Mohon tunggu...
Leyla Imtichanah
Leyla Imtichanah Mohon Tunggu... Novelis - Penulis, Blogger, Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan dua anak, dan penulis. Sudah menerbitkan kurang lebih 23 novel dan dua buku panduan pernikahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cantik Saat Tetap Bertahan dalam Idealisme Berkarya

21 Mei 2015   20:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terpikir dalam benak kita setiap mendengar kata “Sinetron”? Tontonan tak mendidik, menampilkan gaya hidup hedonis, dan tak bermutu? Sinetron Indonesia sering mendapatkan cibiran sebagai salah satu penyumbang lemahnya moral anak-anak dan remaja, padahal sinetron adalah hiburan murah meriah yang masih banyak ditonton oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Daripada sekadar mencibir, lebih baik ikuti langkah Asri Rakhmawati, salah seorang penulis skenario sinetron yang bertekad untuk lebih banyak lagi menghasilkan skenario sinetron yang mendidik tanpa kehilangan sisi hiburannya.


Asri Rakhmawati, lahir di Jakarta, 3 April 1985, telah menulis puluhan skenario sinetron dan FTV (Film Televisi) yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi swasta Indonesia dengan rating tinggi, sebut saja: “Si Entong,” “Tendangan si Madun 3,” “Sakinah Bersamamu,” dan lain-lain. Lulusan D3 Bisnis Managemen LP3I dan telah dikaruniai dua putra yang masing-masing berusia 7 dan 2 tahun ini, konsisten menulis skenario sinetron dan FTV tanpa mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya Indonesia yang santun dan agamis.


Mulanya, Asri adalah seorang penulis novel dan sampai kini juga masih menulis novel di samping skenario sinetron dan FTV dengan nama pena Achi TM. Ketika seorang temannya menghadiri peluncuran novel terbarunya di Tangerang, sang teman menanyakan apakah ada penulis yang sanggup menulis skenario sinetron “Si Entong.” Asri justru menawarkan diri, meskipun belum berpengalaman. Ia menonton sinetron “Si Entong” yang sudah lebih dulu tayang, membaca contoh skenario, dan dipandu oleh programmer TPI, diberi banyak masukan dan saran soal naskah dan cerita, juga dibantu juga oleh Imam Salimy dan Naijan Lengkong, sehingga kemudian berhasil menulis naskah skenario sinetron tersebut. Tak disangka, hingga kini ia masih kebanjiran permintaan untuk menulis skenario sinetron dan FTV.


Apa yang membuat Asri tertarik menulis skenario sinetron? Sebab, dari situ ia bisa memasukkan nilai-nilai kebaikan yang dipegangnya dan menghasilkan sinetron bermutu serta mendidik tanpa kehilangan sisi hiburannya. Menurutnya, sinetron “Si Entong” banyak mengajarkan kebaikan dan nilai-nilai islam kepada anak-anak dengan cara yang menyenangkan. Bagaimanapun, penonton sinetron menginginkan tayangan yang menghibur, tak sekadar berisi ceramah agama yang membosankan. Di situlah pentingnya kreativitas dari seorang penulis skenario sinetron.


Berapa penghasilan seorang penulis skenario sinetron? Berbeda dengan penghasilan para artis sinetronnya, penulis skenario sinetron dibayar Rp 3-6 juta per tim, yang artinya uang sebesar itu dibagi-bagi lagi untuk para anggota tim penulis skenario. Walaupun tak banyak, Asri tetap bertahan menjadi penulis. Ia merasa, menulis adalah profesi yang membuatnya bersemangat, termasuk menulis skenario sinetron. Sejauh ini, ia bisa mempertahankan idealismenya untuk menulis naskah skenario yang mendidik, karena banyak diminta menulis serial anak atau yang bernuansa islami. Sedangkan untuk FTV, ia mengaku sering kecolongan. Apa yang ditulisnya berbeda prakteknya saat diangkat ke dalam FTV, karena produser atau sutradara sering menginterpretasikannya berbeda.


