"Ma, Ismail gak mau sekolah lagi."
"Kenapa gak mau sekolah lagi?"
"Habisnya ada anak yang nakal. Uang Ismail dimintain terus."
"Lho, bilang dong sama Ustazah. Pasti nanti ditegur."
"Ismail takut, soalnya badan anak itu lebih gede. Dia juga suka mukul."
"Siapa nama anak itu? Nanti Mama kasih tahu ke Ustazah."
Setelah Ismail, anak sulung saya yang berusia 7 tahun menyebutkan nama si anak, saya mengirim pesan melalui WA ke Ustazah, wali kelas Ismail. Esoknya, Ismail cerita kalau anak itu sudah ditegur oleh Ustazah dan anak itu tidak lagi meminta uang. Kasusnya ternyata lebih parah. Banyak anak yang kehilangan uang karena dicuri. Saya pun tak habis pikir mengapa anak kelas 1 SD sudah berani melakukannya. Alhamdulillah, cepat ditangani.  Komunikasi antara orangtua dan anak itulah kunci penyelesaian masalah yang kerap menimpa anak di sekolah maupun lingkungan bermain. Kalau membaca berita-berita kekerasan pada anak, sering saya merasa aneh. Kasus terlambat diketahui, apalagi jika si anak sudah mengalami luka  traumatis psikologis maupun fisik. Bahkan ada anak yang meninggal dunia setelah dianiaya teman-temannya.  Ternyata setelah ditelusuri, si anak sudah mengalami kekerasan sejak lama. Mengapa orangtua dan guru terlambat mengetahui? Apakah orangtua kurang berkomunikasi dengan anaknya?Â
Memang, beratnya tuntutan hidup membuat orangtua sibuk bekerja dan sering kali pulang larut malam dan tak sempat berkomunikasi dengan anak-anaknya. Pagi hari saat sarapan pun terburu-buru karena dikejar jam masuk sekolah dan kantor. Bagaimana anak bisa mencurahkan isi hatinya kepada orangtua dan orangtua mengetahui masalah yang sedang menimpa anaknya jika tak sempat berbincang-bincang?Â
Hari libur seperti pada akhir pekan adalah waktu spesial bagi keluarga kami. Kami bisa banyak berbincang dan menggunakan waktu yang berkualitas. Sering kali kami menghabiskan waktu di luar rumah, entah itu jalan-jalan ke mall, taman, kebun binatang, tempat wisata, dan sebagainya. Bukan sekadar penyegaran tapi juga sarana edukasi untuk anak-anak. Sudah pasti kami juga makan di luar, seperti di restoran cepat saji. Bagi saya pribadi, sesekali makan di luar tak masalah. Toh setiap hari sudah makan di rumah. Spesial di akhir pekan, kami makan di restoran.
 Anak-anak senang sekali makan ayam goreng tepung KFC karena enak dan gurih. Semula saya khawatir karena disebut-sebut sebagaijunk food, alias makanan sampah. Akan tetapi, setelah saya mengikuti Kompasiana Nangkring dengan tema Saat Santap, Saatnya Berkumpul bersama Keluarga di KFC Kemang, Jl. Kemang Raya No 14 B, Kemang, Jakarta Selatan, pada tanggal 20 Agustus 2016 lalu, saya pun mendapatkan pencerahan bahwa ayam goreng KFC bukanlahjunk food.Â
Acara tersebut menghadirkan Bapak Hendra Yuniarto, GM Marketing KFC Indonesia dan Ibu Ns. Rahayu Damanik S. Kep, M.S.M, Kompasianer dan Praktisi Bidang Anak. Kedua pembicara menceritakan pengalaman momen makan bersama keluarga sejak mereka kecil. Bapak Hendra mengatakan bahwa keluarga besarnya selalu menyempatkan untuk makan bersama minimal satu minggu sekali.Â