Belakangan, karena saya mengurangi konsumsi daging dan lebih banyak mengkonsumsi sayur dan protein nabati. Maka oseng-oseng tempe, oseng-oseng tahu, atau pun oseng-oseng pare bisa pula menjadi isi arem-arem. Rasanya tetap lezat.
Untuk makanan semacam ayam betutu dan ayam woku yang bersisa juga bisa dimanfaatkan untuk arem-arem. Â Memang, karena mengolahnya tanpa merubah bumbu, rasa aslinya tetap ada. Dan, ini adalah justru menyenangkan karena praktis.Â
Bedanya, setelah dibungkus daun menjadi arem-arem, makanan itu menjadi lebih praktis sebagai suguhan teman teh, tapi tetap mengenyangkan. Karena mengenyangkan, arem-arem juga sering menjadi makan bekal sekolah atau ke kantor.Â
Di Jawa, banyak hal memang ditabukan, termasuk membuang makanan. Bahkan kalau ada tersisa sebutir nasi di piring kita, eyang saya atau Mbok Ah, staf domestik di rumah orangtua saya akan mengingatkan Mengko pitike mati atau "nanti ayamnya mati". Juga membuang makanan adalah menyia-nyiakan rezeki.Â
Repotnya, di masa itu, komposisi nasi untuk setiap porsi makanan kami perlu signifikan. Paling tidak nasi akan memenuhi dari piring. Ini tentu tanggung jawab berat bagi anak --anak seusia SD atau SMP. Alhasil, makan habis tak bersisa adalah merupakan tanggung jawab yang lumayan berat di masa kecil.
Pembuang Sisa Makanan akan Mendapat "Hukum Rimba"
Membuang makan memang seharusnya tidak kita lakukan, ini selalu jadi pesan ibu saya (almarhumah), "Lebih baik makan secukupnya, masih ada orang yang lapar yang bisa memanfaatkan makanan yang kalian sia-siakan. Ambil makanan secukupnya. Jangan serakah".
Kecenderungan menyisakan makanan memang sering terjadi belakangan ini, khususnya di kota besar, dengan pola hidup yang juga memberi kesempatan orang makan di luar atau jajan dan tidak makan hidangan yang dimasak di rumah. Juga, pengadaan makanan untuk keperluan pesta memiliki kecenderungan bukan saja berlebihan, tetapi juga "jor-joran".Â
Terdapat gaya hidup yang mengukur kehebatan suatu perhelatan dari makanan yang dihidangkan. Misalnya, di Jakarta, makanan pesta pernikahan dengan harga Rp 300.000 sd Rp 500.000,- per orang adalah banyak terjadi.Â
Selain harga yang tinggi, jumlah makanan juga dibuat berlebih. Hal seperti ini terkesan tidak perduli dengan situasi masyarakat sekitar yang masih banyak kekurangan, termasuk dalam hal makanan sehari-hari.
Ada satu hal menarik soal pantangan membuang makanan di wilayah lain. Saya coba bagi cerita di Papua. Kebetulan pada beberapa minggu di bulan Desember ini saya melakukan riset dan penumpulan data terkait konservasi, pertanian dan mata pencaharian untuk wilayah Papua.Â