Bagi seorang Asri Rakhmawati,citra cantik perempuan Indonesia itu adalah saat ia mampu bertahan dalam idealisme berkarya, seberat apa pun tantangan dan rintangannya. Ia menyukai dunia tulis menulis dan bertekad untuk tetap menjadi penulis dengan mempertahankan idealisme yang dipegangnya. Bersama suaminya, yang juga seorang penulis, mereka mengalami jatuh bangun dalam merintis karir di dunia kepenulisan.


“Jatuh bangunnya ya banyak : intrik-intrik sesama penulis skenario pasti terjadi, cuma bagaimana kita menghadapinya dengan bijak aja. Jatuh bangun lainnya, karena saya dan suami penulis skenario full time, dalam arti nggak kerja di sebuah perusahaan. Jadi, kalau ada kerjaan ya kami dapat uang, tapi beberapa kali juga harus nganggur selama nyaris setahun karena nggak ada kerjaan nulis,” kisahnya.


Tantangan terberat adalah untuk tetap mempertahankan idealisme, yaitu menghasilkan karya yang mendidik dan tidak meninggalkan budaya Indonesia yang santun dan agamis. Ia pernah menolak uang Rp 18 juta sebanyak dua kali karena ditawari menulis naskah FILM Horor yang berbau esek-esek. Baginya itu adalah “BIG NO.”


“Meskipun pada saat menolak itu saya sedang butuh uang, tapi ya di situ ujiannya,” kata Asri, yakin. Ia sudah memantapkan hati untuk tidak akan meracuni generasi muda dengan tontonan yang merusak moral. Ia mantap menolak naskah-naskah FTV-FTV Horor yang bertema hantu-hantuan dengan cerita yang tidak jelas. Hal itu pulalah yang menyebabkannya sempat mau berhenti menulis naskah skenario, karena mendapatkan nasihat dari kanan kiri bahwa pekerjaan itu banyak keburukannya. Ia dan suaminya sempat mencoba berbisnis makanan, tapi malah babak belur sampai habis puluhan juta dan terpaksa menggadaikan mobil, motor, emas mahar nikah hanya agar bisa kembali hidup normal setelah mengalami kerugian.


“Akhirnya ketika kami berniat menulis skenario lagi, Allah kasih jalan, bukakan pintu rejeki lagi. Kami dikasih menulis skenario islami, dimulai dari Sakinah Bersama-mu, kemudian suami diberikan amanah menulis sinetron Samson dan Dahlia yang Insya Allah banyak muatan moral dan nasihat islamnya,” tambah Asri. Dari pengalaman itu, ia yakin bahwa menulis sudah menjadi jalan hidupnya. Dengan menulis, ia bisa menyebarkan prinsip-prinsip kebaikan yang dipegangnya. Jika tidak ada penulis yang mau menulis skenario sinetron yang mendidik, bagaimana nasib para penonton anak-anak dan remaja yang direcoki sinetron-sinetron tak bermutu?


Ia pun membuka rumah baca dan kursus pelatihan menulis skenario dengan nama “RUMAH PENA.” Ia tak takut tersaingi oleh anak-anak didiknya kelak, toh rejeki sudah diatur Allah Swt. Rumah Pena didirikan tahun 2009 oleh Asri, almarhum ayahnya, dan juga kakaknya. Mulanya hanya berupa taman bacaan dan kursus murah dengan biaya Rp 50 ribu per tiga bulan. Ternyata, harga murah justru membuat orang tidak berminat mengikuti kursus. Begitu harganya dinaikkan, malah banyak yang ikut. Mungkin calon peserta mengira, jika biaya kursusnya sangat murah, kualitasnya diragukan. Kini, banyak anak-anak Rumah Pena yang berkiprah di dunia penulisan skenario. Asri merasa bahagia manakala ilmunya bisa ditularkan kepada orang lain dan membawa manfaat untuk orang itu. Secara tidak langsung, ia telah membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, yaitu menjadi penulis skenario seperti dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun