orangtua. Sedih rasanya orangtua punya banyak anak, tapi tak satu pun anaknya yang datang menengok. Semoga pandemi virus corona ini segera berakhir, agar kami bisa mudik dan menengok orangtua kembali. 

Sekalipun saat ini tidak bisa mudik, silaturahmi kepada orangtua tetap harus dijaga. Kami pun melakukannya dengan video call dan sering-sering mengirim pesan teks. Memang tak bisa menggantikan kehangatan saat tatap muka, tetapi setidaknya orangtua tetap merasa diingat oleh anak-anaknya. 

Sedih rasanya membaca pesan teks seperti di atas itu, menandakan bahwa orangtua sudah sangat kecewa karena anak-anaknya tidak ada yang datang menengok di bulan Ramadan ini padahal anaknya ada lima. Bagaimana yang anaknya hanya satu dua? Ya Allah, semoga kekecewaan orangtua tidak mengundang murka Allah karena ridho orangtua adalah ridho ilahi.  

Kakek, Nenek, doakan kami, anak menantu dan cucu-cucu bisa mudik dan bersilaturahmi kembali dengan keluarga besar di kampung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun